Doa yang Sangat Sederhana

Oleh:
Sulistiyo Suparno

Ada jalan pintas melintasi pematang sawah menuju SD Negeri Ngaliyan, Kecamatan Limpung, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Tetapi, anak 10 tahun itu lebih memilih jalan memutar yang lebih jauh, karena di sana ada pemandangan yang membuatnya penasaran.
Adi selalu melihat seorang lelaki tua sedang membaca sesuatu di teras sebuah rumah limasan dekat pertigaan kampung. Mula-mula Adi hanya mengucapkan salam. Lama-lama, Adi menyempatkan untuk singgah sejenak.
“Pak Sastro sedang membaca apa?”
Sastro Wiyono, lelaki tua itu, melepas kacamata, “Majalah Horison,” katanya. “Ini majalah sastra, tetapi sekarang sudah tidak terbit lagi. Masuklah.”
Adi duduk di kursi kayu di teras, ketika lelaki tua itu memintanya duduk.
“Banyak majalah dan koran yang tutup. Orang-orang di negeri ini tidak suka membaca,” kata Sastro Wiyono.
“Adi suka membaca.”
“Oh ya?” sepasang mata Sastro Wiyono seketika bercahaya.
“Ya,” Adi mengangguk. “Di sekolah Adi ada perpustakaan. Adi suka ke sana, membaca. Adi kira semua buku di sana telah Adi baca. Tapi di sana menyebalkan, banyak debu dan banyak buku yang rusak.”
“Kalau kamu mau, kamu boleh baca buku di sini. Ada banyak buku di dalam, kamu bisa memilih buku yang kamu suka.”.
“Benarkah?” Adi membelalak.
“Tentu saja,” sahut Sastro Wiyono bersemangat. “Kapan kamu mau ke sini? Nanti sepulang sekolah?”

—- *** —–

Sastro Wiyono tinggal bersama istrinya. Sejak muda ia gemar membaca buku, selalu menyisihkan sebagian gajinya untuk membeli buku, koran, majalah, atau bacaan lainnya. Semua sudut di rumahnya penuh dengan buku. Istrinya yang juga pensiunan guru SD, meski tak segila Sastro Wiyono dalam perkara membaca, membiarkan lelaki kurus jangkung itu menghabiskan uang untuk membeli buku. Sastro Wiyono bersyukur memiliki istri yang pengertian.
Dua anak lelaki Sastro Wiyono telah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Lelaki tua itu tak berharap banyak pada dua anaknya. Mereka tidak suka membaca, mereka lebih suka bermain dengan permainan elektronik kemudian ponsel dan laptop. Kadang, ia menyalahkan masa lalunya, karena gagal menularkan virus gemar membaca pada anak-anaknya. Kegagalan itu membuatnya sering murung.
Semangat hidup Sastro Wiyono kembali membara ketika bertemu Adi. Ia merasa telah menemukan tunas yang akan tumbuh menjadi pohon raksasa. Sang istri senang karena melihat suaminya tidak lagi murung seperti hari-hari yang telah lewat.
Sedangkan bagi Adi, persahabatannya dengan Sastro Wiyono sangat menyenangkan. Ia dapat menuntaskan kegemarannya membaca. Adi selalu berpesan pada ibunya bahwa sepulang sekolah ia akan langsung ke rumah Pak Sastro Wiyono. Sedangkan ibunya berpesan agar Adi pulang saat asar, karena pada pukul 16.00 anak itu harus mengaji di TPQ (Taman Pendidikan Al-Quran).

—– *** ——

Selama beberapa hari Adi tidak bisa membaca buku di teras rumah Sastro Wiyono. Orang-orang berdatangan ke rumah lelaki tua itu dalam beberapa hari terakhir. Istri si lelaki kutu buku itu telah wafat. Kata ayah Adi, istri Sastro Wiyono wafat karena usia tua, jatah umurnya sudah habis.
Pada hari ke sekian, Adi melihat dua mobil di depan rumah Sastro Wiyono. Dua lelaki muda keluar rumah memapah Sastro menuju salah satu mobil. Lalu, dua mobil itu beriringan meninggalkan jalanan kampung dan menghilang di pertigaan. Adi memandang peristiwa itu dari kejauhan dan sepasang mata mungilnya berkaca-kaca.
Rumah Sastro Wiyono dijaga oleh Karmani, adik lelakinya yang juga sudah tua. Karmani datang tiap subuh untuk mematikan semua lampu, datang lagi menjelang magrib untuk menyalakan lampu di rumah itu. Selebihnya, rumah itu sepi selalu.
Pada satu kesempatan sepulang sekolah, ketika bertemu Karmani di sawah, Adi bertanya kabar Sastro Wiyono.
“Kapan Pak Sastro akan pulang?”
Karmani melepas caping, mengipas-ipaskan ke wajahnya yang berpeluh.
“Kukira tak akan pulang lagi,” kata Karmani. “Sejak istrinya wafat, kesehatan Kang Sastro menurun. Ia akan tinggal di kota, di rumah anaknya.”
“Buku-bukunya?”
“Sudah dibawa anaknya ke kota. Kang Sastro tidak mau berpisah dengan semua bukunya.”
Serasa tubuh tak bertulang, Adi pulang membawa kesedihan. Dengan punggung tangan, ia menyeka sepasang matanya yang terasa panas dan berair.
Adi berpikir semua telah berakhir. Ia tidak bisa lagi membaca buku bersama Sastro Wiyono di teras rumah seperti hari-hari yang lalu. Hanya ada satu buku yang menjadi pengikat kebersamaan dengan Sastro; Kumpulan Cerita Anak Islami. Buku itu masih berada di tangan Adi, dan kini ia sedang membacanya untuk yang ke sekian kali, malam ini, di kamar menjelang tidur.
Sebelum tidur Adi berdoa: semoga ada keajaiban yang bisa mempertemukan dirinya dengan Sastro Wiyono, sehingga ia bisa mengembalikan buku pada lelaki tua itu. Doa yang sangat sederhana.

———– *** ————

Tentang Penulis :
Sulistiyo Suparno, Cerpenis kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Karyanya tersebar di media lokal dan nasional, seperti Jawa Pos, Suara Merdeka, Minggu Pagi, Solopos, dan lainnya. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Sehari-hari bersama istri jualan bakso. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Rate this article!
Doa yang Sangat Sederhana,5 / 5 ( 1votes )
Tags: