Dorong Sekolah Perkuat Deteksi Keluarga Anak Didik

Pemkot Surabaya, Bhirawa
Peristiwa teror bom di Surabaya menjadi pelajaran bagi banyak pihak. Tak terkecuali sekolah dalam melakukan pendekatan terhadap keluarga anak didik. Hal tersebut ditegaskan kembali Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat mengumpulkan kepala SD/MI, SMP/MTs, PKBM, Madin dan Pondok Pesantren di Convention Hall, Rabu (16/5).
Dikumpulkannya kepala sekolah ini sebagai langkah pencegahan keterlibatan anak-anak dalam aksi radikalisme. Dalam kesempatan itu, Risma memaparkan pengalamannya selama tiga hari terakhir sejak pertama kali teror bom itu muncul, Minggu (13/5).
“Aksi teror di Surabaya ini korbannya anak-anak juga. Makanya bapak dan ibu kepala sekolah saya kumpulkan agar nanti bisa memberikan instruksi pada guru atau wali kelas untuk mendeteksi anak-anak yang berbeda,”ujar orang nomor satu di Surabaya ini. Risma mengaku, anak-anak yang berbeda ini pasti tertekan dengan doktrin orang tuanya. Sehingga sekolah pun harus bisa mendeteksi lata belakang keluarga dan membantunya.
Kepala Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya, Ikhsan menambahkan wali Kota Surabaya telah menginstruksikan agar sekolah lebih memantau berkaitan kondisi anak-anak. Terutama saat mereka berkomunikasi di luar kelas.
“Bisa dimanfaatkan BK guru kelas atau guru lain, terutama saat jam istirahat dan di luar jam pelajaran mungkin banyak informasi terkait kehidupan kesehariannya atau di rumah. Berbeda dengan di kelas yang hanya bicara pelajaran,” jelasnya.
Kemudian sekolah bisa mengadakan program dengan keluarga siswa. Sehingga bisa membuat program bersama, untuk anak-anak.
Pihak Dindik juga sudah koordinasi dengan berbagai pihak terkait trauma center. Untuk melakukan pendampingan pada korban anak selama di rumah sakit, di rumah hingga di sekolah bersama teman-temannya.
“Setiap anak didampingi individual, kemudina teman satu kelasnya nantinjuga diberikan pendampingan,”lanjutnya.
Penanggung jawab Uliyah Ponpes Darul Barokah, Semampir, Muhammad Rifai mengungkapkan selama ini guru, kepala sekolah, ustad dan ustadzah serta pimpinan ponpes telah memberikan instruksi lebih ketat.
“Anak tidak pulang. Kalau keluar juga dengan syarat orang tua harus bilang. Misal ada pengajian yang tidak ada kerjasama dengan lembaga tidak diizinkan. Karena menghindarkan pemikiran radikal yang masuk,”lanjutnya.
Kemudian melalui Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP), pihak yang memiliki izin ponpes dan kementerian agama selalu berkoordinasi.
“Kami sekitar 26 ponpes juga saling mengenal sehingga bisa mengetahui apakah yang diajarkan sesuai syariat atau tidak,” jelasnya. Untuk mencegah paham radikal yang diajarkan orang tua, setiap tahun diadakan silaturahmi dengan wali santri. “Jadi pemahamannya bisa kami ketahui kalau ada yang radikalisme,”pungkasnya. [tam]

Tags: