Earth Hour dan Perlunya Kesadaran Global

Oleh :
Najamuddin Khairur Rijal
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIPUniversitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Kepedulian terhadap masa depan bumi perlu menjadi kesadaran global yang kemudian menjelma menjadi komitmen dan aksi nyata. Itulah yang dilakukan oleh gerakan Earth Hour. Melalui kampanye penghematan penggunaan listrik selama 60 menit, Earth Hour menggugah kesadaran kita tentang pentingnya terlibat dalam usaha menjaga keberlanjutan kehidupan. Satu jam saja pada satu malam dalam setahun mematikan perangkat listrik, memberi arti bagi berjuta kehidupan manusia.
Gerakan Earth Hour
Earth Hour lahir dari inisiasi World Wide Fund (WWF). WWF adalah organisasi internasional non-pemerintah yang bergerak pada upaya penyelamatan masa depan lingkungan dan hewan yang terancam punah. Visinya untuk melindungi bumi mendasari lahirnya Earth Hour yang mulai digagas pada tahun 2004 lalu dikembangkan pada tahun 2006. Awalnya bernama The Big Flick. Sydney adalah kota pertama yang memulai program Earth Hour untuk mematikan perangkat listrik (switch off) yang tidak dibutuhkan secara serentak. Mulai digelar pada 31 Maret 2007, aksinya diikuti sebanyak 2,2 juta masyarakat Sydney. Aksi ini menjadi bagian dari peringatan hari Bumi.
Aksi itu kemudian dengan cepat menyebar, memantik gerakan serupa di seluruh dunia. Tahun 2008, gerakan mematikan lampu selama 60 menit melibatkan sebanyak 371 kota di 35 negara dengan diikuti sebanyak 36 juta orang. Hingga tahun 2016, aksi switch off telah digelar di 350 kota di 178 negara. Lalu, tahun 2017 gerakan 60+ ini diikuti sebanyak 187 negara di dunia. Angka 60+ yang menjadi simbol Earth Hour berarti “60” menit mematikan lampu dan “+” sebagai aksi berkelanjutan untuk menyelamatkan masa depan bumi.
Di Indonesia sendiri aksi ini mulai digelar di Jakarta pada tahun 2009. Lalu, tahun 2010, Earth Hour digelar di tiga kota: Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Dalam perjalanan masa, berbagai kota di Indonesia terlibat dalam aksi ini, termasuk di Jawa Timur, seperti Surabaya, Malang, Kediri, Sidoarjo, dan lainnya. Aksi ini juga melibatkan berbagai kalangan dari berbagai latar belakang sosial, mulai pelajar dan mahasiswa, pejabat dan politisi, pengusaha, dan berbagai elemen masyarakat lainnya.
Aksi ini digelar secara serentak setiap hari Sabtu pada pekan ketiga di bulan Maret pada pukul 20.30. Tahun ini, aksi Earth Hour digelar pada Sabtu, 24 Maret 2018. Dipilih hari Sabtu agar tidak mengganggu aktivitas pada hari kerja. Kenapa akhir Maret? Dengan pertimbangan bahwa pada akhir Maret sebagian besar negara mengalami transisi musim sehingga suhu cukup nyaman untuk mematikan penghangat ataupun pendingin ruangan. Lalu, pada pukul 20.30-21.30 dengan pertimbangan bahwa waktu itu belahan dunia sudah gelap sehingga efek pemadaman listrik lebih terasa, lagi pula aktivitas manusia pada waktu itu mulai lenggang.
Aksi Sederhana yang Berdampak Besar
Meski aksi ini tampak sederhana, namun faktanya gerakan mematikan lampu 60 menit saja mampu memberikan efek yang besar. Sebagai gambaran, di Kota Malang, gerakan switch off selama satu jam dapat menghemat listrik 735 MWh. Listrik dengan kapasitas 300 MWh saja cukup untuk mengistirahatkan satu pembangkit yang akan mengurangi beban biaya sebesar 800 juta rupiah. Listrik 300 MWh juga dapat menerangi 700 ribu rumah dan menyalakan listrik di 900 desa. Selain itu, dapat mengurangi 267 ton emisi karbondioksida yang setara dengan daya serap emisi 267 pohon serta mampu memberikan ketersediaan oksigen bagi sekitar 534 orang. Maka bayangkan jika aksi serupa terjadi di berbagai belahan dunia, efeknya tentu akan terasa jauh lebih besar.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat dunia melalui aksi 60+ di atas sejatinya menunjukkan adanya kesadaran global tentang pentingnya penghematan listrik dan perlunya menjaga bumi. Earth Hour menunjukkan dirinya sebagai gerakan global civil society. Secara konseptual, global civil society merupakan organisasi atau gerakan yang memperjuangkan kepentingan masyarakat global serta independen dari kepentingan politik negara dan kepentingan ekonomi pengusaha. Apa yang menggerakkan mereka? Global civil society bergerak atas dasar tanggung jawab moral. Melakukan aksi secara sukarela, didorong oleh cinta, kesadaran, dan tanpa kepentingan praktis.
Aksi semacam ini menunjukkan Earth Hour tengah berusaha menanamkan nilai-nilai kosmopolitanisme di dalam diri. Kosmopolitanisme adalah kesadaran bahwa kita adalah manusia yang hidup di bumi (kosmos) yang sama. Dan, karena itu, kita memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga, merawat, serta memelihara bumi tempat tinggal kita bersama. Aksi Earth Hour setidaknya menunjukkan betapa masih ada manusia di dunia yang berpikir tentang masa depan kehidupan di tengah maraknya ketidakpedulian pada lingkungan dan apatisme terhadap masa depan bumi.
Kehadiran Earth Hour juga memberikan sumbangsih yang besar pada upaya masyarakat internasional untuk mewujudkan agenda pembangunan berkelanjutan (Sustainable Developments Goals/SDGs). SGDs sendiri merupakan inisiasi yang menjadi agenda global untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan dengan 17 tujuan dan 169 target yang hendak diwujudkan hingga tahun 2030.
Karena itu, sebagai masyarakat dunia, kita memikul tanggung jawab bersama untuk menjaga bumi. Kesadaran global dibutuhkan untuk goes hand by hand, berjalan bergandengan tangan, melakukan aksi sebagai bentuk kepedulian terhadap segala ancaman bagi eksistensi kehidupan manusia. Aksi kecil untuk bumi memberi sejuta arti bagi kehidupan. Jika bukan untuk hari ini, maka untuk masa depan generasi penerus. Kalau tidak sekarang, maka kita tidak mungkin menunggu hingga merasakan segala akibat dari kerusakan lingkungan dan bumi. Kalau bukan kita, maka kita tidak mungkin menanti Tuhan memberi keajaiban bagi keberlangsungan kehidupan universal. Semoga.

———- *** ———-

Tags: