DPRD Jatim Catat Tiga Permasalahan Kronis Anggaran Covid-19

Anggota Komisi E DPRD Jatim Deni Wicaksono

DPRD Jatim, Bhirawa
Kalangan DPRD Jatim mempertanyakan pengelolaan anggaran Rp 2,3 triliun untuk penanganan Covid-19 yang dilakukan Pemprov Jatim. Penggunaan anggaran tersebut dinilai tidak transparan. Penyerapannya pun lambat, padahal sangat diperlukan oleh masyarakat yang sangat membutuhkan.
“Kami tidak melihat ada upaya serius dari Pemprov Jawa Timur, dari Bu Gubernur dan Pak Wakil Gubernur, untuk membangun governance yang baik dari pengelolaan anggaran untuk penanganan Covid-19,” ujar Anggota Komisi E DPRD Jatim Deni Wicaksono, Selasa (9/6).
Politisi PDI Perjuangan itu menilai, ada tiga permasalahan kronis terkait pengelolaan anggaran oleh Pemprov Jatim tersebut. Pertama, soal transparansi, termasuk dana yang sudah terpakai dan sisanya.
“Kita tidak melihat ada iktikad untuk membangun sebuah sistem yang kredibel dan transparan dalam penggunaan dana Covid-19. Publik tidak tahu secara terperinci, duit itu buat apa saja di tiap-tiap alokasinya? Seharusnya Bu Gubernur men-declare ini biar publik tahu, lalu publik percaya, dan pada akhirnya kalau publik percaya, maka program Bu Gubernur akan sukses. Itu logika pengelolaan anggaran yang sehat,” ujar politisi muda kelahiran Gresik ini.
Permasalahan kedua, sambung Deni, adalah soal serapan yang relatif lambat. Dia menyoroti soal penyaluran bantuan sosial dari Pemprov Jatim, terutama yang dalam bentuk bantuan pangan, yang tidak semua disalurkan secara cepat. Hal tersebut membuktikan sinkronisasi kerja antara Pemprov Jatim dan kabupaten/kota yang dibinanya tidak maksimal.
Deni mendapatkan informasi bahwa tahapan pencairan lambat karena belum sinkronnya data, misalnya terkait pekerja seni, pariwisata, kelautan, transportasi, dan sebagainya. “Serapan yang lambat juga membuktikan bahwa politik anggaran Pemprov Jatim tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Saat ini rakyat susah, tapi Pemprov Jatim bergerak lambat dalam sinkronisasi data, verifikasi dan sebagainya, sehingga penyaluran dana menjadi lamban dan tak optimal,” jelas alumnus Universitas Airlangga tersebut.
Ketiga, sambung Deni, adalah tak adanya konsep yang jelas terkait anggaran pemulihan ekonomi sebesar Rp 454 miliar. “Sekarang ini, semua pihak sudah bersiap new normal. Tapi Pemprov Jatim sangat lambat mengorkestrasi semua sumberdaya untuk pemulihan ekonomi. Soal pariwisata, misalnya, kita kalah cepat dari Bali dan Bintan yang sudah bersiap menyambut new normal,” terangnya.
Demikian pula desain pemulihan ekonomi untuk UMKM, BUMDes, dan masyarakat terdampak secara umum. “Publik tidak tahu Pemprov Jatim ini mau ngapain untuk pulihkan ekonomi, mau ngapain sambut new normal. Semuanya tidak jelas, hanya disebutkan akan alokasikan sekian ratus miliar, tapi detil kerjanya tidak jelas, programnya tidak konkrit,” tegas Deni. [geh]

Tags: