Doa untuk Bangsa

foto ilustrasi

Bulan Rajab (tahun Hijriyah) memiliki ritual di Indonesia, biasa disebut Rajabiyah. Dijalani dengan berbagai ibadah puasa, shalat sunnah, dan istighotsah (doa bersama). Pada ujung Rajab, terdapat perayaan Isra’ Mi’raj, menandai awal turunnya perintah shalat fardlu (lima kali dalam sehari). Momentum Rajabiyah digunakan nahdliyin Jawa Timur  menggelar istighotsah (doa) kubro. Sebagian juga dilaksanakan di berbagai masjid dan mushala.
Ritual bulan Rajab tahun (1438 Hijriah) ini, masih diwarnai pergolakan politik sengit di beberapa daerah yang menyelenggarakan pilkada. Terutama Jakarta. Pengalaman pilkada DKI (Daerah Khusus Ibukota) Jakarta, patut menjadi “kewaspadaan” daerah lain. Karena ekses psiko-sosial pilkada, menunjukkan tren krisis ke-bangsa-an makin kuat. Nyaris tidak ditemukan lagi sosok “negarawan” pada ranah politik Indonesia.
Seluruh energi (dan kapita) seolah-olah dicurahkan untuk pilkada. Termasuk menggunakan sentimen ke-agama-an. Seluruh kader parpol (Ketua Umum tingkat pusat sampai tingkat kelurahan) diwajibkan berperan aktif. Tak terkecuali melibatkan kader parpol yang memiliki jabatan publik. Sehingga pilkada, bukan hanya kontestansi paslon. Tetapi telah menjadi ajang “aduan” kelompok parpol. Niscaya, berpotensi ajang tarung sosial secara diametral.
Berjuta-juta pernyataan penistaan dan berita bohong (hoax) bertebaran di media sosial. Bagai “perang” terbuka tanpa batas. Berbagai penyiaran berbasis internet dan media sosial, telah dimanfaatkan untuk propaganda. Sekaligus menghantam pihak lain yang dianggap sebagai penghalang. Tanpa batas kebebasan menyatakan pendapat, nyata-nyata telah menyebabkan kegaduhan sosial. Bisa mengancam persatuan dan ketahanan nasional.
Ancaman itulah yang dikhawatirkan oleh ulama dan umat nahdliyin. Selama ini telah berupaya keras memisahkan perilaku politik praktis (pragmatis) dengan urusan sosial keagamaan. Politik praktis dengan keyakinan agama tidak dicampur aduk. Terpisah, tetapi saling menguatkan. Bahkan banyak ulama juga dikenal sebagai politisi ulung (berdedikasi dan ber-etika). Banyak ulama menjadi pejabat politik. Menjadi pimpinan DPR-MPR, serta menjadi menteri.
Diantaranya, KH Idham Cholid, KH Bisrie Sansuri, M. Natsir (Partai Masyumi), serta KH Wachid Hasyim. Pada generasi berikutnya terdapat KH Saefuddin Zuhri, serta Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sebagian ulama KH Agus Salim, dan Ki Hajar Dewantara, serta KH Hasyim Asy’ary, memilih jalur politik ke-umat-an. Begitu pula yang dilakukan oleh KH Achmad Shiddiq. Visi-nya biasa dikenal sebagai ta’abbud (mengabdi) kepada masyarakat luas.
Begitu pula yang dilakukan oleh KH Achmad Shiddiq. Sebagai pucuk pimpinan NU, dinyatakan, bahwa Pancasila sebagai dasar (ideologi) negara telah final. Artinya, wajib pula mengakui ke-majemuk-an (pluralitas) bangsa Indonesia yang bersuku-suku bangsa. Beragam pula keyakinan ke-agama-annya. Walau Islam sebagai (sangat) mayoritas. Sejak awal kemerdekaan, NKRI (Negara Kesatuan RI) bukan berdasar keagamaan.
Prinsip ta’abbud tercermin dalam metodologi dakwah NU, yang mengedepankan istighotsah (tahlil dan puji-pujian kepada Ilahi), serta pembacaan shalawat Nabi. Sikap ta’abbud, juga dapat menjadi pencerahan politik (rahmatan lil ‘alamin) yang ramah. Namun pada situasi politik pertahanan negara, ta’abbud dapat menjadi panggilan pengabdian “rela mati” demi negara.
Memilah urusan politik praktis dengan agama, bukan berarti a-politik. Tetapi  melaksanakan politik kebangsaan dengan cara agama (santun). Serta berprinsip rahmatan lil ‘alamin, mengayomi semua anak bangsa. Dalam ajaran agama (Islam), terdapat perintah mencintai negara (hubbul wathan) sebagai keimanan. Di dalamnya termuat ajaran ukhuwah wathaniyah (kerukunan kebangsaan), termasuk melindungi umat non-muslim.
Maka istighotsah kubro (kolosal) diharapkan memperkuat kerukunan kebangsaan. Rajabiyah menjadi budaya bersendi syara’ yang menenteramkan, sekaligus memupus radikalisme. Pemerintah juga dapat memfasilitasi penyelenggaraan istighotsah pada kalangan pejabat, TNI dan Polri. Itu kan menjadi cara tepat membangun budaya politik kerakyatan.

                                                                                                                    ———   000   ———

Rate this article!
Doa untuk Bangsa,5 / 5 ( 1votes )
Tags: