Dr Muhammad Diakui sebagai Top 0,1 Persen Pakar Helicobacter Pylori Dunia

dr Muhammad Miftahussurur MKes Sp PD-KGEH PhD

dr Muhammad Miftahussurur MKes Sp PD-KGEH PhD
Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK), dr Muhammad Miftahussurur MKes Sp PD-KGEH PhD, ini menjadi satu – satunya peneliti Indonesia yang menerima penghargaan Expertscape World Expert top 0,1%. Penghargaan ini diraih berkat penelitiannya tentang Helicobacter pylori. Helicobacter pylori merupakan sejenis bakteri yang sering dikenal sebagai penyebab utama tukak lambung.
dr Miftah-sapaan akrabnya mengatakan, sejak tahun 2011 pihaknya mulai mempelajari Helicobacter pylori. Terhitung 10 tahun meneliti, ia menghasilkan 98 publikasi terindeks Scopus. Di mana 80 diantaranya membahas mengenai Helicobacter pylori. Sehingga tak heran jika Expertscape menyebutnya sebagai ‘Pakar Dunia’.
“Saya kaget, tapi bersyukur Alhamdulillah. Walaupun ini tidak mencerminkan kesemua hal tentang pylori, tetapi saya merasa daftar itu cukup adil karena saya lihat di urutan 1, 2, dan 3 memang itulah ahli pylori dunia,” ucapnya.
Saat meneliti bakteri pylori, dr Miftah pernah harus mengumpulkan seribu orang untuk mendapatkan 100 bakteri. Sambil membawa alat endoskopi, ia mulai berkeliling Nusantara.
Di paparkan dr Miftah, di Indonesia, bakteri pylori tinggi hanya terdapat pada etnik tertentu. Di antaranya Suku Batak, Bugis, Papua, dan Timor. Sedangkan suku dominan seperti Jawa, Sunda, atau Melayu mempunyai prevalensi bakteri pylori yang rendah bahkan hanya di angka 2%.
“Angka 2% itu kan artinya dari 100 orang hanya dua orang yang positif. Dibandingkan dengan Suku Batak yang mencapai 40% atau Suku Bugis yang sekitar 38%,” papar Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Digitalisasi dan Informasi (IDI) Unair itu.
Temuan itu lantas menjadi fenomena yang menarik perhatian dunia. Sebab, jelasnya, rata-rata tingkat prevalensi Helicobacter pylori di seluruh dunia adalah 40% sampai 60%.
“Ini menjadi pusat perhatian. Di situlah publikasi – publikasi kita bisa diterima. Di Negara – negara maju seperti Jepang prevalensinya mencapai 40% sampai 60%. Sedangkan Negara – negara Afrika di angka 60% sampai 70%. Nah, kita ini hanya 2%, makanya menarik,” terang dr Miftah.
Sebagai informasi, sebelumnya dr Miftah juga kerap diminta memaparkan hasil kajiannya di Taiwan dan Korea Selatan. Menurutnya, tidak ada bidang penelitian yang sia-sia. Dahulu ia berpikir bahwa perspektif penelitian Helicobacter pylori sangat rendah. Tapi hal itu justru membawanya studi lanjut ke Jepang hingga Amerika.
Atas keberhasilannya itu, dr Miftah berharap dapat memacu para peneliti Indonesia, bahwa molecular epidemiologi masih menjadi penelitian yang cukup prospektif untuk dijalani.
“Walaupun bidang penelitian kita tidak terlalu prospektif, tetapi jika tekun pada suatu bidang terus-menerus ternyata juga memberikan dampak yang cukup besar,” pungkasnya. [ina]

Tags: