DPRD Jatim Desak Pemprov Beri Atensi Petani Kopi

Pranaya Yudha Mahardika

Turunkan Dana Bergulir di Tengah Pandemi Covid-19
DPRD Jatim, Bhirawa
Imbas merebaknya Covid-19 membuat sejumlah sektor terdampak, tak terkecuali petani kopi di Jawa Timur. Terhadap komoditas ekspor unggulan ini, Pemprov Jatim diminta beri atensi demi keberlangsungan roda ekonomi.
Hal ini disampaikan Anggota Komisi B DPRD Jatim, Pranaya Yudha Mahardika kepada Bhirawa, Kamis (28/5). Menurut dia, estimasi akan ada 1.000 ton dengan nilai Rp 80 miliar yang mandek di petani kopi se-Jatim, khususnya arabika karena pandemi.
“Karena pandemi, para eksportir masih wait and see. Jadi, eksportir belum berani ambil barang di Gapoktan. Sedangkan ini mau masuk musim panen, panen juga ada biayanya. Seperti pekerja petik, biaya angkut, biaya memproses buah ceri kopi sampai jadi greenbean, biaya simpan,” katanya.
Dijelaskan Yudha, menjelang musim panen kopi arabika ini pada awal Juni sampai akhir Agustus. Sedangkan, penghasil kopi arabika terbesar di Jatim ada di Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi dan Jember. Oleh sebab itu, Politisi Partai Golkar ini meminta pemerintah hadir melalui BUMD dan OPD Pemegang dana bergulir (Dagulir). Dimana, pemerintah harus peka terhadap situasi pangan Jatim dengan cara proaktif menyalurkan dagulir melalui BUMD perbankan.
“Melalui skema kemitraan dengan gapoktan yang ada, atau skema optimalisasi resi gudang,” terangnya.
Sebelumnya, Ketua Asosiasi Petani Kopi Indonesia (Apeki) Jawa Timur, Bambang Sriono mengatakan minimnya penyerapan produk kopi petani akibat banyaknya warung atau kedai kopi dan kafe yang tutup akibat Covid-19.
Menurutnya, kondisi saat ini cukup memprihatinkan karena warung, kedai dan kafe banyak yang tutup, maupun ada yang setengah tutup alias jual sistem take way sehingga penjualan kafe merosot dan berimbas di tingkat petani.
“Dengan tidak maksimalnya penyerapan, diperkirakan produksi bisa over supply mengingat proyeksi panen kopi tahun ini akan meningkat 2 persen sampai 5 persen.
“Mungkin bisa over stock karena lesunya pasar dan harga yang cenderung turun. Bahkan perkiraan tahun ini ada kenaikkan protas 2 persen – 5 persen untuk robusta maupun arabika,” imbuhnya.
Adapun produksi kopi 2019 secara nasional mencapai 675.000 ton, sedangkan produksi kopi Jatim sekitar 61.998 ton. Dari total produksi itu sekitar 82 persen adalah kopi robusta dan 18 persen adalah arabika.
Bambang menambahkan kinerja harga komoditas kopi juga memprihatikan. Sebagai pembanding, pada bulan yang sama, buah kopi merah Arabika tahun lalu mampu mencapai Rp7.000 – Rp9.000/kg, tetapi saat ini merosot hanya menjadi Rp4.000 – Rp5.000/kg di tingkat petani.
“Padahal tahun lalu harga kopi untuk grade tertentu bisa Rp60.000 – Rp85.000/kg untuk arabika dan robusta bisa Rp28.000 – Rp40.000/kg,” imbuhnya. Dia menambahkan saat ini yang hanya bisa dilakukan petani adalah mencoba merambah ke pasar online. Saat ini anggota Apeki baru 15 persen – 20 persen yang sudah mulai masuk pemasaran online.
“Terus terang masih mumet cari terobosan jalan keluarnya. Saat ini petani hanya bisa berdoa agar situasi segera pulih dan pasar memihak ke petani. Yang pasti petani tetap pergi ke kebun kopinya, kan tidak mungkin kebun kopi dirawat atau dikerjakan dari rumah,” imbuhnya. [geh]

Tags: