Dua ASN Pemkot Malang Raih Gelar Juara Dunia

Tek Hero Tito diapit Walikota Malang HM Anton (kiri) dan owner d’Kross BC, Ir H Ade Herawanto MT usai memastikan gelar juara dunia kelas ringan versi WPBF.

(Hero Tito-Rivo Rengkung Juara Dunia Kelas Ringan Versi WPBF

Menyandang gelar juara dunia bukan jaminan seorang petinju profesional bakal hidup bergelimang harta. Ironisnya, tak sedikit penyandang status kampiun di atas ring harus melakoni kerja ekstra untuk menjaga dapur keluarga tetap mengepul. Hal itu juga dialami dua juara dunia kebanggaan Kota Malang, Hero Tito dan Rivo Rengkung.dengan seragam atasan putih dengan paduan celana hitam, sosok pria bertubuh gempal itu nyaris tak ada bedanya dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sedang berdinas pada hari Rabu.

Kota Malang Bhirawa.
Sesekali ia menyunggingkan senyum ramah dari balik kemudi mobil berplat merah, membuyarkan asumsi ‘predator’ yang disematkan saat sedang berjibaku di atas ring.
Dia lah Hero Tito, yang terlahir dengan nama asli Heru Purwanto. Sudah beberapa bulan ini, pria 30 tahun itu bertugas sebagai tenaga bantu Non-ASN di Badan Pelayanan Pajak Daerah (BP2D) Kota Malang.
Kesan tersebut tentu bertolak belakang dengan aksi garangnya saat menumbangkan petinju Thailand, Thongcai Kunram dalam partai yang berlangsung di Lospalos Gymnasium, Timor Leste pada November tahun lalu.
Berkat kemenangan itulah, kini bapak dua anak itu menyandang status sebagai juara kelas ringan versi World Professional Boxing Federation (WPBF).
Namun, tak ada yang berbeda dari keseharian pria asal Banjarejo, Pakis itu. Sehari-harinya, dia tetap menjalankan tugas sebagai staf di instansi pemerintahan tersebut di sela padatnya intensitas latihan yang harus dijalani.
“Jadi harus pandai mengatur waktu antara kerja sebagai staf dan berlatih. Bahkan saya bisa latihan juga di halaman belakang kantor. Beruntung pimpinan sangat memahami,” tutur Hero ramah.
Tercatat sejak tahun 2010 silam, Hero sudah menyabet gelar juara kelas bulu 57,1 kg versi Komisi Tinju Indonesia (KTI). Di tahun-tahun berikutnya, rentetan prestasi terus mengiringi kiprahnya. Mulai dari partai nasional, sampai tingkat Asia sudah dilakoninya sehingga kemudian mengantarnya ke tangga juara dunia.
Meski kariernya di atas ring terus meroket, namun bayang-bayang ketidakjelasan nasib sempat menghantui suami Siti Nurul itu. Putra bungsu Misran ini khawatir masa depannya gelap begitu gantung sarung tinju di kemudian hari. Keinginan untuk hengkang keluar Malang pun sering terlintas dalam benaknya.
Buah kesabaran Hero akhirnya berbuah manis. Begitu dia resmi menyandang predikat sebagai juara dunia, Walikota Malang HM Anton memenuhi janjinya untuk mempekerjakan pria kelahiran 27 September 1986 ini di lingkungan Pemkot Malang. Kendati demikian dia harus tetap bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan lain.
Namanya juga atlet profesional, Hero pun tak boleh telat untuk memenuhi kebutuhan latihan dan vitamin. Kadang kala, dia harus mengeluarkan kocek pribadi. Mengandalkan bantuan dari sasana saja tentu tidak cukup. Meski d’Kross Boxing Camp (BC) tak kurang-kurang memperhatikannya, namun gajinya jelas tak sebanding dengan kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah sang buah hati yang kini duduk di bangku Sekolah Dasar.
Sebagai petinju profesional, bayaran yang diterima Hero setiap kali tanding tak tentu. Sedangkan interval pertandingan juga tak bisa dipastikan. Kadang dua bulan sekali, bisa juga empat bulan sekali baru kembali naik ring. Sementara gaji sebagai tenaga bantu Non-ASN juga tak lebih dari Rp 2 juta per bulan.
Kondisi itulah yang dulu pernah membuatnya berpikir untuk menerima pinangan dari luar negeri. Ayah dari Tasya Azahra itu mengungkapkan pernah ditawari promotor asal Australia untuk hijrah membela sasana di Negeri Kanguru.
“Menggiurkan sih. Tapi, kalau saya berangkat kesana, apa menjamin kehidupan saya lebih baik saat kembali ke Malang nanti,” gumamnya.
Karena berasal dari keluarga petani dan kebetulan tempat tinggalnya masih di kawasan pedesaan, Hero juga sering menjual panen sayur mayur dan buah-buahan yang dia tanam di ladang dan tegalan samping rumahnya.
“Lumayan hasilnya untuk tambah-tambah isi dompet, meski tidak banyak,” ucapnya lirih.
Secara kualitas, Hero memang diakui sebagai ‘permata’ dalam belantika olahraga adu bogem Tanah Air. Pemilik d’Kross BC, Ir H Ade Herawanto MT, mengakui ketangguhan jagoannya itu. Pesona Hero di atas ring sudah memikat Sam Ade d’Kross, sejak petinju berambut cepak itu berkiprah di level amatir.
Kepala BP2D Kota Malang yang notabene juga atasan Hero di kantor itu kepincut dengan gaya bertanding Hero yang menghibur.
“Menurut saya, Hero adalah petinju amatir terbaik di Malang saat itu. Dia itu seniman tinju. Sayangnya, dia sering ‘diperjual-belikan’ dari satu sasana ke sasana lain. Akhirnya saya kontrak Hero dari Cak Waris (pemilik Extra Joss BC Jakarta) pada tahun 2008,” ungkap Ade yang kala itu masih mengelola Sasana Gajayana.
Sejak Hero menunjukkan bakat luar biasanya yang berujung pada serentetan gelar bergengsi, sudah beberapa kali Ade dikontak oleh sejumlah promotor nasional yang tertarik merekrut Hero. Diantaranya berasal dari Jakarta, Semarang hingga Australia. Namun, Ade yang juga dikenal sebagai tokoh musik dan Aremania enggan melepas.
Padahal, penghobi olahraga ekstrem ini sadar bahwa angaran yang dibutuhkan untuk membina petinju, mengelola sasana dan menjadi promotor tidaklah sedikit. Bahkan tidak semua orang mampu dan mau mengurusi olahraga tinju.
Sesuai janjinya, Ketua Komisi Tinju Profesional Indonesia (KTPI) Malang Raya ini akan mundur dari dunia tinju jika sudah berhasil mengantar petinju Malang merengkuh gelar juara dunia. Akhirnya cita-cita pecinta musik rock yang juga hobby nge-trail ini kesampaian. Meski Ade mengakui belum tega jika langsung lepas tangan, karena belum ada regenerasi kepengurusan.
Tak jauh berbeda, jalan terjal dan berliku juga dilalui Rivo Rengkung. Memulai perjuangan sebagai petinju amatir sejak masih usia belia, pria bernama asli Rivly itu juga merasakan pahit getir dalam meniti karier.
Di bawah gemblengan sang ayah angkat, Yongky Liu, Rivo muda menjelma jadi petinju profesional yang mulai diperhitungkan di era 2000’an. Berangkat dari Manado, petinju asal Tomohon itu mengorbit cepat sebagai petarung beringas dari wilayah Timur Tanah Air.
Hingga kemudian menjadi juara dunia kelas ringan yunior versi WPBF pun, nyatanya Rivo harus tetap melakoni kerja sampingan untuk menyambung hidup. Mulai sebagai pelatih tinju, kick boxing hingga bertarung di kejuaraan Mix Martial Arts (MMA) dilakoninya.
Sama halnya Hero, tentu saja penghasilan Rivo dari kerja sampingan tersebut tak selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan latihan dan vitamin, di samping kewajiban utama memenuhi kebutuhan keluarganya yang berdomisili di Salatiga, Jawa Tengah.
Saat memutuskan hijrah ke Malang pun, pria kelahiran 1 Juni 1984 itu pun dengan berat hati meninggalkan istri, Tuty Herawati dan sang buah hati, Liony Putri Alicia yang kini duduk di bangku kelas IX SMP.
“Tentu saja rasanya berat di hati, tapi perjuangan ini demi penghidupan yang lebih baik bagi keluarga kami,” seru Rivo mantap.
Jangan bayangkan seorang juara dunia berangkat dengan mendapatkan pengawalan ekstra atau naik mobil mewah, karena Rivo menempuh perjalanan dari Salatiga ke Malang hanya dengan menunggangi sepeda motor seorang diri.
Begitu sampai di Malang pun, petinju 32 tahun itu juga belum tahu dimana akan tinggal karena mess di Sasana d’Kross BC sedang direnovasi.
“Sementara saya menumpang di rumah Hero dulu sampai kamar di mess sudah selesai direnov,” lugasnya.
Maka, jangan bandingkan kisah dua petinju juara dunia bernama Hero Tito dan Rivo Rengkung dengan cerita manis dari lapangan bola. Jika pemain sepakbola biasa masih bisa membeli mobil, seorang juara tinju internasional nyatanya masih butuh kerja sampingan untuk sekadar menyekolahkan anak. Bahkan sampai saat ini, Hero dan keluarga kecilnya masih tinggal di rumah orangtuanya di Banjarejo, sementara Rivo numpang tinggal di rumah tersebut. [mut]

Tags: