DPR RI Desak BPIH Rp49 Juta, Indonesia Harus Digitalisasi Perjalanan Haji dan Umroh

Diskusi forum legislasi bertajuk “Urgensi UU No 8 Tahun 2019” Di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (14/2).

Jakarta, Bhirawa.
Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf (PKS), minta pemerintah menetapkan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) maksimal Rp49 juta saja. Bukan Rp69 juta seperti yang akan di umumkan pemerintah, untuk harga baru BPIH tahun 2023 ini.

“Memang angka Rp49 juta itu belum diketik, bahkan kami dari fraksi PKS menghendaki angka tersebut bisa diturunkan lagi. Misalnya turun satu hingga dua juta lagi,” papar Bukhori Yusuf dalam diskusi forum legislasi bertajuk “Urgensi UU No 8 Tahun 2019” , Selasa (14/2). Nara sumber lainnya, Sekjen AMPHURI, Faried Aljawi.

Bukhori Yusuf lebih jauh memaparkan; biaya penyelenggaraan Ibadah Ha;i, terbagi dua. Ada yang ditanggung langsung oleh Jamaah, ada yang ditanggung melalui dana efisiensi dari BPKH.

“Dana yang ditanggung langsung oleh Jemaah itu, di-istilahkan Bipih atau Biaya Perjalanan Ibadah Haji. Inilah yang paling menjadi perhatian besar dalam konteks ini,” papar Bukhori.

Dikatakan, pemerintah waktu itu mengusulkan besaran nya sekitar Rp69 juta. Namun dalam rapat, dengan berbagai alasan yang diperdebat kan, pemerintah akhirnya menurunkan angkanya menjadi Rp49 juta.

Berbicara tentang revisi UU nomor 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan Haji dan Umroh, kata Bukhori, memang sudah masuk dalam daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional) prioritas 2023. Diajukan nya revisi UU No 8 th 2019 ini, karena banyak persoalan yang perlu diatasi.

Persoalan pertama, adalah men-sikapi dinamika yang berkembang di Arab Saudi yang dewasa ini semakin dinamis. Sejak 2020, Arab Saudi mencanangkan bahwa penyelenggaraan Ibadah Haji sudah tidak dilihat dari sudut pelayanan saja, tetapi ada aspek ekonomi. 

“Haji-Umroh di Arab Saudi sekarang sudah tidak lagi dipegang oleh Menteri Haji. Umroh dipegang oleh Menteri Pariwisata,” tutur Bukhori.

Oleh sebab itu, lanjut Bukhori, karena ada aspek ekonomi, maka perspektifnya tidak murni sebuah pelayanan ibadah. Tetapi merupakan industri Haji, karena mengandung dampak ekonomi yang sangat besar. Sekurang kurangnya selama 1 musim Haji menghasilkan Rp18 triliun. 

“Jika masing masing Jemaah Haji Indonesia mengantongi uang Rp5 juta saja. Maka sebanyak 221 ribu Jemaah Haji Indonesia dengan tempo 1 hingga 3 bulan, uang yang beredar bisa mencapai Rp40 triliun. Itu hanya dalam 1 kali musim Haji,” papar Bukhori.

Faried Aljawi menegaskan bahwa UU nomor 8 tahun 2019 perlu direvisi. Untuk mengimbangi perkembangan digitalisasi di Arab Saudi. Sebab UU nomor 8/2019 belum mengatur tentang proses transformasi digital. Yaitu tentang penyelenggaraan Umroh dan Haji. Hal ini dibuktikan dengan tidak bisa ,agan pemerintah Arab Saudi untuk menerapkan Kebijaka, Haji dan Umroh pada seluruh negara Islam Dunia.

“Kita harus berkaca pada negara negara lain. Dimana Arab Saudi sudah membebaskan untuk mengakses langsung data penyelenggaraan Haji dan Umroh. Sejak tahun lalu, penyelenggaraan Haji dari berbagai negara, sudah online. Kemarin, Australia dan Inggris juga sudah online. Bagaimana dengan Indonesia,” ungkap nya.

Faried Aljawi menegaskan; pemerintah Indonesia harus mengatur tentang digitalisasi Haji dan Umroh. Seiring dengan kebijakan baru Arab Saudi. (ira.hel).

Tags: