Dua Ahli Hukum Patahkan Nenek Asyani Bersalah

Salah satu saksi ahli saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim saat menyidangkan kasus nenek Asyani. [sawawi/bhirawa].

Salah satu saksi ahli saat memberikan keterangan di hadapan majelis hakim saat menyidangkan kasus nenek Asyani. [sawawi/bhirawa].

Situbondo, Bhirawa
Hari ini (2/4), majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo, akan kembali akan melanjutkan persidangan Nenek Asyani, terdakwa kasus pencurian tujuh batang pohon jati asal Dusun Krastal, Desa Jatibanteng, Kecamatan Jatibanteng. Sidang yang selalu dipimpin hakim Ketua Ketut Dedy Arcana itu, akan memasuki agenda kesaksian Asyani.
Dalam sidang sebelumnya Kuasa Hukum Asyani menghadirkan dua saksi ahli, masing-masing Mantan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Achmad Sodiqi dan Dr. Noer Fauzi Rachman, Dosen ilmu politik dan gerakan agraria Institut Pertanian Bogor (IPB).
Kedua saksi ahli ini berpendapat, bahwa dakwaan ilegal loging terhadap nenek Asyani tidak tepat. Nenek Asyani yang dituduh mencuri tujuh batang kayu, tidak bisa dijerat Undang-undang Nomor 18 tahun 2013, tentang pencegahan dan pemperantasan perusakan hutan atau (P3H).
Menurut Prof. Dr. Achmad Sodiqi, lahirnya UU P3H itu sebenarnya untuk pelaku kejahatan besar yang mengancam kerusakan hutan. “Namun untuk kasus nenek Asyani, sebetulnya tak perlu masuk pengadilan, melainkan cukup diselesaikan secara musyawarah,” ujar Akhmad Shodiqi.
Oleh karena itu, lanjut Prof Sodiqi, kasus yang menimpa Nenek Asyani bisa pula diselesaikan secara perdata. Jika unsur pidanaya masuk, urai dia, tidak perlu dijerat dengan kasus Illegal loging namun cukup menggunakan pasal pencurian biasa yaitu pasal 363 KUHP.
Apalagi sejauh ini, terang Shodiqi, perdebatan barang bukti masih belum selesai. Sebab pihak perhutani, Polisi dan jaksa tidak bisa membuktikan secara jelas, dan hanya mencocokkan kayu yang diduga dan diyakini. Sementara modus mengapa kayu jati di petak 43 F sampai ke tangan Nenek Asiyani, tidak pernah terungkap dengan jelas.
Prof Sodiqi menegaskan, hakim memang tidak boleh menolak perkara yang sudah P 21. Namun jika tidak terbukti, hakim harus menghentikan dan tidak perlu memaksakan.
Pernyataan senada  diungkapkan Dr. Noer Fauzi Rachman. Di hadapan mejalis hakim, Dosen IPB ini menegaskan, bahwa UU P3H tidak berlaku untuk kasus Nenek Asiyani. “Sebab UU P3H untuk memberantas ilegal loging yang dapat merusak ekosistem hutan, bukan untuk masyarakat kecil yang hanya mencuri satu atau dua pohon saja,” ungkap Noer Fauzi.
Bahkan Noer Fauzi menilai, pasal yang dipergunakan mendakwa Nenek Asyani sebagai bentuk kriminalisasi. Sejauh ini pembuktian kepemilikan kayu tidak dibarengi dengan modus pencuriannya. Tidak hanya itu, Noer Fauzi juga mempersoalkan surat dakwaan jaksa, karena tidak menyebut tempat tinggal Nenek Asiyani apakan berada sekitar hutan atau tidak.
Pemerintah pusat melalui Litbang Kehutanan dan Statistik, papar Noer Fauzi, telah memetakan masyarakat yang tinggal di daerah hutan. Dari 7.000 desa di Indonesia, ada 3.000 Desa yang ditetapkan sebagai masyarakat sekitar hutan.
Oleh karena itu, sambung Noer Fauzi, bagi masyarakat di sekitar hutan yang mencuri kayu, bisa dikenakan pasal 83 ayat 3 dengan ancaman penjara minimal 3 bulan dan maksimal 2 tahun. “Namun jika pelakunya bukan di sekitar hutan, baru jaksa menggunakan pasal 83 ayat 1. Ancaman hukumannya minimal satu tahun dan maksimal lima tahun,” pungkasnya. [awi]

Tags: