Ekonomi Jeda Cuaca

Hampir seluruh kawasan Jawa, Bali, sampai NTT (Nusa Tenggara Timur) sedang digelayuti arak-arakan mendung. Selain comulus-nimbus (yang tebal dan menghitam), hujan lebat mengguyur tanpa henti. Terutama di perairan selatan Jawa, mulai Ujung Kulon (di Pandegelang, Banten) sampai Muncar di Banyuwangi. Sehingga wilayah udara, darat, dan perairan, seluruhnya patut dicermati seksama. Konsekuensinya, roda perekonomian akan melambat.
Berdasar prakiraan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika), tinggi gelombang di perairan selatan Jawa sampai NTT, bisa mencapai 6 meter. Sangat membahayakan untuk pelayaran. Bisa “menelan” kapal berbobot kurang dari 3000 dwt. Bahkan kapal induk biasanya juga lego jangkar pada puncak musim hujan. Begitu pula keadaan angkasa, tak kalah miris. Seluruh pesawat akan diguncang, dan bisa mengarah turbulensi (naik turun tiba-tiba).
Kawasan pelabuhan seyogianya melakukan jeda operasional. Syahbandar wajib melarang setiap kapal berlayar. Tak terkecuali kapal logistik pembawa bahan pangan (dan BBM, Bahan Bakar Minyak). Pelayaran antar pulau, “istirahat” sejenak. Bisa dimanfaatkan untuk perbaikan (perawatan) kapal. Terutama bagian baling-baling. Area wisata pantai seyogianya juga ditutup. Bukan hanya ancaman ombak, melainkan juga kecepatan angin laut, disertai hujan dan petir.
Cuaca buruk (yang rutin) setiap puncak musim hujan (bulan Januari sampai Pebruari), selalu menjadi periode “jeda” perekonomian. Nelayan bisa istirahat, sembari memperbaiki jala, dan penguatan lambung perahu. Motor tempel juga perlu perbaikan mencegah korosi (karat) karena digerogoti air laut. Konsekuensinya, ikan hasil tangkapan akan menyusut. Biasanya, konsumsi ikan laut akan digantikan ikan budidaya.
Harga ikan akan sedikit naik. Ikan hasil tangkapan (dan berbagai jenis hasil laut) bukan hanya untuk konsumsi rumahtangga. Tetapi juga untuk industri pengalengan, industri pakan, sampai pabrik kosmetik. Sebagian menjadi komoditas ekspor. Berbagai jenis sea food, memiliki nilai ke-ekonomi-an cukup tinggi. Antara lain, ikan sidat, , ikan kerapu, tuna sirip kuning, dan ikan “napoleon.” Selain itu, hasil laut juga menyediakan jenis udang (lobster), dan teripang kering. Aneka sea food mahal lazim menjadi andalan menu perhotelan dan restoran.
Jeda ke-ekonomi-an karena cuaca juga dialami di darat. Sektor pertanian (dan perkebunan), serta peternakan tak kalah mengkhawatirkan. Banjir dan longsor mulai menyergap beberapa daerah sentra tanaman pangan. Panen buah tidak menggembirakan. Tetes air hujan yang menembus kulit buah menyebabkan fermentasi lebih cepat, berakibat pembusukan. Begitu pula sayur dan aneka tanaman bumbu: cabe, bawang merah, tomat, sawi, brokoli, semuanya sangat rentan terhadap guyuran hujan.
Nampaknya, petani telah berkaca pada musim lalu, siaga pada puncak musim hujan. Produksi pertanian di-selaras-kan dengan musim untuk mengurangi kerugian. Itu yang menyebabkan kalangan eksportir tergiur, mendatangkan sebagian bahan pangan dari luar negeri. Misalnya, aneka buah (terutama apel, jeruk, dan pisang). Serta rempah-rempah, antara lain jahe, bawang putih, dan lada. Namun juga masih menghadapi kendala distribusi. Berkonsekuensi kenaikan harga.
Realitanya, kenaikan harga menyebabkan menyusutnya omzet. Karena konsumen enggan membeli pangan dengan harga mahal. Terbukti, selama musim hujan (sejak November 2018), inflasi tercatat hanya sebesar 0,28%. Nyaris tiada kenaikan harga. Kecuali harga telur dan daging ayam, disebabkan kelangkaan pakan (jagung). Walau produksi jagung tidak berkurang. Namun saat ini, tebon (berupa tanaman jagung berusia 2 bulan) sudah ditebang untuk pakan ternak.
Eksportir yang memborong bahan pangan merugi. Karena menyusutnya tanaman pangan (serta hasil laut dan perikanan) bukan disebabkan kelangkaan persediaan. Melainkan kelaziman jeda ke-ekonomi-an puncak musim hujan.

——— 000 ———

Rate this article!
Ekonomi Jeda Cuaca,5 / 5 ( 1votes )
Tags: