Ekonom Pesimis Target Tax Amnesty Tercapai

 Talk show guru besar Unair mengupas harapan-harapan seputar tax amnesty dan kenyataan atas target yang dicapai, Selasa (27/9) kemarin. [oky abdul sholeh]

Talk show guru besar Unair mengupas harapan-harapan seputar tax amnesty dan kenyataan atas target yang dicapai, Selasa (27/9) kemarin. [oky abdul sholeh]

Surabaya, Bhirawa
Pesimisme terhadap keberhasilan tax amnesty (Pengampunan pajak) mampu memenuhi target masih tinggi. Kendati sudah terlihat peningkatan yang signifikan, nilainya masih jauh dari harapan. Khususnya target repatriasi yang belum mencapai 10 persen.
Pemikiran seputar harapan dan kenyataan tax amnesty tersebut diungkap oleh sejumlah guru besar Universitas Airlangga (Unair) kemarin, Selasa (27/9). Guru Besar Ekonomi PolitikFISIP Unair Prof Kacung Maridjan mengatakan, tercatat per 26 September lalu nilai repatriasi baru mencapai Rp94,5 triliun dari target yang diinginkan Rp1.000 triliun. Sementara target tebusan untuk menutup defisit APBN sebesar Rp165 triliun baru tercapai Rp56,1 triliun.
“Ada tiga hal yang menjadi tujuan tax amnesty. Reformasi perpajakan untuk mendata wajib pajak, menarik dana dari luar negeri dan menutup defisit APBN,” kata Prof Kacung. Dari segi reformasi, ini diakuinya sebagai langkah yang baik. Namun, untuk repatriasi dan menutup APBN masih jauh dari target. “Tapi kita belum bisa menyipulkan akan gagal atau tidak. Karena masih ada waktu dan tahap selanjutnya sampai Desember mendatang,” terang Kacung.
Melihat sisi lain tax amnesty, Kacung mengakui pemerintah dalam kondisi lemah untuk melakukan penarikan pajak. Negara sedang tidak memiliki pilihan lain kecuali membuat stimulator bagi pertumbuhan ekonomi. Karena bila defisit mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka presiden bisa berpotensi dimakzulkan.
“Bila defisit itu mencapai tiga persen dari PDB, politik akan gaduh karena presiden melanggar undang-undang. Presiden bisa dimakzulkan, meski sekarang parpol (partai politik) dukungannya mengarah ke presiden,” terang Prof. Kacung.
Menurut Prof. Kacung, kebijakan amnesti pajak memang dirasa tidak mempertimbangkan asas keadilan. Karena negara memberikan ampunan bagi warga negara yang tidak melaporkan dan membayar pajaknya sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, justru itulah kebijakan amnesti pajak dirasa tepat dilaksanakan agar penerimaan keuangan negara tercapai.
Selain Kacung, dalam talk show guru besar tersebut juga hadir Prof Tjiptohadi Sawarjuwono. Pihaknya masih menyayangkan sedikitnya jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sekitar 18 juta. “Kalau dilihat dari jumlah penduduk Indonesia atau jumlah seluruh pebisnis Indonesia 18 juta itu sedikit sekali,” tandasnya.
Prof Tjipto menganggap salah satu faktor diadakannya program amnesti pajak ini didasari atas banyaknya orang atau badan bisnis yang tidak taat pajak. “Ibaratnya orang berfikiran, lha wong saya sudah bekerja keras kok, ngapain harus bayar,” jelasnya.
Sementara itu, Prof Dr Tatiek Sri Djatmiati dalam paparannya mengatakan, kebijakan amnesti pajak menyisakan problem yuridis. Sebab, kondisi di lapangan masih ada pro kontra yang berkaitan dengan pemahaman asas keadilan. Hal tersebut terjadi karena adanya pemahaman yang belum sesuai antara internal Dirjen Pajak dengan pemahaman amnesti pajak yang dipahami oleh masyarakat pada umumnya. ‘’Dalam Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 2016 disebutkan tentang asas dan tujuan TA, yaitu pengampunan pajak dilaksanakan atas asas kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,’’ pungkasnya. [tam]

Tags: