DKPP Kembali ke Jalan yang Benar

Agus-Macfud-FauziOleh :
Agus M Fauzi
Korban Putusan DKPP, Konsultan Politik & SDM Bangun Indonesia, Peserta Program S3 Universitas Airlangga

Mahkamah Konstitusi mempunyai keputusan dahsyat pada hari kamis (03/04/2014) kemarin, yaitu putusan MK tentang penghapusan aturan quick count yang membatasi jam tayangnya  sebagaimana yang ada dalam pasal 247 ayat 2, 5, 6 dan pasal 317 UU No 8 tahun 2012 tentang Pemilu 2014; dan yang satunya adalah putusan DKPP bisa digugat di PTUN sebagai putusan yang membatalkan pasal 112 ayat 12 UU No 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, putusan DKPP bersifat final dan mengikat.
DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) selama ini telah memutuskan banyak putusan super body, ia berkuasa seperti malaikat pencabut nyawa yang tidak bisa disentuh oleh para penyelenggara Pemilu, seakan-akan putusannya adalah paling benar, tidak bisa diuji oleh lembaga peradilan yang sebenarnya.
DKPP beberapa kali presentasi dalam berbagai forum membanggakan dirinya karena telah memecat atau memberhentikan tetap dan memberhentikan sementara para anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota, hal ini berbanding terbalik dengan Dewan/ Badan etik yag dimiliki oleh DPRD, Dokter dan lain sebagainya, yang mereka menjadi dewan etik beneran, menjadi pengayom agar tidak melanggar aturannya.
DKPP menjadi momok yang menakutkan bagi para penyelenggara Pemilu di daerah sebab selama ini DKPP hanya punya taring untuk KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota, mereka tidak berani membuat sebuah keputusan yang sama bagi para penyelenggara Pemilu di Pusat. Para anggota KPU dan Panwaslu daerah menjadi sasaran empuk untuk menerima putusan-putusan yang subyektif dan kontroversial.

Satu Kali Sidang Langsung Dipecat
Tidak semua putusan DKPP adalah putusan yang benar berdasarkan kode etik penyelenggaraan Pemilu sebagaimana yang termaktub dalam UU No 15 tahun 2011 dan atau MOU bersama KPU & Bawaslu, hal ini dikarenakan dalam persidangan  belum tentu fakta yang sebenarnya terjadi di Lapangan ketika tahapan Pemilukada atau Pemilu.
KPU Kab Lumajang Provinsi Jawa Timur menjadi contoh ketidakberesan persidangan DKPP, mereka cukup sekali sidang dengan materi gugatan tentang Pemilukada yang sidangnya tidak lebih dari satu jam, setelah itu diputuskan Ketua dan salah anggota KPU Kab Lumajang diberhentikan tetap, padahal sampai waktu persidangan belum ada pelaksanaan tahapan Pemilukada, masih kurang satu tahun lagi.
KPU Kab Lumajang mengajukan gugatan ke PTUN untuk menguji putusan DKPP tersebut, setelah beberapa kali persidangan dilaksanakan ada sebuah keputusan bahwa PTUN merasa tidak berwenang mengadili karena ada pasal 112 ayat 12 dalam UU No 15 tahun 2011 yang berbunyi putusan DKPP final dan mengikat, ketika Banding ke PTUN pun, referensi dan putusannya sama.
KPU Provinsi Jawa Timur juga mendapat putusan pemberhentian sementara untuk tiga orang anggotanya, yaitu sampai terpulihkan salah satu pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala derah, padahal mereka yang konsisten menjalankan PKPU No 9 tahun 2013 secara normatif, bahwa syarat pencalonan harus didukung oleh partai atau gabungan partai politik, minimal 15% kursi dan atau suara sah, fakta yang sebenarnya ada salah satu calon yang didudukung oleh gabungan beberapa partai politik, tetapi tidak sampai 15%, hal ini disebabkan terjadi dualisme kepemimpinan partai politik di dua Parpol yang berbeda, antara ketua dan sekretaris mempunyai pengakuan yang berbeda terkait dengan kepengurusan dua DPW yang sedang mendaftarkan calonnya dengan berpijakan pada SK mereka masing-masing yang masih aktif.
Dalam fakta persidangan antara ketua dan sekretaris partai politik berbeda pendapat, bahkan akan saling adu jotos untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing, sehingga sebelum gugatan ke DKPP, tidak salah jika Pleno KPU Provinsi Jawa Timur pasca verifikasi pertama menyatakan bahwa salah satu pasangan calon tidak sah, tetapi hal ini berbeda pada pleno kedua karena momok DKPP yang telah memecati beberapa penyelenggara Pemilu dengan pemahaman etika yang sepihak.
Konsultasi ke DKPP menghasilkan bahwa kalau ingin selamat maka loloskan semua pasangan calon, sebab katanya hak konstitusi calon dijamin oleh UUD 1945, mereka tidak melihat bahwa ada UU No 12 tahun 2008 yang mengatur secara teknis terkait dengan pencalonan seorang calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yaitu ada persyaratan minimalnya yaitu didukung 15% dari kursi atau suara sah.
Surat jawaban dari KPU RI atas pertanyaan dari KPU Provinsi ketika itu, tidak berani menjawab secara tegas, ia sangat normatif yang membuat interpretable (masih bisa ditafsirkan) sebagaimana yang ada dalam PKPU No 9 tahun 2013. Rekomendali Bawaslu Jawa Timur akhirnya menjadi kunci jawaban untuk memutuskan kebuntuan tahapan pencalonan untuk memutuskan lolos atau tidaknya para pasangan calon.

Kebenaran UU Vs Etika
Kebenaran subyektif merupakan sumber yang sering menjadi pemicu dalam memutuskan pemberhentian para penyelenggara Pemilu daerah, di sini perlu ada titik temu supaya tidak ada pemahaman yang berbeda dalam memahami aturan dan etika, sebab pada dasarnya para penyelenggara Pemilu tidak ada niatan untuk bersedia diberhentikan karena menjalankan yg diluar UU Pemilu, Pemilukada dan Penyelenggara.
DKPP selalu mengatakan bahwa apa-apa yang benar menurut UU kalau tidak dijalankan pasti melanggar etika, tetapi apa-apa yang benar menurut etika belum tentu benar menurut UU. Disinilah kemudian DKPP mempunyai “tafsir kebenaran” sepihak atau subjektif dalam hal keberanan etika, sehingga memahami persyaratan 15% sebagai syarat mutlak calon kepala daerah didudukkan pada ruangan yang berbeda ketika seorang pasangan calon sudah diusung partai politik meski tidak memenuhi 15%.
Putusan MK tersebut di atas akan menjadi pengerem bagi DKPP, yaitu apakah pada putusan-putusan selanjutnya akan menghasilkan putusan yang benar berdasarkan UU – tentunya hal ini ketika di uji melalui gugatan di PTUN dan banding di PT TUN harus bisa tetap dipertahankan bahwa putusannya benar – atau masih berani mengambil putusan menurut etika subjektifnya.
Putusan MK menjadikan para penyelenggara lebih berani mengambil keputusan yang benar menurut aturan, tentunya juga tidak melanggar etika menurut perspektif UU Pemilu, Pemilukada dan Penyelenggara itu sendiri, sehingga menyongsong pada berbagai gugatan etika untuk DKPP pasca Pemungutan dan penghitungan suara mulai April 2014 nanti tidak dikawatirkan akan mudah memberhentikan penyelenggara yang tidak bersalah menurut konstitusi.
Putusan MK ini akan mengembalikan DKPP kepada jalan yang benar, yaitu sebuah Dewan Kode Etik bagi penyelenggara Pemilu yang sebenarnya, akhirnya DKPP bukan menjadi momok lagi para penyelenggara Pemilu untuk konsisten berpegang teguh pada konstitusi, tetapi ia menjadi lembaga yang sangat dihormati karena bekerja berdasarkan etika kebenaran UU, bukan berdasarkan etika yang berdiri sendiri diluar UU Pemilu, Pemilukada dan Penyelenggara. ***

Rate this article!
Tags: