Disebut di Prasasti Kusambyan, Diduga Pernah Berdiri Sebuah Kedaton Hingga Adanya Situs Jladri yang Misterius

Bata-bata berukuran besar yang diduga merupakan bata kuno yang ditemukan dan juga tersusun rapi di Situs Jladri yang berada di hutan di utara Dusun Bedander, Sumber Gondang, Kabuh, Jombang. [arif yulianto]

Menelusuri Sejarah Dusun Bedander di Kabuh Jombang (Bagian 3- habis)
Jombang, Bhirawa
Desa Bedander yang saat ini masuk di wilayah Desa Sumber Gondang, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang diduga memiliki sejarah lain selain sejarah tentang peristiwa penyembunyian Raja Jayanegara, Raja Majapahit oleh pasukan pengawal raja yang sebut dengan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada dari pemberontakan Ra Kuti.
Dugaan adanya sejarah lain yang lebih tua dari peristiwa era Majapahit itu yakni diduga pernah berdiri sebuah kedaton di Bedander. Hal ini diungkapkan Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho saat dimintai keterangan lewat sambungan What’s App, Sabtu malam (11/04).
“Kalau tidak salah, ada semacam Kedaton Medander. Disebut di (Prasasti) Kusambyan dan (Kitab) Pararaton kalau gak salah ingat,” kata Wicaksono.
Meski begitu, Wicaksono belum bisa menjelaskan secara persis di mana letak bekas kedaton yang dimaksud di Prasasti Kusambyan itu. Prasasti Kusambyan sendiri merupakan sebuah prasasti yang berada di tengah persawahan di Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Kabupaten Jombang. Prasasti Kusambyan dibuat pada era Raja Airlangga.
Prasasti itu diperkirakan dibuat saat Raja Airlangga sudah bertahta di Kerajaan Kahuripan sebagai penghargaan kepada warga di sekitar gunung Pucangan saat dirinya bersembunyi di kawasan tersebut dari kejaran bala tentara Wura Wari. Pada Prasasti Kusambyan itu disebutkan adanya kedaton Madander dan pemberian ‘Pardhikan’ oleh Airlangga untuk daerah Kusambyan. Jarak antara Prasasti Kusambyan dengan Dusun Bedander kurang lebih sekitar 5 kilometer jika disusuri melewati jalan beraspal antar kecamatan.
Meski dugaan adanya bangunan kedaton di Dusun Bedander hingga saat ini masih ‘misterius’, namun sejumlah bukti peninggalan arkeologis banyak ditemukan di dusun tersebut. Di pemakaman Dusun Bedander ini misalnya, terdapat pecahan-pecahan bata kuno dan pecahan-pecahan keramik berbagai era seperti era Dinasti Song dan Dinasti Ming terdapat di tempat itu. Tak hanya pecahan bata dan keramik, di lokasi tersebut juga terdapat pecahan-pecahan material terbuat dari tanah liat seperti pecahan gerabah. Benda ini juga diduga merupakan benda kuno.
Selain Wicaksono, Arkeolog Arkenas, Titi Surti Nastiti juga mengemukakan tentang temuan-temuan arkeologis di Dusun Bedander ini di dalam makalahnya yang berjudul Prasasti Kusambyan : Identifikasi Lokasi Madander dan Kusambyan.
Di bagian dalam makalah tersebut yang terkait sejarah Airlangga dituliskan, salah satu isi Prasasti Kusambyan yang penting adalah disebutkan Madander sebagai keraton yang tidak ditemukan pada prasasti-prasasti Airlangga lainnya. Penulisan ‘Molah madwal makadatwan i madander’ tidak lazim dalam penyebutan keraton yang menjadi tempat tinggal raja dalam prasasti-prasasti lainnya. Pada umumya ditulis ‘Sri maharaja makadatwan i tamwlan’ (Sri maharaja berkeraton di Tamwlang) seperti yang dituliskan dalam Prasasti Turyyan (829 M).
Di makalah itu diterangkan, tidak lazimnya kalimat tersebut dapat dimengerti, karena tidak seperti prasasti lainnya yang mempunyai konteks menjaga keraton, kalimat ‘Molah madwal makadatwan i madander’ mengandung pengertian adanya pengrusakan terhadap keraton Madander yang dihubungkan dengan kalimat sebelumnya, kemungkinan besar rusaknya keraton disebabkan oleh serangan musuh. Hal yang sangat mungkin terjadi, karena pada awal masa pemerintahannya Airlangga banyak melakukan peperangan untuk membangun kembali kerajaan yang telah hancur karena serangan Raja Wurawari.
Masih menurut makalah tersebut, sayang sekali bahwa pertanggalan Prasasti Kusambyan tidak diketahui hingga tidak dapat memastikan di mana Airlangga berkeraton ketika prasasti ini dikeluarkan. Selama masa pemerintahannya, Airlangga setidaknya tiga kali pindah keraton, yaitu di Wattan Mas, Kahuripan, dan Dahanapura. Dengan disebutkannya Madander sebagai keraton yang telah rusak, maka mungkin keraton ini pernah menjadi tinggal Airlangga.
Sehingga disebutkan pada makalah itu, jadi jelas, Madander adalah daerah penting sehingga keputusan Airlangga mendirikan keraton di wilayah itu sangat dimengerti, karena tidak usah membuka lagi untuk dijadikan keraton. Wilayah itu sudah menjadi tempat dari pejabat tinggi kerajaan yang mengurusi perumahan, jauh sebelum Airlangga bertahta.
Sementara, ada satu sisi menarik di Dusun Bedander ini. Yakni, terdapat sebuah lokasi peninggalan arkeologis bernama Situs Jladri. Letak Situs Jladri ini berada di utara Dusun Bedander, tepatnya berada di hutan yang berjarak sekitar dua kilometer dari dusun setempat. Dari sungai yang berada di ujung dusun, kita bisa menuju situs ini dengan berjalan kaki menyeberangi sungai kemudian melanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri jalan persawahan dan hutan.
Situs ini tampak seperti kompleks pemakaman yang terdapat sembilan makam membujur ke utara-selatan layaknya makam muslim. Luas situs berukuran kurang lebih 25 meter kali 30 meter. Situs ini dikelilingi susunan bata-bata berukuran besar diduga merupakan bata-bata kuno. Selain itu terdapat beberapa batu andesit yang berbentuk seperti umpak, lumpang, dan timbangan kuno. Pintu masuk kompleks situs, disusun dengan tangga berundak.
Suasana asri terasa di Situs Jladri ini. Selain berada di tanah yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan permukaan tanah di sekitarnya, beberapa Pohon Kosambi berukuran besar juga menaungi situs ini. Pohon-pohon Kosambi ini diduga berusia tua. Sekilas, dari sisi geografisnya, Situs Jladri memenuhi syarat sebagai tempat persembunyian ataupun bahkan sebagai tempat bersemedi.
Namun, tempat apa sebenarnya Situs Jladri ini, sebagian sejarahnya hingga saat ini masih menjadi misteri. Warga Bedander menganggap tempat ini sebagai petilasan para wali. Namun ada juga pendapat bahwa tempat tersebut merupakan lokasi yang digunakan Kerajaan Majapahit untuk mengintai pergerakan para pemberontak/ musuh kerajaan Majapahit. Kemisteriusan Situs Jladri ini juga ditambah masih minimnya penjelasan-penjelasan secara ilmiah tentang situs ini.
Apakah Situs Jladri ini yang pernah disebut sebagai kedaton di Situs Kusambyan yang notabene merupakan situs era Airlangga? Apakah pohon-pohon Kosambi tua yang ada di Situs Jladri ini merupakan ‘Kusambyan’ yang disebutkan di dalam Situs Kusambyan? tentu hal tersebut masih perlu pembuktian lebih dalam dari berbagai disiplin ilmu.
Seperti diketahui, dari makalah Titi Surti Nastiti yang ditulis di bagian atas pada tulisan ini, dua tempat penting disebutkan di dalam Situs Kusambyan, yakni Madander dan Kusambyan. Kusambyan diberikan ‘Pardhikan’ oleh Raja Airlangga. Daerah ini kemudian juga mendapatkan pengukuhan sebagai ‘Pardhikan’ saat masa Raja Jayanegara seperti disebutkan di dalam Prasasti Tuhanaru atau Prasasti Jayanagara II (1323 M).
Meski begitu, pada makalah Titi Surti Nastiti ini digambarkan Kusambyan yang disebutkan di Parasasti Kusambyan identik dengan Desa Kesamben, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang yang berada di bagian timur Kabupaten Jombang, tepatnya di sebelah selatan Sungai Brantas. Hal itu merujuk diantaranya karena adanya dua lokasi peninggalan arkeologis di desa tersebut, juga adanya nama Desa Kesamben serta Kecamatan Kesamben yang diidentikkan dengan nama Kusambyan, serta beberapa faktor lainnya.
Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU, Kyai Agus Sunyoto mengungkapkan, Situs Jladri menunjuk pengaruh megalithik punden berundak. “Itu butuh penataan dari dinas purbakala. Harus ada penelitian arkeologi lebih dalam tentang Situs Bedander, Jladri, Gunung Ratu, dan lain-lain,” kata Agus Sunyoto, Minggu malam (12/4).
Terkait Situs Jladri ini, Agus Sunyoto berpendapat, kata Jladri berasal dari kata kuno Jaladri, yang bermakna Langit. “Itu berarti daerah yang berhubungan dengan kahyangan, semacam persemayaman ruh leluhur. Jadi itu dulu semacam punden keramat,” ulas Agus Sunyoto. [arif yulianto]

Tags: