Dongeng, Rumah, dan Wabah

Oleh :
Achmad Sultoni
Dosen Bahasa Indonesia di Institut Teknologi Telkom Purwokerto. Ia penggerak di Komunitas Penyair Institute (KPI) Purwokerto. Buku puisi terbarunya “Dongeng Pohon Pisang” (Gambang, 2019).

Kalau kata adalah materialisasi, maka fungsi kata yang asli salah satunya adalah mengkomunikasikan pikiran pembicara agar pikirannya itu kemudian diwujudkan dalam perbuatan, khususnya oleh orang kepada siapa kata-katanya ditunjukkan. Demikianlah keterangan Ignas Kleden dalam tulisannya Eufisme Bahasa, Konsensus Sosial, dan Kreativitas Kita (Sikap Imiah dan Kritik Kebudayaan, 1987) ihwal kekuatan kata.
Selanjutnya Ignas Kleden—masih dalam tulisan yang sama—mencontohkan perihal kekuatan kata lewat aktivitas komunikasi seorang kondektur bus dan sopir bus. Ketika sang kondektur mengatakan “kiri” si sopir tanpa pikir panjang langsung menuruti kata-kata yang dilontarkan oleh kondektur. Si sopir langsung mengerem dan menghentikan bus yang dikemudikannya.
Inilah bukti sederhana dari seorang Ignas Kleden perihal kehebatan kata. Kata yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan orang lain, bertindak berdasarkan kehendak kita. Kata mampu mengintruksikan kehendak manusia. Tentu kita masih bisa mencari contoh yang lain perihal ini. Misalnya, tatkala kecil dahulu, ketika saya sehabis mendengar dongeng yang dibacakan oleh ibu guru di sekolah. Seusai didongengi oleh ibu guru, seolah timbul rasa takut dalam diri saya.
Pada dongeng Si Kancil, misalnya, saya merasa takut untuk mencuri karena takut dikurung. Saya tidak mau bernasib malang seperti kancil. Atau lewat kisah muram yang dialami seorang anak yang durhaka kepada ibunya, Malinkundang. Kedua dongeng itu seolah terus menghantui kehidupan saya. Tetapi bukan untuk menakut-nakuti. Ketakutan itu akhirnya ketika dewasa saya pahami sebagai sebuah ‘kesadaran’ atau lebih tepat lagi layaknya ‘rambu-rambu’ untuk bersikap dan bertindak.
Ketakutan-ketakutan mengakar kuat dalam diri. Dongeng seolah petuah. Tapi bukan petuah yang menjengkelkan. Siapakah manusia yang suka ditegur, dinasehati, lebih-lebih digurui? Tapi mendengar petuah dari sebuah dongeng tidak membuat saya merasa marah sebab petuahnya berupa contoh. Saya seolah sedang didemontrasikan bahwa anak yang tidak baik akan seperti demikian, sebagaimana digambarkan dalam dongeng. Dongeng semacam rambu-rambu dalam bertindak, meski hanya hitam putih.
Rambu-rambu
Sastra memang unik dalam menampilkan kehidupan. Menurut Saxby sastra pada hakikatnya adalah citra kehidupan, gambaran kehidupan. Citra kehiudpan (image of life) dapat dipahami sebagai penggambaran secara konkret tentang model-model kehidupan sebagaimana yang dijumpai dalam kehidupan faktual sehingga mudah diimajinasikan sewaktu dibaca (Nurgiyantoro, 2004).
Umpamanya pengalaman masa kecil saya ihwal Si Kancil dan Malinkundang, yang sesungguhnya kedua dongeng tersebut merupakan citra atau gambaran kehidupan. Dapat pula dikatakan sebagai ‘model kehidupan’. Lewat dongeng Si Kancil misalnya, seorang anak dicontohkan perihal model kehidupan yang tidak baik. Seseorang yang salah akan mendapatkan hukuman. Lebih jauh lagi, manusia tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya. Jika itu terjadi, seseorang akan dikurung seperti halnya dongeng.
Demikian halnya lewat dongeng Malinkundang. Anak-anak sesungguhnya sedang diberi model kehidupan bahwa seorang anak tidak boleh durhaka kepada orang tua, lebih-lebih pada ibu. Sebab melalui perantara orang tua hadirlah kita ke dunia. Lebih jauh lagi anak-anak sedang diberi tahu bahwa doa orang tua sangat mujarab. Hal itu digambarkan lewat Malinkundang yang dikutuk menjadi batu.
Akhir-akhir ini kita rajin dipertontonkan ihwal kehebatan kata. Bukan hanya sebatas dipertontonkan sebetulnya, namun lebih sedang disadarkan. Kehebatan itu di antaranya kekuatan kata-kata untuk membuat kehidupan manusia teramat gaduh. Kita tidak akan kesulitan menemukan ujaran-ujaran kebencian, khususnya di media sosial. Kata-kata yang dijadikan alat propaganda untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Bahkan lewat berita-berita palsu.
Bahasa adalah anugerah agung kehidupan. Dengan bahasa, kehidupan manusia semakin lengkap sekaligus bermakna. Bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Tapi lebih dari itu. Kita di tahun 1928 tepatnya tanggal 28 Oktober berikrar “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”. Bagi bangsa Indonesia, bahasa memiliki fungsi yang amat menakjubkan. Kita sadar bahwa bahasa sebagai piranti penting dalam menghela persatuan merajut asa kebangsaan.
Jika akhir-akhir ini kita dirisaukan dengan aksi hujat, khususnya di media sosial, kita patut mengingat sumpah berbahasa kita. Bahasa merupakan alat persatuan, bukan alat perpecahan. Alat untuk berbangsa. Boleh saja menganggap bahwa situasi politik menimbulkan gesekan-gesekan. Situasi panas tersebut lalu diverbalkan. Lalu bagaimana kondisi di kemudian hari sebab hajatan pilpres, pilgub, pildes, dan pil-pil yang lain agendanya lima tahun sekali. Apakah kita akan berhujat ria hingga waktu yang tak diketahui? Bahaya.
Menggairahkan Mendongeng
Sastra, selain berfungsi sebagai sarana hiburan, juga sebagai sarana menghaluskan budi manusia. Demikian halnya dongeng. Usia anak-anak merupakan usia yang sangat sensitif. Kesensivitasan dunia anak-anak berupa kedominanan mereka meniru sesuatu yang ada di sekitarnya. Apa yang apa ia lihat dan ia dengar sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian mereka. Apalagi apabila fenomena anak bermain gawai makin tak terbendung. Perilaku yang tak mendidik bisa setiap saat mereka temukan dalam belantara internet.
Kita perlu mendedah kekuatan bahasa lewat kata-kata untuk meneguhkan rasa kebersamaan sesama anak bangsa. Di awal tulisan ini sudah saya singgung perihal kekuatan kata. Kata-kata amat berpengaruh bagi cara berkehidupan manusia. Saya ingat satu nasehat, bahwa lingkungan amat penting bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian anak. Dan anak-anak lebih condong bertingkah tidak jauh beda dengan apa yang mereka dapat dari lingkungannya itu.
Mendongeng adalah tradisi agung dalam mendidik anak yang dimiliki masyarakat bangsa kita. Dulu kisah-kisah dongeng itu berasal dari legenda atau cerita-cerita rakyat daerah. Kisah Malinkundang, Sangkuriang, sekadar contohnya. Melalui aktivitas mendongeng seorang anak sesungguhnya seorang anak sedang dimadrasahkan pekertinya. Ia bahkan tidak sadar bahwa dia sedang diajari. Bahkan seorang anak merasa tergelitik, senang, terharu dengan kisah-kisah yang didapatkan dari dongeng. Yang jelas kisah-kisah arif dan penuh hikmah. Bukan kisah-kisah ujaran kebencian yang boleh jadi mereka dengar di keseharian mereka.
Musim pandemi memberi hikmah kepada orang tua lebih banyak berada di rumah. Permasalahan orang tua modern ialah keterbatasan waktu. Manfaatkan waktu langka ini menghibur dan mendidik anak lewat mendongeng. Jangan melulu anak-anak kesayangan kita didongengi oleh televisi yang sangat mungkin banyak tayangan tidak pas. Rasa bosan mungkin saja mendera anak-anak kita saat ini karena dianjurkan untuk berada di rumah saja. Mendongeng adalah pilihan terbaik buat mengusir kejenuhan itu.
————- *** —————

Rate this article!
Dongeng, Rumah, dan Wabah,5 / 5 ( 1votes )
Tags: