Dorong Sineas Pemula Berani Angkat Isu Lokal dalam Film

Sutradara Film ‘Turah’ Wicaksono Wisnu Legowo saat mengisi talkshow tentang Perfilman pada FSS 2018 di gedung Pemuda, Sabtu (24/11).

Surabaya, Bhirawa
Pengangkatan isu daerah dalam sebuah film masih dianggap sebelah mata. Di samping karena tidak memiliki nilai jual komersil di dunia perfilman Indonesia, penggunaan content lokal atau warga asli daerah dianggap tak memiliki daya tarik bagi penonton. Namun, siapa sangka isu potensi lokal dalam film justru menarik perhatian kancah perfilman dunia dalam berbagai festival film bergensi.
Seperti Penghargaan Cannes Festival Film, Internasional des Cinemas d’Asia Vesoul, Toronto Internasional Film Festival, Tokyo Filmex International Film Festival dan berbagai penghargaan lainnya. Seperti halnya film “Turah” yang menyabet penghargaan ASEAN Film Awards juga menjadi kandidat nominasi dalam piala Oscar. Sang pembuat Film “Turah” Wicaksono Wisnu Legowo menuturkan keresahan permasalahan potensi lokal terkadang tidak bisa dibaca dengan jeli oleh sineas pemula. Padahal, bagi seorang sineas pemula menangkap isu-isu terdekat yang ada dilingkungan sosial masyarakat secara otomatis akan melatih kepekaan insting seorang director atau sutradara film.
“Dari situ kita bisa mengolah hal-hal yang tampak biasa saja bagi kita menjadi sesuatu yang tidak biasa bagi orang lain,” lanjut pria yang akrab di sapa Wisnu ini.
Menurut dia, pembuatan “Film Daerah” memiliki banyak pengaruh untuk peningkatan popularitas potensi lokal. Terbukti, dalam garapan film “Turah” yang ia buat mampu merubah wajah kampung Tiram yang dulunya tidak teraliri listrik, kawasan tertinggal yang dikelilingi laut, dan tidak tersentuh oleh perhatian pemerintah justru bermetamorfosa menjadi kampung nelayan yang banyak dikunjungi.
“Setelah film ini keluar orang-orang berlomba-lomba datang ke kampung Tiram. Ada pengunjung yang memperagakan kembali beberapa cerita film Turah. Bahkan calon Walikota Tegal waktu itu juga ikut berkunjung di kampung tersebut. Mereka berlomba-lomba memperbaiki kampung. Dan sekarang kampung itu sudah dijadikan kampung nelayan,” cerita Wisnu.
Hal tersebut, lanjut Wisnu juga dipengaruhi dari tokoh utama dalam cerita yang merupakan penduduk asli kampung Tiram, Tegal. Wisnu mengatakan, penggunaan tokoh penduduk asli justru membuat cerita semakin otentik dan menarik. Bahkan, film panjang pertamanya tersebut dinilai banyak orang merupakan film dokumenter.
“Banyak yang menyangka ini film dokumenter. Mungkin karena setting tempat, konflik yang terjadi dan para pemain yang benar-benar asli ada di kampung Tiram membuat cerita ini semakin otentik,” kata dia. Jadi, lanjut Wisnu, para penonton yang mengenal kota Tegal dengan perspektif lawakan dan wartegnya, justru bisa melihat sisi lain masyarakat Tegal.
Diakui Wisnu, banyak pihak yang terinspirasi untuk membuat film yang sama dengan mengusung isu lokal. Akan tetapi, ia menilai bahwa kejujuran cerita menjadi kunci utama pembuatan film menjadi menarik dan menyelipkan sebuah pesan.
“Maksudnya karya kita benar-benar menyuarakan sesuatu yang membuat hidup kita gelisah (tidak tenang). Bukan karya untuk sekedar keren-kerenan atau sejenisnya. Niatnya harus konteks filmnya untuk menyuarakan pikiran dan perasaan kita. Kalau untuk keren-kerenan jatuhnya tidak jujur dan bahkan bisa memanipulasi diri,” pungkas dia.

Festival Sinema, Asah Kemampuan Perfilman Anak Sekolahan
Film menjadi sarana media yang efektif dalam menyampaikan pesan. Hal inilah yang mendorong UPT Teknologi Informasi Komunikasi Pendidikan Dinas Pendidikan (Dindik) provinsi Jawa Timur untuk menyelenggarakan Festival Sinema Sekolah (FFS) 2018 di jenjang SMA/SMK negeri dan swasta.
Kepala UPT Teknologi Informasi Komunikasi Pendidikan, Sunarto mengungkapkan FFS 2018 merupakan wadah bagi siswa SMA/SMK negeri dan swasta untuk menyalurkan bakat dan hobinya melalui sebuah film pendek. Terlebih dengan mengangkat isu kearifan lokal, para siswa diharapkan semakin mengenal bentuk budaya masing-masing daerah untuk pendidikan kerakter anak.
“Karena pendidikan kami lewat IT, maka film ini akan sangat bermanfaat dalam meningkatkan pendidikan karakter dalam diri siswa,” ujar dia.
Untuk tahun ini, total pelajar yang mengikuti FFS 2018 mencapai 288 karya film dari 37 Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Jauh meningkat dibanding tahun lalu yang hanya mencapai 200 karya film. Dari jumlah tersebut, untuk grandfinal diambil hanya 10 karya film SMA dan 10 karya film siswa SMK.
“Film pemenang akan diupayakan bisa termuat hingga pusat teknologi komunikasi pusat,” pungkasnya.
Banyak pesan moral dalam film. Film sangat berguna dalam hal-hal untuk menyampaikan nilai nilai pendidikan. Hal ini juga bisa meningkatkan pendidikan anak anak.
Salah satu Sutradara film Multitasking yang juga peserta FFS 2018, Yusuf Afif Ramadhan mengungkapkan pembuatan film dengan mengusung kearifan lokal dan pendidikan karakter menjadi tantangan tersendiri bagi dia. Pasalnya, mencampurkan keduanya dalam sebuah cerita bukanlah sebuah hal yang mudah.
Misalnya dalam film garapannya, Siswa SMAN 1 Ponorogo ini menceritakan muatan pendidikan karakter yang diwujudkan dalam diri seorang siswa yang terbebani sekolahnya dan hobi menari.
“Saya sisipkan pesan pendidikan karakter itu dan kearifan lokal dalam multitasking. Di mana meskipun sangat menikmati hoby, sekolah jangan dijadikan halangan atau beban,” kata dia. [ina]

Tags: