Dorong Pentingnya Strategi Pendidikan Antikekerasan

Kekerasan yang terjadi di Indonesia dari hari ke hari angkanya semakin meningkat, termasuk salah satunya yang akhir-akhir ini jadi sorotan adalah kasus kekerasan terhadap anak. Bentuk kekerasan terhadap anak, diantaranya seperti eksploitasi ekonomi, eksploitasi seksual, korban pornografi hingga korban penculikan.

Realitas tersebut, urgen terperhatikan mengingat anak termasuk dalam kelompok yang rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi. Oleh sebab itu, menjadi logis jika kekerasan pada anak dibutuhkan suatu cara, teknis atau strategi penanganannya. Mengingat angka kasus kekerasan pada anak di negeri ini terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), kasus kekerasan terhadap anak meningkat. Data sepanjang tahun 2021 tercatat, kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan mencapai 11.952. Sebanyak 58,6 persen atau 7.004 di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Dilanjutkan, pada Januari-November 2022 terdapat 1.664 anak berusia kurang dari 6 tahun yang menjadi korban kekerasan, (Kompas, 16/1/2023)

Setelah melihat data tersebut, solusi menanganannya tentu memerlukan dukungan berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam pencegahan kekerasan terhadap anak. Solusi yang bisa ditawarkan diantaranya dengan menyosialisasikan nilai-nilai antikekerasan pada anak usia dini dengan berbagai cara, seperti bercerita atau mendongeng, melalui alat permainan, maupun melalui musik. Menggunakan berbagai metode yang ada dapat membentuk kepribadian maupun perkembangan emosi anak, sehingga dapat mencegah terjadinya kekerasan terhadap anak.

Kenyataan dan langkah tersebut penting terperhatikan mengingat berdasarkan data Badan Pusat Statistik Tahun 2022, kurang lebih 11,21 pensen penduduk Indonesia berusia 0 sampai 6 tahun dan ini adalah usia emas yang tentunya hak-hak anak harus terpenuhi, sehingga risiko kerentanan anak masuk ke dalam kategori anak yang memerlukan perlindungan khusus (AMPK) akan menurun. Semua itu tentu menjadi bagian konsentrasi dan komitmen semua pihak, sehingga kekerasan baik secara fisik maupun psikis terhadap anak bisa dihindari karena sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa kita semua, baik Pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua bertanggung jawab atas perlindungan anak.

Masyhud
Dosen FKIP Universitas Muhammadiyah Malang.

Tags: