Diprotes Warga, Gubernur Tegaskan Jl Dinoyo dan Jl Gunungsari Masih Ada

Komunitas Pemerhati Sejarah Surabaya bersama Direktur Surabaya Herritage Society Ir Freddy H Istanto MT Ars AIA saat menyatakan penolakan rencana penggantian nama Jl Dinoyo menjadi Jl Sunda, Rabu (7/3). [trie diana]

Surabaya, Bhirawa
Keputusan Pemprov Jatim mengganti nama jalan di Surabaya untuk harmonisasi Sunda-Jawa menuai protes keras dari warga. Ada dua jalan yang bakal berganti nama. Jalan Gunungsari diubah jadi Jalan Siliwangi, dan Jalan Dinoyo jadi Jalan Sunda.
Satu diantaranya pemerhati sejarah dan budaya Kota Surabaya, Kuncarsono Prasetyo yang memprotes. Menurutnya, penggantian nama jalan tersebut, bisa menghapus identitas lokal sebuah wilayah. Sebab, pemberian nama sebuah wilayah adalah sebuah kearifan lokal dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.
Kuncar sapaan akrabnya mengatakan, nama Jalan Dinoyo memang diambil dari nama Kampung Dinoyo. Jika dilihat secara kesejarahannya, Kampung Dinoyo ini keberadaannya sudah ada sejak sebelum pemerintahan kolonial Belanda masuk. “Jalan Dinoyo adalah jalan yang dibangun Daendels. Jalan ini dulunya memang menghubungkan antarkota, sehingga jadi jalan provinsi,” kata Kuncarsono.
Meski jalan provinsi, lanjut dia, tak membuat Gubernur Jawa Timur, Soekarwo bisa seenaknya mengubah nama jalan ini. “Pemberian nama bukan sekadar agar gaul atau ngetrend saja. Pemberian nama adalah kearifan lokal karena kesepakatan bersama. Bukan dari pejabat. Kalau ingin pakai nama Prabu Siliwangi atau Jalan Sunda, pakai saja untuk jalan baru yang belum punya nama,” ujar dia.
Hal senada juga disampaikan oleh Direktur Sjarikat Poesaka Surabaya, Freddy Istanto. Menurut dia, pemberian nama bukanlah hak penguasa. Namun pemberian nama adalah bentuk kearifan warga. “Penguasa boleh memberikan nama, tapi untuk wilayah yang tak mempunyai memori sejarah. Sedangkan Dinoyo ini sudah mempunyai memori sejarah yang panjang,” ujar Freddy.
Oleh karena itu, dia bersama dengan berbagai komunitas pecinta sejarah dan pelestari bangunan cagar budaya Surabaya, mengecam keras kebijakan Gubernur Soekarwo tersebut. Bahkan, kertas putih berukuran papan nama jalan bertuliskan ‘Soekarwo’ dibuat sebagai bentuk aksi protesnya di Jalan Dinoyo, Rabu (7/3) kemarin.
Selain itu, perwakilan warga Surabaya, Kusnan mengkritik keras Gubernur Jatim dua periode tersebut. Menurutnya, mengganti nama jalan harus ada permusyawaratan bersama warga. “Saya menilai perubahan nama jalan ini hanya sebuah keputusan yang lebay,” ucapnya.
Perlu diketahui, rencana penggantian nama jalan muncul setelah Gubernur Jatim Soekarwo bertemu dengan Gubernur Jabar Ahmad Heryawan dan Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Selasa (6/3) lalu. Jika di Surabaya ada nama Jalan Sunda dan Siliwangi, maka di Bandung akan ada nama Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk.
Menanggapi protes dari warga atas pergantian nama jalan ini, Gubernur Jatim Dr H Soekarwo mengatakan, nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari tidak sepenuhnya diganti semua. Sebab masih tetap ada Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari.
“Tidak semua diganti. Seperti di Jalan Dinoyo, yang diberi nama Jalan Sunda itu panjangnya hanya sekitar 300 meter. Selebihnya masih tetap Jalan Dinoyo. Begitu pula dengan Jalan Gunungsari, hanya sebagian saja, tidak sepanjang jalan itu diubah namanya,” ungkapnya.
Masih adanya nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari itu, kata Pakde Karwo, sapaan lekat Gubernur Soekarwo, sebab dua nama jalan tersebut memiliki sejarahnya masing-masing. “Pergantian nama ini sudah kita bicarakan dengan Wali Kota Surabaya Bu Risma dan beliau setuju. Begitu pula dengan DPRD Surabaya yang siap membahasnya untuk ditetapkan menjadi perda,” tandasnya.

Dewan Siap Bahas Pengubahan Nama Jalan
Pimpinan DPRD Surabaya Wali Kota Surabaya telah menerima usulan Gubernur Jatim, Soekarwo tentang rencana mengganti nama Jalan, Dinoyo menjadi Pasundan dan Jalan Gunung Sari berubah menjadi Prabu Siliwangi.
Wakil Ketua DPRD Surabaya, Masduki Thoha, Rabu (7/3) menyebut pemerintah kota tinggal membuat draft Perda dan mengusulkan kepada DPRD.”Draft itu diajukan ke DPRD untuk dibentuk pansus (Panitia Khusus),” katanya saat ditemui di ruang kerjanya.
Terkait proses pengubahan nama jalan ini, Masduki mengatakan, proses perubahan nama jalan cuup panjang. Harus melalui berbagai kajian akademis, sebelumbahkan diajukan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan.
Ia justru mempertanyakan, alasan gubernur mengusulkan perubahan dua nama jalan di Surabaya itu. Alasannya, dua jalan tersebut mempunyai sejarah bagi Kota Surabaya. “Kenapa Dinoyo dan Gunung sari, bukan Darmo atau Bubutan. Ini harus ada kajian dari sejarawan,” paparnya.
Politisi PKB ini mengaku dirinya tak apriori dengan usulan itu. Namun, ia mempertanyakan, kenapa usulan itu disampaikan menjelang masa jabatan Gubernur Jatim berakhir.”Mudah-mudahan gak ada kepentingan apapun, murni untuk kepentingan Surabaya dan Jatim,” tuturnya
Ia menerangkan, dalam pansus yaang membahas perubahan nama jalan nantinya akan melibatkan para pakar dan tokoh masyarakat. Masduki mengakui, perubahan nama jalan berdampak pada perubahan dokumen kependudukan dan lainnya. Namun, ia menyampaikan, berdasarkan pengalaman, perubahan administrasi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah daerah.
“Seluruhnya akan ditanggung pemerintah daerah. Hanya kendalanya kadang masyarakat enggan mengurusnya, sebab menyita waktu,” ujarnya
Wakil Ketua DPRD ini menegaskan, usulan Gubernur Jatim tentang pergantian dua nama jalan, yakni Dinoyo dan Gunung Sari bisa diterima atau tidak. Hasilnya akan bergantung pada pembahasan pansus DPRD, pemerintah kota dan sejumlah akademisi serta tokoh masyarakat.
“Organisasi pemerintah daerah yang terlibat, mulai Bagian Hukum, Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah, dan lainnya,” jelasnya.
Ia mengaku, belum mengetahui kapan pembahasan dimulai, karena maish menunggu draft dari pemerintah kota.
Sementara Anggota DPRD Surabaya Vinsensius Away secara tegas menolak usulan Gubernur Jatim Sukarwo tentang pergantian nama jalan di Surabaya. Menurutnya, usulan itu justru membuka luka lama bangsa ini.
Menurut legislator asal Nasdem ini, Gubenur Sukarwo jangan membuka luka lama sejarah. Memang sesuatu menurut sejarah ada persoalan di kedua kerajaan Majapahit dengan Padjajaran. Namun jaman telah berubah, serta jaman milenia ini generasi muda sudah tidak pernah mempersoalkan peselisihan itu.
“Kita semua telah diikat dalam NKRI dan bukan kerajaan lagi, maka dengan sikap Gubernur Jatim seperti itu sama saja membuka luka lama yang seharusnya tidak perlu,” kata Away.
Serta perlu dipertimbangkan lagi, perubahan nama jalan ini akan mempengaruhi sisi administratif masyarakat kawasan itu. ” Warga akan direpotkan dengan ganti KTP, KK serta dokumem penting lainnya,” tambah Away
Nama jalan Gunungsari memiliki nilai historikal dimana di gunung bukit ini ada makam ayah pangeran Pekik, Jayalengkara (Adipati Surabaya yang perang lawan Sultan Agung 1623). sehingga diberi nama jalan Gunung Sari
Kalau Pemprov tidak mengetahui sejarah penamaan jalan setempat, ada baiknya ditelusuri lebih jauh lagi. Sehingga tidak membuat sebuah kebijakan yang blunder yang dapat melukai hati masyarakat setempat.
“Sebenarnya Gubenur Jatim bisa mencari alternatif lokasi jalan di kawasan pengembang baru, yang kawasan itu tidak menimbulkan polemik,” tambah Away. [geh.iib.gat]

Tags: