E-KTP dan Ujian KPK

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi Hukum Unmuh Surabaya.

Seorang  filsuf  Barat, Voltaire mengatakan; “dalam perkara uang semua orang mempunyai ‘agama’ yang sama. Uang telah menempati bagian penting sebuah dalam drama politik yang dimainkan oleh para politisi”.
Penyataan Voltaire tersebut cukup relevan untuk menggambarkan wajah bopeng pemegang kekuasaan di negeri ini, baik di eksekutif maupun legeslatif. Wajah kedua lembaga tersebut lebih banyak “dilumuri” oleh masalah korupsi. Dan yang paling ironis adalah lembaga legislatif. Lembaga wakil rakyat yang diharapkan dapat mengontrol kerja eksekutif justru terjebak dan dan bahkan menjebakkan diri terlibat dalam praktik korupsi. Tumpukan uang telah menjadikan moralitas para politisi kita sangat begitu tumpul. Dengan kata lain, korupsi sudah tidak mengenal tempat dan orang. Orang-orang pinter dan cerdaspun ketika berhadapan dengan uang, akhirnya tak tahan juga. Mereka memiliki “agama” yang sama dalam soal uang.
Moralitas publik seseorang sangat begitu rapuh ketika berhadapan dengan yang namanya uang. Apalagi ketika seseorang itu memegang kekuasaan, perilaku koruptifnya semakin kelihatan. Dalam konteks ini, cukup relevan apa yang diungkapkan oleh Lord Acton; power tends to corrupt, absolut power tends corrupt absolutly. Orang yang memiliki kekuasaan cenderung korup, karena dengan kekuasaan besar yang melekat pada dirinya, menjadikan dirinya bisa berbuat sesuai dengan kehendaknya, terutama meraup keuntungan meteri yang sebanyak-banyaknya. Besarnya kekuasaan politik memiliki korelasi positif terhadap potensi munculnya praktik korupsi. Semakin tinggi kekuasaan yang dipegang seseorang, maka semakin tinggi pula praktik korupsi yang dilakukan.
Korupsi Struktural
Korupsi seperti sudah menjadi menu harian kita. Hampir setiap saat kita baca kasus-kasus korupsi baru. Kasus korupsi bagaikan cerita sinetron bersambung. Satu kasus belum selesai, muncul kasus baru. Kasus-kasus korupsi yang belakangan ini terjadi langsung menusuk jantung kekuasaan negeri ini. Dan berbagai kasus korupsi yang muncul memiliki pola dan karaktaristik yang hampir sama, yakni bersifat struktural, sistemik, dan massif.
Kita bisa menyaksikan pada kasus skandal korupsi KTP elektronik. Berdasarkan keterangan KPK, setidaknya ada 38 orang yang disebut jaksa KPK menerima aliran dana proyek yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun tersebut. Ke 38 orang tersebut kebanyakan dari partai politik. Beberapa diantaranya cukup tenar seperti Ketua DPR RI Setya Novanto, Gubernur Ganjar Pranowo, Mantan Mendagri Gamawan Fauzy, dan beberapa mantan anggota komisi II saat itu.
Kasus ini bagaikan bola panas yang menggelinding ke dapur pusat kekuasaan dan partai politik. Kasus ini setidaknya dikonfirmasi dengan nyanyian M. Narazarudin yang yang terus nyaring, yang membuat para pemegang kekuasaan saat ini tidak bisa tidur nyenyak. .Dari kasus-kasus korupsi struktural melibatkan tiga pihak; penguasa (eksekutif), politisi, dan pengusaha. Tiga elemen ini saling terkait satu sama lain.
Jika dilihat dari karakteritik dan konstruksi kasusnya, korupsi di atas bukanlah korupsi biasa, tapi korupsi luar biasa dan bersifat struktural, sistemik, dan masif. Korupsi itu tidak saja melibatkan jaringan dan jejaring personal para politisi dan pengusaha, tapi juga sudah mengarah pada jejaring institusi politik dan kekuasaan, termasuk yang di Senayan. Korupsi E-KTP sekarangbagaikan korupsi “Laba-Laba”, melibatkan jejaringan yang cukup rumit. Korupsi struktural yang melibatkan ranah-ranah kekuasaan inilah yang menjadikan korupsi di Indonesia sulit diberantas. Banyak kepentingan politik yang bermain. Antar simpul jaringan dan jejaring kekuasaan saling melindungi dan jaga kuda-kuda. Hanya oknum kelas teri yang dikorbankan. Namun sumber dan akar korupsi tak pernah tersentuh.
Ujian KPK
NyayianNazarudin yang begitu menyengat para politisi dalam kasus besar tersebut,  menunjukkan bahwa ada kolaborasi dan konspirasi antara politisi (penguasa) dengan pengusaha) yang begitu sistemik, massif dan struktural. Kasus ini sudah melibatkan orang penting di kementrian, apakah yang terungkap jadi tersangka oleh KPK bermain sendiri? Dan kasus ini akankah berkutat seperti “obat nyamuk” yang melingkar di ditingkat bawah?. apakah aktivitas bawahannya yang ketangkap tanpa sepengetahuan atasnnya? Semua ini yang harus dibongkar dan diurai secara tuntas. Tekanan politik-kekuasaan sudah mulai menghadang KPK, terutama menyusul berubahnya atau pencabutan keterangan saksi Miryam di persidangan.
Pihak KPK beralasan, bahwa KPK tidak mau gegabah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. penetapkan seseorang menjadi tersangka lebih didasarkan pada bukti-bukti hukum yang kuat untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Bukan karena desakan publik atau asumsi yang kadang sulit dipertanggungjawabkan. KPK bekerja berdasar pada profesionalisme hukum.
Untuk sementara ini, langkah hukum KPK ini patut diapresiasi. Ini menunjukkan bahwa supremasi hukum masih berjalan, bukan lagi supremasi politik. Ini mengingat tersangka korupsi yang dihadapi KPK adalah bukan sembaranganorang, tapi korupsi struktural yang diduga melibatkan orang-orang penting di negeri ini.
Pasca para saksi memberi keterangan di persidangan, KPK akan aktif untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan lebih lanjut untuk mengembangkan kasus Sespenpora dan Kemenakertrans. Inilah ujian selanjutnya yang akan dihadapi KPK, apakah akan beranidankonsisten untuk membongkar korupsi struktural ini sampai melahirkan “big fish”. Kasus korupsi tersebutdiduga melibatkan orang-orang besar dan kekuasaan yang besar pula.
KPK diharapkan akan bekerja secara profesional dan konsisten. Tidak terpengaruh terhadap desakan publik atau tekanan politik dari manapun dan siapapun. Kini gebrakan hukum lain dari KPK akan ditunggu publik, terutama terkait dengan calon tersangka lain yang berasal dari lingkungan kementrian, dapur parpol dan senayan.
——————- 000 ————————–

Rate this article!
E-KTP dan Ujian KPK,5 / 5 ( 2votes )
Tags: