Ekonomi (makin) Menguat

Foto Ilustrasi

Rupiah memimpin penguatan mata uang negara-negara Asia. Menempati posisi terbaik selama 7 bulan terakhir, dolar Amerika Serikat (AS) diperdagangkan sebesar Rp 14.085,- per-US$. Sejak awal Desember 2018, telah mengukir prestasi manis, melompat sampai hampir Rp 950,- per-dolar AS. Selain fundamen ekonomi dalam negeri yang kuat, faktor penekan eksternal mulai memudar. Terutama akibat perang (tarif bea masuk) dagang antara AS dengan Tiongkok, memasuki masa “gencatan senjata.”
Seluruh mata uang di Asia menunjukkan tren positif. Rupiah menjadi yang terkuat. Sejak awal Desember (2018) rupiah diperdagangkan senilai Rp 14.252,- per-US$. Menguat sampai 6,65%. Padahal pada pertengahan November masih mendebarkan, dengan nilai kurs Rp 15.200,- per-US$. Ini disebabkan pemulihan ekonomi di AS, dengan laju inflasi berkisar 2%. Dus, The Fed (Bank Sentral AS) tidak perlu menaikkan suku bunga sampai menjadi 3,25%.
Perbaikan perekonomian di AS, menyebabkan presiden Trump, bisa menyepakati “genjatan senjata” permanen tarif dagang dengan Tiongkok. Seluruh dunia menyambut positif hasil pertemuan forum G-20 di Buenos Aires, Argentina. The Fed, tidak akan menaikkan suku bunga pada akhir tahun ini maupun Maret 2019. Masyarakat AS juga akan belanja lebih banyak barang-barang asal Tiongkok, yang kondang berharga kompetitif (lebih murah).
Laju inflasi di AS yang terkendali, disebabkan menurunnya harga minyak dunia pada kisaran US$ 50 per-barel. Tiga besar dunia (Arab Saudi, Rusia, dan AS) masing-masing telah meng-geber produksi minyak, sampai 11 juta barel per-hari. Pasokan minyak dunia sudah over supply. Dengan harga minyak lebih murah, beberapa negara di dunia bisa mengurangi subsidi. Serta mobilitas orang dan barang semakin meningkat.
Tekanan perekonomian dunia telah mengendur. Selain itu, fundamen perekonomian nasional makin membaik. Pada pidato tahun baru 2019, presiden melaporkan penerimaan negara melampaui target sebesar 2,2%. Mencapai Rp 1.936 trilyun (target APBN 2018 sebesar Rp 1.894 trilyun). Penerimaan negara tumbuh positif 18,2%. Yakni terdiri dari pertumbuhan pajak 15,2%, bea cukai tumbuh 14,7%, serta pertumbuhan penerimaan bukan pajak sebesar 28,4%.
Penerimaan negara yang melampaui target menyebabkan defisit APBN (2018) juga semakin kecil. Semakin mudah menutup defisit APBN (hanya sekitar Rp 259,9 trilyun). Jumlah itu hanya sekitar 1,8% dibanding PDB (Produk Domestik Bruto). PDB pada tahun 2018 ditaksir sebesar Rp 14.881,278 trilyun. Diperkirakan pada tahun (2019) ini PDB akan semakin meningkat.
Penerimaan negara yang melampaui target, patut di-apresiasi. Karena selama lima tahun (sejak 2013), penerimaan negara selalu meleset lebih rendah. Selisih paling rendah terjadi pada tahun 2017, menencapai Rp 3,2 trilyun. Sedangkan selisih terbesar terjadi pada tahun 2015 (mencapai Rp 11,9 trulyun). Pada sisi belanja (APBN) juga terjadi surplus sebesar 0,8%. Belanja negara (tahun 2018) semula diancang-ancang sebesar Rp 2.220,7 trilyun.
Fundamental perekonomian yang lain juga menjadi penopang menguatnya rupiah. Diataranya cadangan devisa mencapai US$ 120,65 milyar per-31 Desember 2018. Jumlah itu setara dengan nilai 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Diharapkan kinerja ekspor semakin meningkat. Antaralain CPO (Crude Palm Oil, minyak sawit), batubara, dan emas. Juga melalui “hilirisasi” (nilai tambah) komoditas.
Misalnya, mengolah bauksit (bahan tambang) untuk mengurangi impor aluminium. Juga bahan tambang lainnya untuk memperoleh nilai lebih. Begitu pula ekspor CPO seyogianya telah berupa cairan minyak. Menguatnya nilai tukar rupiah, dan perbaikan suku bunga perbankan akan menjadi pendorong investasi. Bagai pelumas mendinginkan mesin politik yang makin panas.

——— 000 ———

Rate this article!
Ekonomi (makin) Menguat,5 / 5 ( 1votes )
Tags: