Dokter di Jatim Ramai-ramai Tolak DLP

Puluhan dokter yang tergabung dalam IDI Cabang Kabupaten Pasuruan menolak keras kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan program DLP (Dokter Layanan Primer), Senin (24/10).  [hilmi husain]

Puluhan dokter yang tergabung dalam IDI Cabang Kabupaten Pasuruan menolak keras kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan program DLP (Dokter Layanan Primer), Senin (24/10). [hilmi husain]

Pasuruan, Bhirawa
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di sejumlah cabang di Jatim ramai-ramai menolak keras kebijakan pemerintah pusat yang akan menerapkan program Dokter Layanan Primer (DLP).  Penolakan tersebut lantaran program DLP dinilai hanya menghamburkan uang negara, sementara output program masih tak jelas dan  rentan menimbulkan konflik horizontal antara dokter di layanan tingkat pertama.
“Kami menolak keras program pendidikan DLP. Yang kami inginkan adalah pembenahan sistem pendidikan dokter, bukan malah menambah waktu pendidikan para calon dokter. Karena DLP hanya menghamburkan uang negara hingga triliunan rupiah, hasilnya tak jelas,” tegas Ketua IDI cabang Kabupaten Pasuruan  dr Sujarwo di RSUD Raci Kabupaten Pasuruan, Senin (24/10).
Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih fokus untuk membenahi sistem pendidikan kedokteran. Pasalnya saat ini pendidikan kedokteran tak pro rakyat karena butuh biaya yang sangat besar dan waktu lama untuk menyelesaikan studi.
“Saat ini banyak sekali fakultas-fakultas kedokteran baru yang kualitasnya patut dipertanyakan. Benahi sistemnya terlebih dahulu jika negara ragu terhadap lulusan dokter sekarang,” kata dr Sujarwo.
Sekadar diketahui, program DLP adalah pendidikan tambahan untuk dokter umum sehingga memperoleh gelar spesialis layanan primer. Sementara untuk dokter yang sudah berpraktik lebih dari 5 tahun cukup menempuh 6 bulan saja. Program tersebut tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter.
Di Blitar, penolakan serupa juga dilakukan. Puluhan dokter yang tergabung dalam IDI Kabupaten dan Kota Blitar melakukan aksi damai di pertigaan Herlingga Kota Blitar, Senin (24/10) kemarin.
Ketua IDI Kabupaten Blitar Miftahul Huda mengatakan aksi tersebut merupakan aksi solidaritas  dan merupakan instruksi dari IDI pusat.  Menurutnya DLP terkesan dipaksakan oleh Kementerian Kesehatan RI sehingga pihaknya menolak regulasi tersebut.
“Kami menolak tegas DLP,  dan hari ini (kemarin, red) kita gelar aksi solidaritas untuk menolak DLP,  termasuk di Blitar Raya,” kata Miftahul Huda.
Lanjut Miftahul Huda, dengan diberlakukannya program DLP nantinya dikhawatirkan justru akan memberatkan calon dokter. Selain itu pemberlakuan DLP sama saja dengan merendahkan serta meragukan kompetensi dokter yang selama ini telah melayani masyarakat di layanan primer. Pasalnya para dokter  umum yang saat ini ada juga sudah melalui proses uji kompetensi untuk sertifikasi. Menurutnya melalui DLP tersebut setelah menamatkan pendidikannya, dokter kembali diharuskan melaksanakan pendidikan intensif selama 2 tahun atau 4 semester.
“Kalau ini diberlakukan maka sama saja merendahkan kualitas kami yang sudah menepuh pendidikan dan profesi yang sudah cukup lama,” ujarnya.
Selain itu dikatakan Miftahul Huda untuk spesialis DLP mencakup dalam memberikan layanan primer di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas. Kemenkes dan Kemendiknas sendiri beranggapan prodi DLP ini untuk mengurangi angka rujukan dari FKTP ke rumah sakit.
“Padahal  yang diperlukan adalah adanya peningkatan kualitas bukan menambah prodi baru, yang membuat tamatan prodi DLP setara dengan dokter spesialis,” ujarnya.
Ketua IDI Kota Blitar Novi Irawan meminta pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan para calon dokter serta menuntut adanya reformasi sistem kesehatan dan pendidikan kedokteran yang pro rakyat. “Sesuai dengan instruksi PB IDI kami sepakat untuk menolak pemberlakuan DLP,” kata Novi Irawan.
Di Tulungagung sedikitnya 120 dokter yang tergabung dalam IDI Cabang Tulungagung juga menolak rencana pemerintah memberlakukan program DLP. Penolakan itu diwujudkan dalam aksi penandatangan petisi yang dilakukan di atas lembaran media spanduk putih berbahan plastik (polyester) yang telah dipersiapkan di depan kantor IDI Tulungagung Jalan dr Wahidi Sudirohusodo.
“Aksi ini serentak diinstruksikan oleh IDI pusat kepada seluruh jaringan IDI di daerah-daerah, termasuk Tulungagung. Intinya adalah penyampaian sikap IDI yang menolak wacana program studi baru untuk dokter layanan primer,” kata Wakil Ketua IDI Tulungagung dr Hanis Suprobo dikonfirmasi usai aksi damai.
Menurut Hanis, rencana pemerintah memberlakukan kewajiban prodi DLP untuk dokter umum yang bertugas di fasilitas kesehatan tingkat I layanan primer daerah sangat meresahkan.
Sebab, kata dia, tenaga dokter umum yang baru/telah lulus dan bekerja di struktur layanan primer dalam skema pelayanan masyarakat yang menggunakan fasilitas BPJS, pada dasarnya sudah memiliki kompetensi di bidang pelayanan primer dimaksud.
“Sekalipun program tersebut dibiayai negara, prodi DLP kami anggap tidak tepat sasaran dan memberatkan bagi dokter karena masih harus menjalani pendidikan lagi selama empat semester. Padahal output (status) tidak jelas, mereka bilang setara dokter spesialis tapi sebenarnya bukan dokter spesialis,” ujarnya.
Puluhan dokter yang tergabung dalam IDI Bojonegoro juga menggelar aksi damai di depan kantor DPRD Bojonegoro,Senin (24/10). Mereka membawa spanduk dan poster bertulis sejumlah tuntutan seperti ‘selamatkan dokter selamatkan rakyat’, ‘reformasi sistem kesehatan dan reformasi sistem pendidikan kedokteran’.
Selain itu mereka membacakan pernyataan sikap yang merupakan wujud keprihatinan dokter Indonesia terkait pelayanan kesehatan dan juga sistem pendidikan kedokteran Indonesia
Sementara itu IDI Cabang Surabaya meminta pemerintah memantau stardardisasi akreditasi Fakultas Kesehatan atau Kedokteran sehingga mampu menelurkan lulusan terbaik.    Ketua IDI Cabang Surabaya dr Pudjo Hartono mengatakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan semua lulusan dokter melanjutkan ?pendidikan selama dua tahun itu terlalu dipaksakan.
Menurut dr Pudjo yang harus dibenahi bukan pada dokter melainkan standardisasi akreditasi Fakultas Kesehatan yang ada di Indonesia sehingga menciptakan dokter terampil. Ia berharap, ada revisi di UU Dokter Layanan Primer (DLP). “Kalau dianggap kompetensinya kurang bisa kok kita meningkatkannya. Menurut saya yang harus ditinjau itu Fakultas Kedokterannya,” katanya.
Pudjo menilai Program DLP oleh Menteri Kesehatan bisa ditinjau ulang karena dapat membuat dokter tidak fokus melakukan tindakan medis yang berujung tidak maksimalnya pelayanan. IDI lanjut dr Pudjo meminta pemerintah merevisi kebijakan yang dibuat, sekaligus meminta penguatan penyebaran dokter di daerah.
“Memang ada kekurangan. Tapi itu bisa ditambahi karena standardisasi pendidikan Fakultas Kedokteran itu kan berjenjang ada A,B,C. Ini yang mungkin harus dibuat berstandar,” ungkapnya.
Untuk di Surabaya kata Pudjo, aksi serupa juga digelar di kantor IDI Cabang Surabaya sebagai bentuk solidaritas. Setelah melakukan aksi beberapa jam, para dokter kembali beraktivitas. [hil,htn,bas,wed,dna]

Rate this article!
Tags: