Diplomasi Budaya Menangkal Radikalisme

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya

Hari ini, nasionalisme Indonesia sedang terancam dengan hadirnya kelompok-kelompok radikal yang secara telanjang menampilkan sikap anti-nasionalisme. Kelompok-kelompok ini bahkan tak takut bersikap ekstrem untuk menunjukkan sikap intoleransi kepada golongan lain. Ironisnya, sebagian dari kita –baik masyarakat umum maupun kalangan elit politik– acap memberi panggung bagi kelompok-kelompok ini untuk tampil. Imbasnya, narasi – narasi tentang intoleransi maupun ujaran kebencian terhadap kelompok lain masih memiliki ruang di negeri ini bahkan diakomodasi.
Disadari atau tidak, sesungguhnya kelompok radikal ini secara sengaja berupaya menggusur budaya lokal negeri ini, yang terbukti mampu merukunkan berbagai macam budaya dan keyakinan yang ada. Kelompok – kelompok radikal ini juga tidak menginginkan adanya keberagaman. Semua orang dipaksa mengikuti ajaran yang mereka yakini benar. Padahal, jika kita melihat faktanya, ajaran kelompok ini justru mendekatkan diri pada budaya kekerasan.
Merawat Budaya
Indonesia merupakan negara yang mempunyai aneka ragam budaya dan adat istiadat. Keanekaragaman inilah yang telah membesarkan Indonesia, menjadi negara berkembang hingga saat ini. Kekayaan budaya ini, juga terbukti mampu menjadi filter, atas masuknya berbagai macam pengaruh buruk. Budaya dengan beragam adat istiadat di dalamnya telah merekatkan hubungan antar manusia. Adat istiadat juga dapat diandalkan, untuk menjaga keharmonisan masyarakat dan menjauhi konflik.
Dalam budaya Jawa, ada istilah mikul dhuwur mendhem jero yang mengajarkan agar kepada seseorang yang lebih tua, kita diharuskan untuk hormat atau memposisikan diatas kita. Semnetara masyarakat Buton, Sulawesi Tenggara, juga mempunyai falsafah hidup yang dikenal sebagai bhinci-bhinciki kuli. Makna dari falsafah ini adalah, jika setiap orang mencubit kulit tubuhnya sendiri, pasti akan terasa sakit. Jika kita mempelajari falsafah ini, tentu kita tidak akan mencubit atau menyakiti orang lain. Karena dicubit atau disakiti itu rasanya sakit. Di Maluku, ada istilah ale rasa beta rasa (anda rasa saya raya). Artinya ketika anda merasakan dan mengalami sesuatu, baik senang ataupun susah, saya juga merasakannya. Budaya lokal di atas hanyalah sebagian contoh saja, bahwa kearifan lokal bisa membuat negeri ini kuat dalam menghadapi segala pengaruh negatif.
Kelompok-kelompok yang mengusung paham radikalisme yang saat ini terus menggerogoti negeri ini, sebenarnya bisa diminimalisir, jika masyarakat kita masih menjalankan budaya dengan beragam adat istiadatnya. Sayangnya, sebagian masyarakat sudah mulai meninggalkan budaya agung leluhurnya. Kendurnya kearifan lokal itu, berdampak pada menurunnya rasa empati antar sesama.
Akibatnya, kita jadi tidak peduli dengan tetangga. Kita juga tidak peduli jika tidak diminta tolong. Pembiaran dalam jangka panjang, akan membuat masyarakat menjadi individualis. Dan hal inilah, yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk terus menyebarluaskan ajarannya. Mereka begitu pandai mengemas ajaran kekerasan itu, agar bisa mendapatkan simpati publik. Mereka juga pandai memanfaatkan perkembangan teknologi, agar propaganda mereka bisa efektif dilakukan. Narasi radikal tidak hanya dilakukan di masjid, pesantren atau kelompok pengajian, tapi juga secara vulgar ditampilkan di sosial media.
Pada wilayah lain, masyarakat, terutama masyarakat perkotaan memiliki kerinduan yang mendalam terhadap kebudayaan masa lalu. Hal ini terlihat dari banyaknya warga kota-kota besar yang sengaja mendatangi kampung-kampung di berbagai daerah pada akhir pekan hanya untuk makan nasi yang ditanak secara tradisional atau tidur yang dibangun dari bambu. Ada kerinduan untuk kembali pada kebudayaan. Momentum ini harus dibaca, bahwa di tengah meruyaknya modernitas dengan segala keangkuhannya, masyarakat sejatinya merindukan kehidupan-kehidupan masa lalu yang lebih lebih banyak dibingkai keanggunan kearifan lokal dan budayanya. Dengan demikian menghidupkan perilaku-perilaku sosial yang berakar pada budaya yang menempat keberagaman sebagai anugerah terindah bangsa ini sungguh relevan untuk terus disemaikan.
Menutup Ruang Radikalisme
Radikalisme adalah budaya baru yang tiba-tiba datang ke negeri ini untuk menggusur budaya bangsa yang sejak dulu bermukim dan menaungi negeri ini dengan segala keberagamannya. Kelompok-kelompok garis keras dan radikal saat ini mendapat panggung karena diberi ruang untuk menggerakan massa aksi, menyampaikan pendapat di media massa. Ironisnya, beberapa elit politik baik pejabat publik maupun pimpinan politik memilih berkompromi dengan kelompok-kelompok garis keras karena khawatir kehilangan aset elektabilitas dan popularitas. Selain itu, mereka juga tidak ingin mendapat tekanan psikologis dari kelompok-kelompok tersebut.
Aneh dengan negeri ini, katanya takut Indonesia kehilangan ideologi, takut Indonesia kehilangan pluralisme, dan takut Indonesia kehilangan ideologi kebangsaan, tapi setiap saat elit politik dan kekuasaan berkolaborasi. Jika kelompok-kelompok garis keras dianggap ancaman serius bagi Pancasila, maka elit politik dan segenap masyarakat harus menyelesaikan persoalan ini.
Bahwa masalah radikalisme, konservatif dan fundamentalisme adalah masalah serius untuk negara ini. Persoalan ini tidak bisa diselesaikan melalui orasi saja. Hadirnya tindakan-tindakan radikal, konservatif, fundamentalis yang kontra demokrasi, toleransi dan kemanusiaan yang berulang-ulang terjadi di Negara ini pasti ada penyebabnya.
Penyebab tersebut bisa berasal dari dalam (beberapa contoh: kurangnya pengetahuan yang benar atas ajaran agamanya sendiri dan kebudayaan di Negara ini, terbentuknya sikap anti simpati dan empati) maupun dari luar (beberapa contoh: dakwah/penyebaran ajaran agama yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama yang hakiki, berada di lingkungan yang terkurung dengan pola pikir konservatif).
Dari sekian banyak faktor-faktor tersebut penulis melihat faktor yang paling krisis adalah faktor penyebaran ajaran agama yang dengan mudah disalahgunakan demi kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Melalui ajaran agama yang disalahgunakan tersebut masyarakat dengan mudah pula menerimanya karena dianggap diutarakan oleh orang yang dipandang sebagai pemimpin umat sehingga adanya perasaan harus menerima bulat-bulat.
Hal-hal seperti itulah yang membuat seringkali masyarakat kita terpecah dan intoleran dengan perbedaan yang ada (agama, suku, budaya dan ras) dan orang-orang yang sudah terikat dengan pola pikir konservatif, radikal fundamentalis karena menjadi korban dari penyebaran ajaran agama yang menyimpang dari ajaran yang hakiki tersebut akan lebih mudah lagi untuk dijadikan alat entah untuk kegiatan terorisme, kegiatan kudeta atau makar.
Hal itulah yang harus dengan sungguh-sungguh diantisipasi. Dalam kontek inilah melakukan diplomasi dengan narasi-narasi budaya menjadi relevan untuk dilakukan. Melakukan diplomasi kebudayaan tentu memerlukan waktu yang panjang. Jika kita berhasil melakukan diplomasi kebudayaan maka dampaknya dapat meminimalisir tindakan-tindakan radikal intoleran dan fundamentalis tersebut tidak hanya terjadi dalam hitungan tahunan tapi bisa puluhan tahun bahkan selamanya.
Di atas itu semua, sungguh sangat memprihatinkan kalau ada elite politik yang menjadikan kelompok radikal ini sebagai alat untuk kepentingan politik sesaat. Siapa pun tidak boleh bermain-main isu-isu ideologi yang suatu saat akan membesar dan mengancam negara. Pesan ini semakin menemukan relevansinya dengan momentum politik lima tahunan yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 tahun depan. Publik tentu berharap, para politisi tidak membuka ruang atas nama kepentingan politik bagi kelompok-kelompok yang identik dengan paham kekerasan untuk tampil di panggung-panggung kampanye. Tidak boleh ada pihak yang hanya karena ingin dukungan suara, lantas berkompromi dengan kelompok-kelompok yang mengusung paham kekerasan dan intoleransi.

——— *** ———

Tags: