Dwi-arti Idul Fitri

O l e h:
Dr Ng Tirto Adi MP, MPd
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo, Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) & Dewan Ahli PC LP Ma’arif Sidoarjo, Penulis & Trainer KTI, Manajemen Sekolah, dan Pembelajaran Inovatif.

Setelah satu bulan penuh, umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, saat yang dinantikan telah tiba, yakni Idul Fitri. Sebelumnya, pada saat puasa dijalankan, setiap orang beriman diwajibkan mengendalikan diri, baik jasad maupun rohani (pikiran), agar tidak terjatuh pada dosa, baik dosa privat maupun dosa publik, sehingga bisa mengantarkan insan bersangkutan kepada “fitrah”-nya yang asali. Puasa dijalankan, tidak sekedar menahan makan, minum dan hubungan badaniah, lebih dari itu puasa dilakukan untuk menjaga dan mengendalikan inderawi manusia, berupa mata, telinga, mulut, kaki dan tangan dari perkataan dan perbuatan maksiat. Bahkan, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, memantik agar puasa setiap insan itu mampu mencapai level tertinggi, yakni, shaumu khususil khusus, yakni hati pun ikut berpuasa dari hal-hal yang mengarah pada perbuatan dosa. Berbeda dengan amaliah lain, puasa itu laku batin, yang hanya Allah dan manusia yang menjalaninya saja yang tahu. Karenanya, dalam sebuah hadits qutsi, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Rabb-nya, Dia berfirman “Setiap amalan manusia adalah untuknya kecuali puasa, sebab ia hanyalah untukku dan Akulah yang akan memberikan ganjaran padanya secara langsung” (HR Bukhari).
Dimensi Ilahiah
Idul Fitri diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Dalam arti mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan setiap insan kembali pada fitrah. Dimana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam perjanjian manusia dengan Allah, QS al-A’raf (7: 172) melukiskan: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”. Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”.
Kata Id berdasar dari akar kata aada-yauudu yang artinya kembali, sedangkan fitri bisa berarti buka puasa untuk makan-minum dan bisa pula berarti suci. Adapun fitri yang berarti buka puasa berdasarkan akar kata ifthar (sighat mashdar dari aftharo-yufthiru) dan berdasar hadits Rasulullah SAW dari Anas bin Malik, yang artinya “Tidak sekali pun Nabi SAW pergi (untuk shalat) pada hari raya Idul Fitri tanpa makan beberapa kurma sebelumnya”. Dalam riwayat lain, Nabi SAW, “makan kurma dalam jumlah ganjil” (HR Bukhari).
Dengan demikian, makna Idul Fitri berdasarkan uraian di atas adalah hari raya dimana umat Islam untuk kembali berbuka atau makan-minum. Oleh karena itulah, salah satu sunah sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri adalah makan atau minum walaupun sedikit. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hari raya Idul Fitri 1 Syawal itu waktunya berbuka dan haram untuk berpuasa. Sedangkan kata fitri yang berarti suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, kejelekan, keburukan berdasarkan dari akar kata fathoro-yafthiru dan hadits Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan didasari iman dan semata-mata karena mengharap ridho Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (Muttafaq ‘alayh).
Idul Fitri dapat dimaknai sebagai kembalinya manusia dalam keadaan suci sebagaimana manusia baru dilahirkan, setelah jiwa dan raga ditempa selama bulan Ramadhan. Maka, tindak lanjut terpenting adalah kehadiran manusia baru yang mampu memancarkan jiwa suci dan kecakapan seseorang untuk memetik hikmah Ramadhan dalam kehidupan hari-hari selanjutnya. Idul Fitri bukan semata hari dengan mobil baru dan pakaian baru (liman labisa al-jadid), tetapi hari di mana individu-individu dengan kesadaran baru (liman tha’athuhu tazidu) akan datang mengisi ruang-ruang publik dalam hidup dan kehidupan..Dalam perspektif spiritualitas, Idul Fitri kerap diartikan sebagai momen kemenangan bagi umat Islam, setelah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Dimensi Kemanusiaan
Ketika puasa, seseorang menahan lapar dan dahaga sepanjang hari dan tidak melakukan perkara-perkara yang membatalkan puasa. Bagi orang kaya, hal ini bisa menumbuhkan rasa empati, ikut merasakan penderitaan orang-orang miskin yang hari-harinya penuh dengan kekurangan. Sementara si miskin bisa meningkatkan daya kesabarannya di tengah keterbatasan dan kemiskinan yang melilitnya.
Jadi, Idul Fitri dalam konteks ini berarti kembali kepada asal kejadian yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar. Bagi umat Islam yang telah lulus melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, akan diampuni dosanya sehingga menjadi suci kembali seperti bayi yang baru dilahirkan dari kandungan Ibunya. Nabi SAW bersabda yang artinya “setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci”.
Menurut Prof Dr M Quraish Shihab, makna fitrah dapat diperikan menjadi tiga ranah, yakni fitrah kepada kebenaran yang menghasilkan ilmu, fitrah kepada kebaikan yang menghasilkan etika, dan fitrah kepada keindahan yang menghasilkan seni. Perpaduan antara ilmu, etika, dan seni itulah yang membuat hidup manusia menjadi utuh, damai, dan tertib.
Dalam sebuah hadits disebutkan, al-nas kulluhum khaththa’un wa khair al-khaththa’in al-tawwabun. Semua manusia pernah berbuat salah, dan orang yang terbaik adalah saat bersalah mau melakukan taubat. Pengakuan dosa adalah penegasan sebuah kesalahan. Dengan merasakan dosa dan kesalahan, manusia sadar akan ke-dhaif-an dirinya. Di saat itulah manusia perlu merenungkan kesempurnaan sifat-sifat Tuhan dan terus menanamkannya dalam diri. Penubuhan (embodiment) sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia adalah sebuah proses tanpa mengenal akhir, karenanya manusia tidak akan pernah bisa menjadi Dia, yakni Allah. Efek domino-nya, tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak memaafkan kesalahan orang lain. Menurut ajaran Islam, ketika hari raya tiba, tidak boleh ada satu orang pun yang menderita kelaparan. Karena itu, zakat fitrah disyariatkan. Kesadaran untuk mengeluarkan zakat (baik fitrah terlebih lagi zakat maal), infaq, maupun shadaqah setelah sebulan penuh menjalankan puasa, merupakan wujud keberhasilan latihan Ramadhan dalam meningkatkan rasa kepekaan sosial.
Pemaknaan hari raya Idul Fitri secara sosial dapat dilakukan dengan cara menjalin silaturahim sebagai sarana membebaskan diri dari dosa yang bertautan antar sesama makhluk. Silaturahim tidak hanya berbentuk pertemuan formal seperti halal bi halal, namun juga bisa dengan cara bertandang dari rumah ke rumah, duduk bersama saling berkomunikasi, saling mengenalkan dan mengikat antarkerabat. Apalagi sekarang, permohonan maaf dan silaturahim sudah tidak mengenal batas dan waktu sebab bisa menggunakan jejaring media sosial seperti lewat SMS (short massage service), whatsApp, up date status, inbox di facebook, twitter, yahoo messenger, instagram, skype, email, dan jejaring medsos lainnya.
Seorang muslim yang kembali kepada fitrahnya akan tercermin pada sikap dan perilakunya. Pertama, tetap istiqomah memegang agama tauhid yaitu Islam. Seseorang akan tetap berkeyakinan bahwa Allah itu Maha Esa dan hanya kepadanya untuk memohon. Kedua, tetap berlaku sebagai abid (dari kata bahasa Arab ‘abada, artinya menyembah), yaitu hamba Allah yang selalu taat dan patuh kepada perintah-Nya. Ketiga, selalu bertutur kata dan berbuat baik dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja, baik di kala ramai maupun pada saat terutama sedang seorang diri. Jika seorang muslim yang fitri telah mampu membangun hubungan baik kepada Allah SWT maupun kepada sesama manusia, termasuk kepada semesta alam, maka seseorang itu akan terbebas dari kehinaan hidup dan kehidupan baik di dunia maupun kelak nanti di akherat. Hal ini sesuai dengan peringatan Allah dalam QS Ali Imraan (3: 112), “Duribat ‘alaihimuz zillatu aina maa suqifuu illaa bi hablim minallaahi wa hablim minan naasi…”. Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Bukankah begitu?!

———— *** ————-

Rate this article!
Dwi-arti Idul Fitri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: