Dualisme Hukum dalam Konflik Agraria

Refleksi Hari Tani Nasional, 24 September 2021

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Konflik FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jawa Timur

Salah satu dimensi dalam konflik agraria struktural di Indonesia adalah dimensi hukum. Ada dua sistem hukum dengan sumber dan karakter yang berbeda yang melingkupi konflik pertanahan dan masing-masing memiliki eksistensi, yakni hukum negara dan hukum masyarakat atau yang sering kita kenal dengan dualisme hukum. Pada umumnya, konflik agraria bersumber dari saling klaim atas penguasaan dan pemanfaatan tanah. Masing-masing pihak, negara dan masyarakat, memiliki dasar dan basis keabsahan yang berbeda. Satu sisi, negara, dalam hal ini pemerintah mengklaim hak atas penguasaan dan pemanfaatan tanah didasarkan pada aspek legal-formal atau hukum negara (de jure). Sementara disisi lain, masyarakat lokal mendasarkan penguasaan dan pemanfaatan hak atas tanahnya pada hukum rakyat atau adat setempat yang sudah ada, hidup, dan berlaku dalam komunitas-komunitas lokal (de facto) (Afrizal, 2006, 2018).

Noer Fauzi Rachman (2016), menyebutkan bahwa penyebab utama dari konflik agraria bersumber dari adanya dominasi sistem penguasaan tanah yang berasal dari hukum negara, di mana negara secara sepihak memberikan layanan begitu besar pada pemilik-pemilik modal untuk mengembangkan usahanya dalam mengelola tanah dan kekayaan alam lainnya, termsuk hasil-hasil hutan. Sementara itu, hak-hak masyarakat setempat yang telah lama hidup dan mengembangkan suatu sistem tersendiri untuk mengelola tanah dan kekayaaan alam lainn tersebut diabaikan dan dilanggar begitu saja. Bahkan yang terjadi tidak hanya dominasi satu sistem hukum (baca: hukum negara), tapi juga praktek dominasi negara atas masyarakat yang diwarnai dengan unsur-unsur kekerasan secara struktural (structural violance), karena sumber utamanya datang dari aparatus negara.

Upaya Pemerintah

Ikhtiar pemerintah pusat dan daerah untuk menyesaikan konflik agraria kerapkali muncul dari atas (top down), yakni menggunakan instrumen hukum negara dan pada saat yang sama kerapkali mendapat resistensi dari masyarakat lokal. Pendekatan dan penggunaan hukum negara yang legalistik-positivistik terhadap konflik agraria, pada kenyataannya tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat lokal. Kehadiran dan penggunaan sistem hukum negara, utamanya dalam lingkungan masyarakat lokal, tak jarang menjadi beban bagi penerimanya. Hukum dan budaya lokal, tidak selalu compatible. Bahkan relasinya seringkali berwajah konfliktual. Hukum negara sebagai sistem formal-modern yang dibentuk secara sentralistik, hadir dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat lokal yang informal-khas lokal. Keduanya, merupakan produk dari konstruksi sosial dari dunia yang berbeda dan memiliki logika dan “keprihatinan dasar” berbeda pula (Tanya, 2011:1-2).

Secara sosio-historis, realitas masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang lahir dari keragaman dalam berbagai hal, termasuk sistem hukumnya. Masyarakat lokal memiliki kekhasan, kekhususan dan tradisi yang dijalankan secara komunal dan turun-temurun, mempunyai norma sosial, aturan main dan tata cara hidup yang bersifat lokal, yang digunakan untuk mengatur hubungan masyarakat dengan sumber-sumber agraria, pengaturan hubungan sosial antar warga masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah, termasuk pembagian tanah dan penyelesaian konflik, bahan memiliki lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai masalah di masyarakat. Aturan dan tata cara ini yang dikenal dengan hukum rakyat. Upaya penyeragaman dan bahkan tindakan (aparatus) negara yang berusaha ‘memaksakan’ nation law untuk diberlakukan dan diterapkan seragam ke seluruh masyarakat tanpa perlakuan berbeda, dalam fakta empiris-historisnya telah melahirkan konflik yang berkepanjangan dan perlawanan dari masyarakat lokal. Sebagaimana dijelaskan Myrna A. Safitri (2010:28), upaya negara yang memaksakan hukum nasional seringkali tak relevan dengan norma dan kelaziman komunitas lokal. Ketika terjadi, penerapan hukum yang tak relevan dengan ‘hukum’ rakyat, maka cenderung tak akan dipilih. Bukan kerapkali masyarakat lokal justru akan menentang dan melawannya. Dominasi dan monopoli penggunaan hukum negara secara sepihak, dengan mengabaikan konsteks sosio-historis dan hak-hak masyarakat adalah tindakan kekerasan hukum dan bentuk ketidakadilan.

Sementara itu, urusan dan mekanisme formal-prosedural dirasakan warga komunitas sebagai “beban”, bukan hanya karena persyaratan, mekansme, atau prosedurnya yang memang relatif rumit, tetapi juga karena realitas struktural lokal dengan kesederhanaannya terlalu “terbatas” untuk memenuhi tuntutan sistem urusan formal. Sebaliknya bagi warga lokal, persoalan atau urusan yang bagi warga setempat sudah terbilang tertib, pasti, dan “normal”, berubah menjadi “rumit” dengan kehadiran regulasi negara (Tanya, 2011:195). Kehadiran hukum dan regulasi negara dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat, bukannya menghadirkan tertib dan harmoni sosial, tetapi justru menghadirkan kerumitan tersendiri bagi masyarakat lokal. Kerumitan juga terjadi ketika hukum adat/lokal berhadapan dengan hukum negara (Karman, 2010:2). Ketentuan normatif yang terkandung dalam pasal-pasal dalam seperangkat peraturan perundang-undangan (hukum negara) ternyata tidak mampu mengakomodasi keinginan normatif kolektif untuk menciptakan social order dan penyelesaian konflik di aras komunitas lokal. Karena itu, ke depan pembangunan dan penerapan hukum sudah seyogyanya berbasis pada kondisi potensi sosial-budaya lokal (Saptono, 2006).

Solusi Dualisme Hukum

Dualisme hukum yang konflitual dalam konflik agraria tanah Bongkoran setidaknya dapat didekati dengan dua cara, yakni, pertama, paradigma pluralisme hukum untuk lebih dikedepankan dalam penyelesaikan konflik agraria. Dalam konteks ini, negara atau pemerintah perlu untuk menyadari sepenuhnya bahwa keragaman masyarakat yang juga tercermin dalam keragaman hukumnya, harus disikapi dengan memberikan pengakuan dan penghormatan penuh atas hukum rakyat yang sudah eksis, tumbuh-kembang serta menjadi rujukan kolektif masyarakat, terutama dalam hal penguasaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, termasuk tanah. Kedua hukum tersebut, setidaknya dapat berdamai dan berkoeksistensi; hidup berdampingin, tidak saling menganggu, meskipun berbeda atau bertentangan.

Kedua, perlu adanya ketersediaan prosedur dan mekanisme penyelesaian dalam ruang politik yang deliberatif. Ada ruang publik yang setara untuk terciptanya dialog dan komunikasi yang intesif dan negosiatif untuk mengatasi kemacetan dan kekacauan hukum (baca: dualisme hukum) dalam konflik agraria tanah Bongkoran. Eugen Ehrlich dalam bukunya Fundamental Principles of The Sociology of Law (1962) memberi jalan keluar dari kemelut konflik, yakni, perlu ada komunikasi hukum antar aktor (negara, korporasi, dan masyarakat) yang terkait secara lebih intensif. Komunikasi dilakukan agar tidak ada disparitas antara UU/lembaga hukum yang dikembangkan dengan keadaan yang hendak diaturnya (Tanya, 2011:157-158). Ada dialog dan komunikasi yang intensif dan setara antara negara (pemerintah), perusahaan, dan masyarakat untuk mencapai konsensus bersama yang lebih berkeadilan. Secara praktis, intervensi dan monopoli hukum negara dalam konflik agraria, terbukti gagal menyelesaikan masalah konflik. Karena itu, penyelesaian konflik agraria tidak cukup menggunakan apalagi memaksakan instrumen hukum negara yang nir-keadilan, tetapi sudah saatnya memperhatikan hukum masyarakat yang memiliki kearifan lokal (local wisdom) dan lebih berorientasi ada aspek keadilan.

———– *** ————–

Rate this article!
Tags: