DPR dan Budaya Tandingan

Nur Qomara, S.Ag-1Oleh:
Nur Qomar, SAg
Penulis aktif sebagai Jurnalis dan Guru SMK NU Lamongan

Ada yang berpendapat, tradisi pemilihan pemimpin secara langsung itu berlaku di Indonesia, yakni dalam pemilihan kepala desa. Bukankah pemilihan kepala desa selama ini dilakukan melalui pemungutan suara rakyat secara langsung? Dengan demikan, kita tidak perlu mempersoalkan pemilihan Gubernur/Bupati/Walikota secara langsung oleh rakyat. Apa benar demikian?
Kalau kita simak The History of Java yang ditulis oleh Raffles, sebenarnya tradisi pemilihan kepala desa dulunya menggunakan sistem musyawarah mufakat. Baru setelah kedatangan Belanda, sistem itu berubah. Awalnya, desa-desa dulu dihuni oleh puluhan keluarga yang masih memiliki keterikatan keluarga alias kerabat.
Di antara 10 keluarga itu bermusyawarah dan bermufakat untuk menunjuk seorang pemimpin. Pemimpin yang terpilih disebut PANEPULUH. Kriteria pilihan didasarkan pada usia, kecakapan, pengalaman dan kesaktian, mengingat seorang Panepuluh harus bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban warga yang dipimpinnya.
Di beberapa tempat, seorang Panepuluh disebut Danyang apabila dia orang pertama yang berdomisili di desa bersangkutan. Di desa-desa lainnya di luar Jawa, penamaan dan sebutan kepala desa disesuaikan dengan adat, budaya, dan kearifan lokal masing-masing.
Selain Panepuluh, ada lagi yang disebut PANATUS, yakni orang yang memimpin 100 kepala keluarga. Tata cara pemilihannya juga menggunakan musyawarah untuk mencapai mufakat, diwakili oleh masing-masing kepala keluarga. Kriterianya: cukup usia, bijak dalam bertindak, memahami adat-istiadat penduduk desa yang dipimpinnya, memiliki kelebihan dalam hal kesaktian.
Ada lagi PANEWU, yaitu pemimpin sebuah desa yang telah dihuni oleh 1.000 kepala keluarga. Cara pemilihannya masih dengan cara musyawarah dan mufakat, dengan kriteria jauh lebih ketat daripada kriteria seorang Panepuluh dan Penatus. Sebab, seorang Panewu ketika meninggal dunia akan digantikan oleh anak tertua laki-laki untuk melanjutkan estafet kepemimpinannya.
Begitulah, dari tradisi inilah maka para pendiri rebuplik ini dulu merumuskan sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Artinya, apa pun yang terkait dengan kepentingan rakyat dimusyawarahkan oleh orang-orang yang hikmat dan bijaksana dalam lembaga perwakilan, termasuk dalam hal menentukan pemimpinnya.
Dari landasan ideologis itulah dibuat landasan operasional yakni UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.  Kemudian, dalam penjelasan umum UUD 1945 disebutkan, kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD, menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara, dan mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil Presiden).
Ketika kemudian hendak memilih pemimpin di level bawah, dibuatlah undang-undangnya dan harus mengacu pada landasan ideologis dan operasional tersebut. Nah, ketika UUD 1945 telah diamendemen maka hilanglah cantolan konstitusi pilkada melalui DPRD. Kenapa? Karena, UUD hasil amendemen telah menghapus kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh lembaga perwakilan.
Oleh karena itu, kembali dulu ke UUD 1945 agaknya harus menjadi pilihan agar kita memiliki sistem sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri republik ini. Kalaupun kemudian harus ada amendemen maka amendemen harus merujuk pada landasaran ideologi bangsa kita, Pancasila, bukan ideologi liberal.
Budaya Tandingan
KATA dasarnya tanding. Kata dasar ini bisa memiliki turunan: bertanding, menanding, menandingi, tandingan, pertandingan, mempertandingkan. Mari buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Apa makna kata tandingan?
Menurut KBBI, kata tandingan memiliki dua makna. Makna pertama: seimbang (sebanding, sama) dengan yang lain; imbangan; lawan yang seimbang. Contoh kalimat: dia bukanlah tandingan pemain baru itu. Sedangkan makna kedua: pasangan; jodoh. Contoh kalimat: suami istri itu merupakan tandingan yang harmonis, sudah cocok benar.
Kalau DPR tandingan, apa maknanya? Kalau soal ini, tidak perlu membuka kamus pun banyak orang sudah yang tahu makanya: ada dua DPR. DPR yang satu dipimpin oleh kelompok pertama, sedangkan DPR yang lain dipimpin oleh kelompok yang lain.
Banyak orang juga sudah paham, dalam banyak hal kita sepertinya memang gemar membuat yang namanya tandingan, terutama dalam perpolitikan. Mari tengok catatan sejarah. Dulu, jauh sebelum Indonesia merdeka, tahun 1923, sebuah gerakan berbasis massa terbesar pertama di Nusantara bernama Sjarekat Islam pecah menjadi dua, yakni Sjarekat Islam Putih dan Sjarekat Islam Merah.
Sjarekat Islam Merah dimotori oleh Semaoen, Darsono, Tan Malaka, Alimin Prawirodirdjo berlandaskan sosialis-komunisme, yang kemudian bermertamorfosis menjadi PKI. Sedangkan Sjarekat Islam Putih dimotori oleh H Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, berhaluan kanan yang kemudian dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto.
Kejadian yang sama menimpa Jong Java. Dalam kongresnya di Solo, 1922, perkumpulan ini bersepakat tidak akan ikut serta dalam aksi politik, Tetapi, pada kenyataannya Jong Java mendapatkan pengaruh politik yang cukup kuat dari Sjarekat Islam di bawah pimpinan Haji Agus Salim. Dalam kongresnya tahun 1924, pengaruh Sjarekat Islam semakin kuat sehingga beberapa tokoh yang berpegang teguh pada asas agama Islam keluar dan membentuk Jong Islamieten Bond (JIB).
Sekian tahun kemudian, 1965, sejarah perpolitikan kita juga mencatat, Partai Nasional Indonesia (PNI) pecah menjadi dua. Satu kelompok dikenal dengan sebutan PNI Asu (Ali-Surachman) di bawah pimpinan Ali Sastroarnidjojo dan Surachman, kelompok kedua disebut PNI Osa-Usep di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranuwidjaja.
Masih ada lagi. Kemelut yang menimpa Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dengan puncaknya terjadi peristiwa 27 Juli 1996 membuat PDI pecah. Yang satu dikenal sebagai PDI Soerjadi, yang satunya lagi tahun 1999 mendirikan PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri.
Begitulah, budaya tandingan sepertinya sudah menjadi bagian dari tradisi bangsa kita. Selain di bidang politik, terjadi juga di bidang lain seperti olah raga dan organisasi-organisasi massa. Mungkin saja itu tidak jelek, kalau pembentukan tandingan itu dimaksudkan sebagai bentuk kritik terhadap kemapanan dan kemandegan. Dengan membentuk tandingan, akan tampak mana sisi negatif dan mana sisi positif dan kreatifnya.
Bagaimana kalau hal itu terjadi pada lembaga negara, seperti DPR? Sudah bisa dipastikan, pembentukan DPR tandingan akan menggerogoti kehidupan politik dan merongrong kewibawaan lembaga negara. Munculnya pimpinan DPR tandingan telah membuat kisruh tidak saja di Dewan, tetapi akan berdampak pada penyelenggaraan negara.
DPR seharusnya menjadi tempat bangsa ini mencari solusi atas segala permasalahan, bukan justru menjadi bagian dari permasalahan. Saran ahli tata negara Yusril Ihza Mahendra mungkin bisa ditempuh, yakni Presiden Joko Widodo dalam kapasitasnya sebagai kepala negara turun tangan untuk membantu mengatasi krisis di DPR.  Caranya? Undang para petinggi partai untuk bicara dari hati ke hati, lakukan kompromi politik. Dengan begitu, niscaya para kader mereka di Senayan akan mengikutinya. Itu harapan kita.

                                                                                ———————- *** ———————-

Rate this article!
DPR dan Budaya Tandingan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: