Eks Dirut RS Mata Undaan Beberkan Fakta di Persidangan

Sidang Perkara Dugaan Pencemaran Nama Baik
PN Surabaya, Bhirawa
Pengadilan Negeri (PN) Surabaya kembali menggelar persidangan perkara dugaan pencemaran nama baik dan fitnah dengan terdakwa dokter Sudjarno, mantan direktur Rumah Sakit Mata Undaan Surabaya. Sidang pada Kamis (27/8) ini mengagendakan pemeriksaan terdakwa.
Dalam perkara ini, terdakwa dilaporkan oleh salah satu pegawainya, dr Lidya. Alasannya karena terdakwa menjatuhkan sanksi secara tertulis berupa surat peringatan pertama atas dasar pelanggaran prosedur kerja dan etika profesi.
Dalam keterangannya, kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Yusuf Akbar Amin. Terdakwa mengaku surat peringatan itu memang dikeluarkannya. “Karena direktur berwenang menjatuhkan hukuman etika profesi,” kata terdakwa kepada Jaksa asal Kejaksaan Negeri (Kejari) Tanjung Perak.
Terdakwa membeberkan dasar dikeluarkannya surat peringatan tersebut. Surat tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 755/MENKES/PER/lV/2011 tentang penyelenggaraan komite medik di rumah sakit.
“Ada dasarnya saya sebagai direktur mengeluarkan surat peringatan itu,” tegasnya.
Mantan ketua komite medik ini mengaku, saat diberikannya surat peringatan tersebut, dr Lidya menerima dan menanda tangani setelah sebelumnya di baca terlebih dahulu olehnya. “Saat saya berikan surat peringatan dia terima. Sebelum ditanda tangani dibaca dulu. Tanda tangan di lembar copy surat peringatan itu,” bebernya.
Surat peringatan itu terkait disiplin profesi. Anehnya, sambung Sudjarno, dr Lidya mengajukan keberatan ke direktur atas surat peringatan tersebut. Ia meminta kepada direktur untuk peringatan secara lisan saja.
“Suaminya yang membuat surat keberatan itu,” paparnya.
Masih kata Sudjarno, dr Lidya sempat mengancam apabila dalam tiga hari tidak dilakukan pencabutan itu, dr Lidya akan melaporkan ke IDI dan instansi lainnya yang terkait. “Sempat mengancam akan melaporkan ke IDI,” ungkapnya.
Terkait laporan ke pihak kepolisian, menurut pengakuan terdakwa, dr Lidya sempat mengatakan apabila surat peringatan itu dicabut, maka dia akan mencabut laporan kepolisian. “Sempat ada mediasi waktu di kepolisian terdakwa dengan dr Lidya disaksikan IDI pusat dan daerah. Dr Lidya bilang kalau surat peringatan itu di cabut maka dia akan mencabut laporannya di Polisi. Dan IDI wilayah memerintahkan dr Lidya untuk mencabut laporan di kepolisian,” terangnya.
Lebih lanjut, terdakwa menjelaskan keluarnya surat peringatan terhadap dr Lidya, karena adanya pasien yang marah atas kinerja dr Lidya. Melalui pengacaranya, pasien melayangkan somasi kepada pihak rumah sakit. “Setelah adanya somasi dari pengacara pasien, pihak rumah sakit mengadakan mediasi. Dan kami membayar ganti rugi sebesar Rp 400 juta untuk perdamaian agar tidak ada tuntutan lagi,” pungkasnya.
Dalam kasus ini terdakwa, dr. Sudjarno didakwa melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP dan Pasal 311 ayat (1) KUHP.
Terpisah, Sumarso SH seaku Penasihat hukum terdakwa saat ditemui usai jalannya persidangan menyampaikan bahwa surat dakwaan jaksa yang mendasarkan pada putusan IDI cabang Surabaya masih diajukan keberatan kepada MKEK IDI pusat. “Hingga saat ini belum ada putusannya,” ucapnya.
Masih kata Sumarso, dalam berita bukti acara yang dihadiri oleh dr Lidya dan perawat Anggi telah disebutkan jika perawat Anggi diperintahkan dr Lidya untuk melakukan operasi kepada klien.
“Tindakan dr Lidya yang telah menyalahi SOP, dikomplain sama pasien dan demi melindungi dr Lidya dari tuntutan hukum, rumah sakit membantu mediasi, dan menyelesaikan dengan damai dan memberi ganti rugi Rp400 juta.m,”jelasnya.
Diakhir wawancara, Sumarso mengatakan jika pembuatan surat peringatan merupakan tindakan kolektif dari direksi karena surat peringatan terlebih dulu ditanda tangani wakil wakil direktur dan ditembuskan kepada tim medik. [bed]

Tags: