Dua SMA Jadi Pilot Project Sekolah Ramah Anak

Dihadiri Kepala Cabang Dinas Surabaya Pendidikan Jatim, Sukaryantho warga SMAN 16 Surabaya Deklarasikan Sekolah Ramah Anak (SRA). Salah satunya Stop Buliying.

Wakilkan Surabaya di Lomba Implementasi SRA Tingkat Jatim
Surabaya, Bhirawa
Komitmen Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim dalam mewujudkan Sekolah Ramah Anak (SRA) akhirnya bisa direalisasikan. Dua sekolah yang menjadi pilot projek implementasi SRA diantaranya adalah SMA SAIM (Sekolah Alam Insan Mulia) dan SMAN 16 Surabaya. Keduanya dinilai memiliki unsur pendukung ramah anak baik dalam segi fasilitas sarana dan prasarana maupun kurikulum pembelajaran.
Waka Kesiswaan SMA SAIM, Lotus Respati Nusantara Akbar mengungkapkan salah satu penilaian dalam SRA adalah pemenuhan hak-hak anak. Di antaranya adalah hak belajar dan hak mendengar. Hal tersebut juga disesuaikan dengan delapan standart nasional yang memenuhi kategori SRA. Diantaranya standart isi yang meliputi kurikulum dan konsep perlindungan anak, standart proses meliputi pembelajaran inspiratif, inovatif, motivasi dan kreatifitas dan minat bakat siswa.
“Sementara standart kompetensi kelulusan diantaranya meliputi pencapaian keterampilan individu. Kemudian standart PTK (pendidik dan tenaga kependidikan), standart pembiayaan, standart penilaian, standart sarana prasarana, dan standart pengelolaan,” ungkap dia. Selain itu, pencegahan tindak kekerasan dan bulliying menjadi penilaian paling besar. Hal itu dibuktikkan dengan catatan pengaduan siswa. “Kami berprinsip dalam mendidik siswa harus mengutamakan sisi kemanusian. Istilahnya memanusiakan manusia,” kata dia.
Itu terkait dengan peserta didik inklusi yang diterima di sekolahnya. Dari total 103 siswa, delapan diantaranya merupakan siswa inklusi yang tersebar di kelas 10 hingga 12.
“Kami punya tiga GPK (Guru Pendamping Khusus) untuk mendampingi anak-anak inklusi. Sementara untuk rasio guru BK dengan siswa 1:5”
Diakui Lotus, implementasi SRA sudah dilakukan oleh pihaknya sejak delapan tahun terakhir. Hanya saja, tahun ini merupakan kali pertamanya ditunjuk oleh Dindik Jatim dalam menjadi pilot projek SRA di Surabaya.
Sebagai salah satu implementasi SAR, SMA SAIM juga menerapkan disiplin positif. Di mana penerapan tersebut ditekankan pada pemberian konsekuensi yang telah disepakati anatara guru dan siswa sebelumnya. Misalnya jika siswa terlambat konsekuensi merawat tanaman, menata sandal dan sepatu juga hingga menjadi pengajar mata pelajaran maupun menjadi guru ngaji bagi siswa SD.
“Kita lebih senang menggunakan punishmen atau konsekuensi yang sifatnya mendidik dan bermanfaat bagi siswa. Bukan dengan bermain kontak fisik pada siswa yang justru membuat mereka trauma,” tutur Lotus.
Sementara dalam proses pembelajaran SAIM tidak pernah membebani siswa dengan pengerjaan tugas. Itu karena pihak sekolah menerapkan proses diskusi antar siswa di dalam kelas. Di banding memberikan tugas untuk dikerjakan di rumah.
Pihaknya berharap, dengan ditunjuknya SMA SAIM sebagai pilot projek SRA bisa memicu inspirasi bagi sekolah lainnya dalam menciptakan pendidikan yang kondusif, aman dan nyaman bagi peserta didik. “Ini juga menjadi kesempatan bagi kami untuk terus memperbaiki diri dalam pelayanan terhadap peserta didik,” pungkas dia.
Hal yang sama juga diungkapkan Waka SMAN 16 Surabaya, Sulistyono jika sejak sekolahnya didirikan pihaknya sudah menerapkan SRA. Terbukti warga sekolah di SMAN sangat menjunjung tinggi budi pekerti dan hormat kepada guru dan orangtua dengan pendekatan secara massif.
“Yang terpenting bagaimana kami menghapus diskriminasi terhadap siswa. Guru tidka bermain fisik apalagi mempermalukan siswa dihadapan teman-temannya,” ujar dia.
Di samping itu, pihaknya juga memberikan fasilitas dalam mendukung implementasi SRA. Seperti membuat jalur evakuasi, penegasan kawasan bebas rokok juga pemberian ruang baca di sudut-sudut sekolah.
“Meskipun banyak yang perlu dibenahi untuk menjadi sekolah ramah anak, pihaknya juga berupaya dalam memberikan pelayanan terhadap suasana tempat yang aman dan nyaman guna memotivasi siswa minat belajar siswa lebih meningkat,” kata Sulis.

Sekolah Harus Penuhi Indikator Ramah Anak
Upaya mendorong adanya sekolah yang memberikan layanan bermutu, pemerintah juga mendorong adanya suasana sekolah ramah anak. Hal ini dibuktikkan dengan pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah provinsi Jatim yang terencana secara menyuluruh dan
berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak.
Kepala Dindik Jatim Dr Saiful Rachman mengatakan dalam mewujudkan sekolah ramah anak, satuan pendidikan harus menerapkan beberapa indikator terkait. Pertama, sekolah harus nol kekerasan, sekolah aman
Secara gedung, yaitu ada jalur evakuasi, titik kumpul jika ada bencana. Kedua, setiap satuan pendidikan harus memiliki jalur aman ke sekolah seperti tempat
penyeberangan atau zebra cross. Terakhir, sekolah ramah anak juga harus memiliki kantin yang menyediakan makanan sehat sehingga mendukung tumbuh kembang anak.
“Masing-masing jenjang satuan pendidikan harus bisa memenuhi standar pelayanan minimal di satuan pendidikan, termasuk juga memiliki kebijakan anti kekerasan, dan kode etik penyelenggara pendidikan,” tegas Saiful.
Ini karena, sebagian tenaga pendidik atau guru masih menganggap bahwa anak didik hanya dapat didisiplinkan dengan hukuman yang cenderung mengandung unsur
kekerasan fisik. Dibandingkan melakukan tindakan disiplin positif lainnya.
“Sebaiknya setiap satuan pendidikan tidak mengedepankan hukuman fisik dan psikis dalam pembinaan terhadap anak didik. Kapasitas guru juga harus ditingkatkan dalam pelaksanaan manajemen pengelolaan kelas. Hal ini perlu dilakukan agar para guru bisa menangani anak didik yang mempunyai masalah dikelas tanpa kekerasan,” pungkas Saiful. [ina]

Tags: