DPRD Jatim Nilai DistanKP Gagal Jaga Harga Komoditas Pertanian

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Komisi B DPRD Jatim menilai minimnya peningkatan Nilai Tukar Petani(NTP) akibat kurang optimalnya kinerja Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DistanKP) Jatim. Salah satunya adalah gagal mengambil tindakan strategis untuk menjaga stabilisasi harga komoditas pertanian.
Ketua Komisi B DPRD Jatim, Achmad Firdaus Ferbiyanto menyoroti minimnya kenaikan NTP di Jatim akibat kurang bagusnya kinerja OPD terkait . Padahal anggaran yang dikucurkan Pemprov untuk sector pertanian pada tahun 2018 mencapai Rp 229 miliar.
Ia menilai minimnya kenaikan NTP Jatim karena DistanKP Jatim gagal menjaga harga komditas pertanian stabil. Kondisi itu membuat kenaikan NTP hanya mencapai 1,06 persen tidak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Misalkan harga lombok yang beberapa waktu lalu menurun dan harga buah naga yang sempat hancur. Kenapa kok Pemprov Jatim tidak bisa melakukan pemetaan sehingga terjadi hampir setiap tahun,” kata Achmad Firdaus Ferbiyanto, Kamis (18/7).
Ia meminta agar Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa melakukan evaluasi terhadap kinerja bawahannya tersebut. Agar kejadian tersebut tidak terulang pada musim tanam tahun depan.
“Kalau saya menilai perlu dievaluasi. Kenapa anggaran besar hasilnya hanya seperti ini. Misalkan wayahe tandur (waktu tanam) maka Distan harus melakukan pemetaan di lapangan. Jangan sampai tandur (menanam) tandur kabeh, terus panen melimpah dan harga jatuh. Itu sering terjadi pada holtikultura,” tambahnya.
Firdaus meminta agar Khofifah memerintahkan pegawai DistanKP turun ke lapangan, untuk membuat pemetaan pertanian secara menyeluruh. Sehingga, nilai NTP 2019 mendatang bisa dikerek, agar dapat mengurangi jumlah kemiskinan di Jatim.
“Kalau saya menilai masih kurang pemetaan kan harus ada seluruh Jatim. Ini masih dalam proses, kalau memang mau mewujudkan itu maka harus diperbaiki,” pungkasnya.
Sementara itu Kepala DistanKP Jatim, Hadi Sulistyo mengatakan, berkaitan dengan harga komoditas pertanian lebih mengarah pada Disperindag Jatim yang lebih mengetahuinya. Sedangkan, DistanKP lebih pada produksi pertanian.
Dikatakannya, NTP memang nilai tambah pertanian dalam arti luas karena didalamnya tidak hanya menyangkut pertanian saja, namun dalam NTP ada lima subsektor yang mempengaruhi, seperti pertanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
“Sebenarnya kalau dilihat dari NTP-nya, kami hanya pada sub sektor pertanaman pangan dan hortikultura,” kata Hadi saat dikonfirmasi Bhirawa melalui selulernya.
Dalam rilis BPS, pada bulan Juni 2019, ada tiga sub sektor pertanian mengalami kenaikan NTP, sedangkan sisanya mengalami penurunan. Sub sektor yang mengalami kenaikan NTP terbesar terjadi pada sub sektor Tanaman Pangan sebesar 1,44 persen dari 108,64 menjadi 110,20
Selanjutnya kenaikan juga diikuti sub sektor Hortikultura sebesar 0,35 persen dari 101,55 menjadi 101,91, dan sub sektor Perikanan sebesar 0,07 persen dari 112,04 menjadi 112,12.
Relatif rendahnya kenaikan NTP antara lain disebabkan pada sub sektor yang mengalami penurunan NTP adalah sub sektor Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 0,35 persen dari 105,24 menjadi 104,88, dan sub sektor Peternakan sebesar 0,04 persen dari 111,70 menjadi 111,66.
Selanjutnya, adanya peningkatan indeks harga yang dibayar petani. Pada bulan Juni 2019, indeks harga yang dibayar petani naik sebesar 0,11 persen dibanding bulan Mei 2019 yaitu dari 139,65 menjadi 139,80.
Kenaikan indeks ini disebabkan karena indeks harga konsumsi rumah tangga (inflasi perdesaan) mengalami kenaikan sebesar 0,15 persen, dan indeks harga biaya produksi dan pembentukan barang modal naik sebesar 0,04 persen.
Indeks harga konsumsi rumah tangga (inflasi perdesaan) bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 0,15 persen dari 146,48 pada bulan Mei 2019 menjadi 146,70, dan Indeks harga biaya produksi dan pembentukan barang modal bulan Juni 2019 naik sebesar 0,04 persen dari 128,73 menjadi 128,79. [geh,rac]

Tags: