Efikasi Capai 65,3 Persen, Sinovac Punya Keunggulan

Atoillah Isfandiari

Surabaya, Bhirawa
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) nilai efikasi vaksin Covid-19 capai 65,3 persen. Hal itu diungkapkan melalui siaran pers secara daring, Senin (11/1) lalu.
Terkait hal itu, Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga (Unair) Dr. M. Atoillah Isfandiari, dr. M.Kes, mengungkapkan angka efikasi vaksi relatif tinggi itu dirasa cukup melegakan. Pasalnya, standar yang diberikan WHO sebesar 50 persen, sehingga paling tidak, angka efikasi yang disampaikan BPOM telah melampaui.
Ato, sapaan karibnya, menjabarkan diumumkannya angka efikasi vaksin tersebut menjadi salah satu bentuk kejujuran ilmiah sebagai upaya menyakini bahwa efikasi diperoleh melalui uji klinis yang sesuai dengan asas good clinical practice (GCP). Selain itu, juga merupakan bagian dari menjunjung tinggi kejujuran ilmiah secara bertanggung jawab.
“Kalau enggak jujur bisa saja akan dilaporkan nilai yang lebih tinggi akan lebih tinggi. Tapi dengan angka segitu itu artinya bahwa aplikasi itu diperoleh secara bertanggung jawab,” kata dia.
Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair melanjutkan, meskipun nilai efikasi yang didapat jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya, vaksin Sinovac memiliki beberapa keunggulan. Seperti menggunakan platform lama yang sudah sangat dikenal produsen vaksin, yaitu inactivated virus atau virus yang dimatikan. Efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety sangat tinggi.
“Beda dengan yang lain walaupun efikasinya 90 persen tetapi menggunakan teknologi baru yaitu mRNA. Teknologi baru dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis, sedangkan dalam jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru,” paparnya.
Lebih lanjut, Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat. Atau bisa disimpan di dalam kulkas.
Dikelurkannya ijin pakai darurat oleh BPOM, imbuh dia, sebagai jalan keluar ketika suatu vaksin atau obat yang baru selesai dilakukan uji klinis harus segera digunakan, baik itu secara komersil atau secara program oleh pemerintah. Hal
tersebut dilakukan karena melihat semakin banyak korban Covid-19 berjatuhan, sementara waktu ideal yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek samping pasca uji klinis dilakukan.
“Jadi uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca uji-nya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan,” jelasnya.
Perihal penggunaan vaksin Sinovac Ato mengatakan agar saat ini diprioritaskan paling tidak untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali. Sehingga, vaksinasi diberikan pada orang sehat, bukan orang sakit.
“Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan,” pungkasnya. [ina]

Tags: