DPRD Sidoarjo Menggantang Asap, Bertikai Tanpa Henti

Sidoarjo, Bhirawa
Alot dan sulit kompromi, itulah suasana kebatinan anggota Banggar DPRD Sidoarjo. Kontraksi antar fraksi yang menyebabkan APBD 2017 kedodoran, bukannya pulih malah tahun depan hubungan antar fraksi diperkirakan akan makin tajam dan panas.
Dalam tahun 2017 DPRD Sidoarjo seperti menggantang asap. Melakukan hal sia-sia, yang ujungnya banyak kepentingan publik terganggu. Suasana hubungan kerja fraksi-fraksi menjadi tidak nyaman. Faktanya terlihat sekarang saat banjir ada di mana-mana, di komplek Perumahan Wisma Tropodo, Tamasya Griyo Mapan Santoso, Ngeni, Wedoro, kec Waru. genangan tinggi di desa Kemiri, Sidoarjo, kec Taman, Krian dan banyak lain.
Dinas Dinas PUPR sangat terlambat membangun box culver, di mana di tahun 2017 pembangunanya dimulai di ujung tahun ketika curah hujan lebat-lebatnya. Andaikan box cuver sudah terpasang september atau oktober minimal dapat menjadi solusi banjir. Proyek yang seharusnya bisa dikerjakan (dalam kondisi normal) bukan Agustus, menjadi molor november karena ketakutan OPD akan terjerat hukum, bila membelanjakan APBD 2017 kemasukkan roh dana siluman.
Pantas saja Silpa (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) Sidoarjo sangat tinggi. Karena banyak uang yang tidak terserap,m bukan karena sisa lelang, tetapi uang APBD memang banyak yang tidak dibeanjakan. Bila Silpa tahun lalu Rp 583 miliar, diperkirakan Silpa tahun ini akan membengkak melebihi Rp 600 miliar. Suatu angka fantastis yang menjadi sejarah silpa terbesar sepanjang pemerintahan Sidoarjo.
Anggota Banggar di hari-hari terakhir ini sibuk melakukan pembahasan APBD 2018. Rapat digelar tanpa mengenal hari libur, mulai pagi sampai malam. Selalu saja ada pemicunya, dan kedua kubu terkesan memaksakan diri, tanpa ada yang mau memgalah. Tidak ada lagi kompromi didalamnya. Bila APBD 2017 digoyang dengan masuknya anggaran siluman Rp 84 miliar dalam APBD 2017, ditambah usulan Pemkab Sidoarjo yang disokong fraksi PKB untuk membangun gedung terpadu 17 lantai dengan beaya Rp 800 miliar, yang inipun ditentang mati-matian oleh PDIP/PKS/PAN.
Topik terhangat yang sangat sensitif dalam pembahasan RAPBD 2018 saat ini adalah rencana membangun rumah sakit di Krian. RSUD yang sangat dibutuhkan masyarakat yang tinggal di wilayah barat Sidoarjo ini, menelan anggaran sangat besar. Banggar bukannya membahas bagaimana enaknya rumah sakit segera direalisasi, tetapi malah masuk dalam kumparan konflik baru. Kedua kubu kembali saling silang memaksa tanpa ada yang mau mengalah. Kubu fraksi PKB meminta agar pembangunan rumah sakit dan pengelolaan dibeayai BUMN dengan prakiraan Rp 1 triliun. Dalam konsep kerjasama Pemkab dengan BUMN milik kementrian keuangan tersebut, Pemkab wajib membeayai pengadaan tanah, dan urusan pembangunan dan pengelolaan rumah sakit ditangani BUMN setelah menggelontorkan uangnya Rp 1 triliun. Konsep lain rumahnsakit dibeayai APBD, dikelola sendiri tanpa melibatkan pihak ketiga.
Sebaliknya kubu PDIP/PAN/PKS, melihatnya itu sebagai pemborosan. Rumah sakit itu diminta dibeayai APBD dengan prakiraan Rp 300 miliar saja. Dibeayai sendiri, dikelola sendiri oleh Pemkab. Perbedaan pandangan yang tajam. Sulit menyamakan persepsi, kedua kubu cenderung menganggap paling benar, akibatnya bakal menjadi babak baru konflik seri berikutnya. Karena itu seluruh anggota DPRD yang berjumlah 48 orang (minus wakil ketua Rivai yang nonaktif dan Khoirul Huda ditahan jaksa), dikumpulkan, Minggu kemarin jam 12.30 untuk mendengarkan paparan eksekutif tentang pembangunan RSUD Krian.
Ali Masykuri, anggota komisi D DPRD, mengakui masalah teknis pembeayaan pembangunan rumah sakit itu memang pelik dipecahkan. “Sebenarnya seluruh anggota sepakat dibangun rumah sakit Krian, namun teknis pembeayaan ini yang memang belum ada titik temunya,” tandasnya. Rumah sakit mendesak dibangun di Krian, karena selama ini banyak pasien dari barat seperti Balongbendo, Tarik, Krian yang berobat ke Mojokerto yang jaraknya lebih dekat dibanding harus ke RSUD Sidoarjo di Jl Majapahit, kota Sidoarjo.
Menurut anggota dewan lain, dinamika di tubuh DPRD sendiri cenderung tidak sehat, saling menjegal dan saling merasa posisinya paling kuat dan pandangannya paling benar. Tentu saja implikasi perbedaan ini akan berakibat nasib APBD 2018 akan sama, yakni tidak bisa dibelanjakan di awal tahun seperti harapan masyarakat. Bila APBD dibelanjakan di ujung tahun, akan berdampak luas di banyak sektor, saat ini hampir 1 tahun tukang proyek tidak bekerja, mandor menganggur, penjual bahan bangunan tidak laku.
Ahmayadi, pekerja proyek dari Prambon, mengaku sedih karena mulai januari hingga oktober tidak bekerja gara-gara di Sidoarjo tidak ada proyek. “Biasanya saya bisa memborong 2 pekerjaan setiap bulannya, ” ujar pekerja yang bviasa mengerjakan proyek plengsengan. Sedangkan Purnomo, tukang dari Krian, juga meratap dabn harus mencari kerja lain, seperti bvuruh tani, karena tidak ada lagi proyek yangb harus dikerjakan.
Sebagai orang kecil, mereka tidak tahu apa yang terjadi dalam dinamikan di tubuh Sidoarjo, yang ia tahu bahwa mencari makan di Sidoarjo sangat sulit. Tidak ada lagi pekerjaan proyek yang bisa dikerjakan seperti tahun-tahun lalu, dimana bulan februari sudah bisa bekerja.
Anggota DPRD Sidoarjo sama-sama berjuang memperbaiki pelayanan masyarakat, taraf ekonomi masyarakat namun sayang untuk menjahit komunikasi antarfraksi ibarat menyatukan minyak dan air dalam satu kubangan. Tidak ada cara cerdas menyelesaikan masalah mereka. Tanpa disadari perjuangan mereka melayani masyarakat berakhir dengan penderitaan masyarakat itu sendiri.(hds)

Tags: