Ekskalasi Covid-19 dan Ancaman Resesi Global

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Perlahan namun pasti kenaikan kasus Covid-19 kembali melonjak, meski dalam konteks terkendali namun kondisi tersebut sudah harus menjadi warning pemerintah dalam upaya keluar dari jeratan pandemi yang tak berujung. Secara empiris terdapat dua varian baru yang menyebabkan kasus meningkat yakni subvarian BA.4 dan BA.5 yang mendominasi dimana memliki transibilitas tinggi namun tingkat keparahan (rate fatality) tergolong rendah, namun demikian kita semua patut waspada. Yang terbaru adalah munculnya mutan baru Covid-19 yang dikenal dengan BA.2.75 kembali ditemukan secara signifikan di India dan Amerika Serikat. Pendek kata semua harus (tetap) waspada bahwa Covid-19 masih ada. Kondisi ini tak pelak pandemi. Covid-19 tercatat dalam sejarah peradaban manusia merupakan salah satu bencana kesehatan terbesar di dunia dimana nyaris tak ada negara di dunia yang luput dari sebaran virus Covid-19. Pemerintah tengah mengurangi penularan atau flattening the curve

pengetatan seperti menggunakan masker di dalam dan di luar ruangan, menggenjot capaian vaksinasi booster dan melakukan proses pendeteksian yang terdiri dari testing, tracing, dan isolasi.serta strategi terapeutik ditujukan untuk orang yang terinfeksi Covid-19. Strategi terapeutik adalah kapasitas tempat tidak di rumah sakit dan pemenuhan suplai fasilitas kesehatan lainnya seperti oksigen, alat kesehatan, dan SDM.

Dunia saat ini tengah mengalami krisis, baik krisis kesehatan, krisis ekonomi dan moneter hingga krisis energi dan pangan yang selanjutnya sudah mengarah pada resesi ekonomi bahkan berujung kebangkrutan ekonomi beberapa negara. Salah satunya adalah Sri Lanka. Negara berpenduduk 22 juta orang itu juga diperkirakan mengalami kekurangan makanan, bahan bakar minyak (BBM), dan obat-obatan yang terus berlanjut. Meski saat ini Indonesia masih relatif aman dimana ditandai dengan indikator-indikator ekonomi makro yang masih baik namun demikian pemerintah harus waspada sebab berdasarkan hasil survei Bloomberg, Indonesia masuk dalam daftar 15 negara yang berisiko mengalami resesi. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-14. Sri Lanka, yang mengalami ketidakstabilan ekonomi dan sosial baru-baru ini, menempati posisi pertama negara berpotensi resesi dengan prosentase 85 persen.

Beberapa sebab antara lain dampak perang antara Rusia dan Ukraina serta pengetatan kebijakan moneter yang digaungkan oleh Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve System) atau The Fed serta krisis energi dan pangan dunia terus menghantui serta inflasi mulai tak terkendali yang ditandai dengan melonjaknya harga pangan dan energi. Resesi ekonomi terjadi saat suatu negara mengalami penurunan angka produk domestik bruto (PDB) selama lebih dari dua kuartal dalam setahun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif. Resesi dapat menyebabkan penurunan profit perusahaan, peningkatan pengangguran, melemahnya daya beli masyarakat, dan bahkan kebangkrutan ekonomi. Bagi Indonesia juga harus berhati-hati, resesi tak mengenal kondisi, Indonesia dihadapkan pada triple burden of disease atau beban ganda problematika kesehatan akibat penyakit yang muncul secara bersamaan. Ketiga beban penyakit tersebut adalah prevalensi penyakit tidak menular secara cepat, angka penyakit menular klasik yang masih relatif tinggi, serta munculnya fenomena ragam penyakit infeksi baru yang berevolusi dari penyakit lama, seperti Covid-19.

Tetap Waspada, Jangan Terlena

Di kala pemerintah telah menfinalisasi peta jalan menuju endemi Covid-19 sembari menanti keputusan WHO terkait berakhirnya pandemi, justru kasus kian meningkat walaupun tidak separah dua tahun terakhir. Ya setidaknya akhir bulan ini atau awal bulan depan akan terjawab bagaimana strategi pemerintah menuntaskan status pandemi Covid-19 yang telah mencengkeram negeri ini lebih dari dua tahun tersebut. Harus diakui bahwa tentu pemerintah telah berhitung dan mengkalkulasi risiko-risiko yang akan terjadi pasca keputusan memperbolehkan mudik lebaran tahun ini sekalgus melakukan kajian mendalam dan meyeluruh dengan berbagai kemungkinan dampak yang muncul. Gencarnya program vaksinasi kedua dan booster menjadi salah satu gacoan pemerintah, selain tetap mempertahankan dalam menjalankan protokol kesehatan. Selain itu keputusan pemerintah yang akan terus menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Jawa-Bali hingga batas waktu yang belum ditentukan.

Kebijakan ini mengandung makna bahwa pemerintah seakan tak mau ambil risiko terhadap setiap kemungkinan lonjakan Covid-19 hingga kasus Covid-19 benar-benar terkendali. Berkaca pada pengalaman dua tahun ketika pasca lebaran dan libur panjang diikuti penambahan kasus yang signifikan, bahkan pada pasca lebaran tahun 2021 terjadi puncak kasus mencapai rekor hingga menembus lebih dari 55 ribu kasus per hari yang hingga kini belum sepenuhnya reda dan cenderung kasus masih fluktuatif atau sewaktu-waktu dapat muncul dan menyebar kembali dengan cepat. Kesiapsiagaan dan konsistensi dalam menerapkan protokol kesehatan masih menjadi kunci untuk menekan laju penularan seiring dengan mulai adanya kekebalan komunal melalui gencarnya vaksinasi. Sudah ribuan trilyun gelontoran anggaran pemerintah untuk mengatasi penanganan kasus Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, di sisi lain masyarakat sudah teramat jenuh atau mengalami keletihan dalam menghadapi pandemi (fatique) berkepanjangan dan tiada yang memastikan kapan bencana massal ini segera berakhir.

———- *** ———–

Tags: