Efek Politik Pencapresan Jokowi

Aminuddin

Aminuddin

Oleh:
Aminuddin
Staf Peneliti Sosial Politik di Bulaksumur Empat Yogyakarta
Misteri pencapresan Joko Widodo (Jokowi) oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terjawab sudah. Jumat (15/03) secara resmi mengumumkan Jokowi sebagai Calon Presiden (Capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang. Pencalonan Jokowi sebagai Capres seolah-olah menjawab keraguan publik terhadap Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Puteri.
Pencalonan Jokowi sebagai Capres bak setetes air yang menetes di tengah gersangnya pemimpin yang merakyat. Jokowi memang dikenal sebagai pemimpin yang selalu turun dan dekat kepada masyarakat hingga publik mengenal sebagai pemimpin yang merakyat hingga dikenal dengan istilah “blusukan”.
Kehadiran Jokowi dalam pencapresan Jokowi seakan-akan menyelamatkan demokrasi yang saat ini diidentikkan dengan biaya tinggi, pemimpin harus memiliki wibawa dan kuat secara materi. Demokrasi sebelumnya selalu dikaitkan dengan biaya tinggi.
Publik apriori dengan politik yang mempunyai modal besar, membangun dinasti politik untuk melanggengkan kekuasannya. Namun, jika kita melihat sosok Jokowi, ia tidak termasuk dalam kategori pemimpin yang beribawa, berlimpah harta.
Keputusan Megawati menunjuk Jokowi sebagai Capres, menjawab semua metos bahwa ketua umum partai berlambang banteng tersebut masih berambisi menjadi Presiden. Mengawati memberi mandat kepada Jokowi tidak lepas dari elektabilitsnya yang terus meroket dalam beberapa bulan terakhir. Berbagai lembaga survei acap kali menempatkan mantan Walikota Solo tersebut di urutan pertama mengalahkan capres lainnya yang terlebih dahulu didaulat sebagai capres oleh partainya. Megawati berhasil memberikan sebuah hadiah kepada publik karena memahami keinginan rakyat Indonesia yang memang haus terhadap pemimpin yang merakyat.
Meskipun elektabilitas Jokowi sebagai Capres tidak memberi garansi untuk mulus menuju Cikeas. Ini menjadi momentum bagi PDIP untuk mendulang suara pada pemilu 09 April mendatang. Hasil sesungguhnya akan ditentukan pada Pilpres mendatang. Elektabilitas tidak menjadi acuan, pasalnya Pilpres 2004 dan 2009 sebelumnya, hasil survei selalu meleset.
Setidaknya ada aroma dan optimisme dari publik bahwa masih ada bangsa Indonesia yang diharapkan menjadi “otak” untuk mengomandani negeri ini. Jika memang benar Jokowi melenggang mulus menjadi orang nomor satu di negeri ini pada pilpres, maka akan menjadi fakta bahwa kehendak rakyat memang benar-benar tidak dapat dicegah. Dengan melihat kinerja Jokowi, baik sebagai Walikota Solo maupun gubernur DKI, rasanya belum ada tugas yang diembanya ditinggalkan begitu saja. Jika banyak pemimpin yang diberitakan dengan kasus korupsi, maka Jokowi jauh dari berita tersebut. Bahkan Jokowi berani turun dan berbaur dengan masyarakat. Dengan begitu, belum ada yang meragukan keikhlasan Jokowi kecuali media (yang tidak suka) dan lawan politik yang tidak senang dengannya.
Di luar Jokowi, sebenarnya masih ada beberapa tokoh yang masih berniat menjadi capres, dan bahkan mendeklarasikan wakilnya. Sebut saja Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie (ARB). Namun publik nampaknya memerlukan darah segar dan generasi muda untuk memimpin bangsa ini. Publik sudah gerah memberi kesempatan kepada stok lama untuk memimpin.
Dari posisi inilah Jokowi menjadi primadona bagi bangsa Indonesia. Momentum ini seolah-olah memuluskan Jokowi menjadi presiden. Ibarat gadis cantik, Jokowi adalah fenomena baru yang selalu menjadi buah bibir baik oleh media maupun partai politik. Jokowi bak Gadis cantik yang selalu diperebutkan oleh semuanya. Tidak hanya media yang selalu lekat, bahkan partai politik lainnya menyiapkan strategi untuk mendampinginya.
Mengingat harapan publik sangat tinggi terhadap pemimpin seperti Jokowi, tugas baru partai yang mengusungnya adalah mempertahankan elektabilitas Jokowi. Dengan dideklarasikannya Jokowi sebagai capres, aroma dan tekanan politik terhadap Jokowi pun semakin deras oleh lawan politiknya. Jokowi akan selalu digembosi dan diintip celahnya untuk menjatuhkan Jokowi ke titik terendah sampai dia kehilangan marwahnya.
Politik adalah dinamis. Setidaknya adagium tersebut tidak boleh dilupakan. Sekarang, besok, dan seterusnya akan merubah peta kekuatan politik tanah air. Dengan didaulatnya Jokowi oleh PDIP sebagai capres, semoga membuka mata para lawan politiknya untuk berpolitik secara demokratis tanpa ada politik kotor untuk meruntuhkan lawan politiknya. Dengan demikian, optimisme publik terhadap pemilu akan tetap terjaga sampai pemilihan presiden berlangsung. Dan pada akhirnya, bangsa ini akan menemukan pemimpin yang mampu menerjemahkan visi dan misi bangsa ini sekaligus menyeret negeri ini ke arah yang lebih baik. Semoga!

Rate this article!