Diplomasi Kerakyatan Perkecil Gejolak Antarnegara

Forum Debriefing II Kepala Perwakilan RI digelar Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan Universitas Airlangga, Senin (27/3). [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Munculnya gejolak antarnegara secara otomatis akan berdampak negatif bagi hubungan kerjasama dua negara. Karena itu, stabilitas perdamaian dan keamanan harus tetap terjaga. Salah satunya melalui diplomasi kerakyatan sebagaimana yang diterapkan Presiden.
Wakil Tetap RI pada Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk ASEAN Rahmat Pramono mengatakan, generasi muda yang saat ini memilih bergelut dalam dunia diplomasi harus bisa menyesuaikan diri dengan kebijakan negara. Pernyataan itu dia lontarkan dalam forum Debriefing II Kepala Perwakilan RI di Universitas Airlangga (Unair), Senin (27/3).
Seperti pada pemerintahan Presiden Joko Widodo ini misalnya, diplomasi Indonesia diwujudkan dalam diplomasi yang bersifat kerakyatan. Hal ini terbukti dengan langkah-langkah diplomasi yang bersifat membumi dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
“Diplomasi kerakyatan menjadi tantangan para diplomat agar luaran kerja yang dilakukan bisa bermanfaat langsung untuk masyarakat,” ujar Rahmad dalam forum yang berlangsung di Aula Kahuripan 300, Kantor Manajemen Unair.
Terkait dengan kawasan teritorial, PTRI ASEAN mendorong pentingnya menciptakan stabilitas perdamaian dan keamanan. Sebab, apabila ada gejolak atau goncangan-goncangan, lalu lintas perdagangan ekonomi yang sudah ramai terjalin akan sangat terganggu.
“Memang, PRTI ASEAN tidak bisa menyelesaikan kasus klaim teritorial. Itu tetap adalah hak kedua negara atau pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan dan berdialog. Tapi kita harus bisa menjaga keamanan dan stabilitas,” ungkapnya.
Ia menambahkan, target di akhir tahun 2017 ini adalah perlindungan terhadap buruh migran Indonesia di kawasan ASEAN agar hak-haknya tidak dilanggar. “Tidak berarti karena ilegal diperlakukan semena-mena, dibayar jauh di bawah standart. Kita melihat buruh migran ini human right-nya. Semua kita lindungi,” katanya.
Sementara itu, Wakil Tetap RI pada PTRI untuk Jenewa Triyono Wibowo mengatakan, tidak semua isu di dunia bisa diatasi dengan norma yang sama. Sebab, negara dari berbagai belahan dunia memiliki latar belakang suku, agama, ras dan antar golongan yang berbeda. Meskipun Hak Asasi Manusia (HAM) bersifat universal, namun tidak semua hal bisa diuniversalkan.
“Tidak semua masalah di dunia ini bisa dinegosiasikan. Seperti moral value, religius value. Religius value misalnya, tidak bisa menerima hal yang tidak diyakini oleh nilai religius itu. Ada situasi atau kondisi yang tidak bisa diuniversalkan,” ungkapnya. Maka itu, lanjut Triyono, proses negosiasi antar negara membutuhkan waktu yang cukup lama.
Sementara Duta Besar KBRI untuk Wina Rachmad Budiman sedikit menyinggung tentang isu hukuman mati yang diberlakukan di beberapa negara di dunia. Di tataran nasional, isu tentang hukuman mati sebagai hukuman terberat belum dipastikan keputusannya. Dalam artian, belum ada kesepakatan apakah hukuman mati dihapuskan atau tidak.
“Yang lebih diperhatikan adalah drugs berkaitan dengan pusaran public health. Mereka saat ini sedang mendorong upaya public health. Pelaku kriminal drugs diapakan? Sebab mereka bukan pengguna,” ujarnya. Menurutnya, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah pelaku kriminal peredaran narkoba, bukan hanya pemakai narkoba saja. [tam]

Tags: