Disporapar Sidoarjo Bangkitkan Destinasi Wisata Desa

Ribuan warga sedang rebutan tumpeng roti goreng di Desa Mulyodadi, Wonoayu, Sidoarjo. [achmad suprayogi/bhirawa]

Sidoarjo, Bhirawa
Kesenian atau budaya tradisional desa perlu terus dibangkitkan agar tidak punah oleh perubahan jaman. Maka pihak Pemkab Sidoarjo melalui Disporapar (Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata) mendorong terus membangkitkan seni budaya tradisional yang ada di masing-masing desa, karena sebagai destinasi wisata pedesaan
Kepala Disporapar Sidoarjo, Joko Supriyadi menegaskan, kalau pihaknya bakal melestarikan ruwah desa yang memiliki atraksi pesta adat dan destinasi wisata khusus. Hal itu merupakan hasil kreasi dan swadaya masyarakat. Termasuk kegiatan desa, seperti ruwah desa dan nyadran, bentuk-bentuk budaya tradisional yang memanfaatkan hasil bumi di desa itu.
Tujuan akhirnya untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa. Jadi budaya terakomodir dan ekonomi warga terangkat. Contohnya Ruwah Desa Mulyodadi, Kec Wonoayu Sidoarjo yang menggelar Tumpeng Roti Goreng ketinggian lima meter.
”Tapi yang mempunyai atraksi dan destinasi wisata seperti Mulyodadi belum banyak. Budaya kekhususan yang hampir sama mungkin Desa Sedenganmijen, Krian yang nantinya bakal membuat tumpeng tempe 12 meter,” kata Joko Supriyadi (25/4).
Selain itu, juga rebutan tumpeng raksasa kedua setingga empat meter yang merupakan hasil bumi warga Mulyodadi berupa sayuran dan makanan polo pendem. Disamping itu, juga disediakan 14 tumpeng besar berisi makanan dan nasi kuning yang dilengkapi ayam panggang beseta kelengkapan lainnya.
”Inilah ruwah Desa Mulyodadi. Acara ini diadakan setiap tahun. Kebetulan saat ini ada rebutan dua tumpeng besar yakni satu tumpeng hasil bumi dan satu tumpeng lainnya produk Rogodi setinggi lima meter. Yang seluruh warga dari empat dusun yang ada di desa kami dengan jumlah penduduk 2.100 orang,” terang Kades Mulyodadi, Slamet Priyanto.
Menurut Slamet, meski belum banyak produsen Rogodi (Roti Goreng Mulyoadi) di kampungnya, tetapi jumlahnya sudah mencapai belasan rumah tangga. Namun, hasil produksi khas desa ini tak gampang ditiru lantaran yang belajar pun belum tentu bisa memproduksinya. ”Jumlah produsen Rogodi masih belasan warga. Karena yang belajar pun kalau tidak serius belum tentu bisa berproduksi sendiri,” imbuhnya.
Sedangkan ditanya soal sejarah desa, Slamet mengungkapkan, jika pada jaman dahulu banyak warga yang mengungsi dari kampung itu tanpa alasan yang jelas. Kemudian karena kampung kosong sejumlah sesepuh desa membabat alas kembali hingga kemudian mengajak warganya kembali ke kampung halamannya dengan panggilan Muliyo Omahmu Wes Dadi (pulanglah rumahmu sudah jadi) yang disingkat Mulyodadi itu. ”Hingga sekarang warga hidup dengan hasil pertanian ini,” ungkapnya. [ach]

Tags: