Disperdagin Surabaya Janji Bentuk Tim Intervensi Harga Komoditi di Pasar

Operasi pasar yang digelar Pemkot Surabaya [trie diana]

Produksi Cabai Turun hingga 70%
Surabaya, Bhirawa
Pemkot Surabaya tengah memutar otak demi menekan harga cabai rawit yang masih bertahan pada posisi Rp 100 ribu per kilogram. Hal itu terjadi setelah harga cabai melambung tinggi jauh di atas harga acuan pembelian di tingkat konsumen yang telah ditetapkan pemerintah.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperindagin) Kota Surabaya Arini Pakistyaningsih mengatakan bahwa Pemkot Surabaya akan berupaya mengintervensi harga barang di pasar. Gejolak harga barang kebutuhan pokok bergantung terhadap gejolak yang terjadi secara nasional. Seperti penurunan produksi hasil petani, gagal panen, atau karena faktor cuaca.
“Operasi pasar ini bentuk intervensi kami. Tapi kalau sampai menurunkan harga, itu bergantung gejolak nasional. Dalam waktu dekat ini, kami akan menciptakan tim khusus untuk mengatasi hal ini,” katanya kepada Harian Bhirawa, Selasa (10/1) kemarin di Kantor Kelurahan Margorejo Kecamatan Wonocolo Surabaya di sela operasi pasar.
Tim khusus yang dia maksud adalah gabungan personel Disperindagin, PD Pasar Surya, serta Bidang Perekonomian Kota Surabaya. Tim ini akan menelusuri proses distribusi komoditi hingga ke hulu. “Karena selama ini kita kan hanya melihat sebatas hilir. Kita akan menelusuri ke hulunya untuk intervensi harga,” ujar mantan Kepala Baperpus dan Arsip Kota Surabaya ini.
Dia juga mengakui, ada kemungkinan selama ini pengawasan pedagang di hulu masih kurang. Arini yang baru menjabat seminggu di Disperdagin bahkan mengatakan, persoalan intervensi harga hingga ke hulu ini akan menjadi fokusnya selama duduk sebagai Kepala Disperdagin.
Sementara ini, Pemkot Surabaya melalui operasi pasar yang digelar selama 10 hari mencoba menekan harga dengan menjual cabai seharga Rp 75 ribu per kilogram. Namun, stok atau persediaan sembako dalam operasi pasar ini memang terbatas.
Arini mengatakan Pemkot Surabaya  hanya menyediakan barang seperti bawang merah dan bawang putih maksimal 50 kilogram untuk masing-masing daerah. Demikian halnya cabai.  Sebab, operasi pasar yang digelar selama 10 hari ke depan sejak Senin (9/1) lalu di Rusunawa Margorejo, hanya bertujuan membantu warga agar mendapatkan sembako dengan harga lebih murah.
Sejumlah komoditi seperti beras, minyak goreng, bumbu seperti bawang putih dan merah, serta cabai dijual dengan harga yang lebih murah dari yang dijual di pasaran. Khusus cabai, harga yang dijual di operasi pasar ini seharga Rp75 ribu per kilogram, atau selisih 25 ribu dari harga pasar yang mencapai Rp100 ribu per kilogram.
Meski tidak terlalu ramai masyarakat yang membeli sembako dalam operasi pasar sejak pukul 09.00 kemarin, tapi pembeli terus berdatangan sampai pukul 11.00. Arini mengatakan, operasi pasar ini bertujuan membantu masyarakat. “Target kami memang hanya untuk membantu masyarakat mendapatkan harga yang lebih murah dari harga di pasar,” jelasnya.
Atensi warga, menurut Arini sangat antusias, karena memang harga yang dijual jauh lebih murah. “Banyak warga yang memanfaatkan komoditi dari pemerintah dengan harga murah ini,” tandasnya.

Bakal Berlangsung Lama
Sementara itu mahalnya harga cabai di Indonesia termasuk Jatim diprediksi akan berlangsung lama. Sebab musim panen cabai di Jatim baru mulai pada awal Februari mendatang. Sementara pasokan cabai dari Jatim maupun luar provinsi sangat sulit untuk didapat.
“Kita sudah bekerjasama dengan Bulog dan PT PPI untuk melakukan stabilisasi harga di beberapa pasar di Jatim. Kita mendapat cabe dari luar provinsi seperti dari Gorontalo dengan harga Rp 67 ribu, sehingga kita bisa jual di pasaran dengan harga Rp 75 ribu. Harga itu jauh dari harga pasaran saat ini,” kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jatim Dr M Ardi Prasetyawan,  Selasa (10/1).
Menurut dia, pihaknya terus berburu cabai di berbagai daerah di Jatim maupun luar provinsi. Namun dari sekian banyak provinsi yang ada stok cabai baru di Gorontalo. Sementara provinsi lain seperti di NTB dan Sulawesi Selatan stok justru tidak ada.
“Di Jatim memang ada stok, tapi sangat menipis. Tidak mungkin kami membelinya. Seperti di Pare Kediri memang ada stok, tapi sedikit. Harganya juga mahal antara Rp 75- 80 ribu. Makanya, kami akan terus berusaha mencari, karena ini perintah Pak Gubernur untuk melakukan stabilisasi harga,” katanya.
Di Jatim, lanjut Ardi, ada 12 sentra produksi cabai yang menjadi andalan Jatim. Yakni Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Kediri, Mojokerto, Malang, Probolinggo, Jember, Bondowoso, Banyuwangi dan Madura. Namun sentra-sentara produksi cabai di daerah tersebut saat ini produksinya merosot tajam, tidak sesuai dengan perkiraan.
“Produktivitas panen cabai saat ini menurun antara 60-70 persen. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Jatim, tapi seluruh Indonesia. Makanya cabai saat ini langka, dan akhirnya menyebabkan harga sangat tinggi. Padahal permintaan tinggi. Nanti saat musim panen tiba, harga akan kembali normal,” ungkapnya.
Penyebab menurunnya panen cabai ini, kata Ardi, lebih disebabkan faktor cuaca yang sangat tidak mendukung. Selain itu, banyak cabai yang terserang hama penyakit. Cabai yang baru berbunga mati, sementara yang sudah tumbuh cabainya diserang penyakit.
“Saat ini rata-rata harga cabai rawit di pasaran Rp 90 ribu. Sementara harga cabai merah besar Rp 29 ribu dan cabai keriting Rp 42 ribu. Cabai rawit selain konsumennya banyak, cabai jenis ini juga rentan penyakit. Biasanya panen raya itu terjadi pada Februari sampai April,” tandasnya. [geh,iib]

Tags: