Ekspansi BRICS dan Solusi Pasca Kekaahan di WTO

Oleh :
Ilovan Virgiano
Pemerhati dunia Pertambangan, dan kabar internasional

Konferensi Tingkat Tinggi yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan ini dihadiri langsung oleh mayoritas kepala Negara yang tergabung didalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) kecuali Rusia yang dihadiri oleh Presiden Vladimir Putin via Online.

BRICS sendiri awalnya adalah istilah yang dikemukakan oleh ekonom Goldman Sachs pada tahun 2001. Istilah ini digunakan untuk Negara-negara berkembang yang perekonomiannya berpotensi melaju dengan cepat. Meskipun didalam Negara-negara yang tergabung didalam BRICS ini juga memiliki potensi konflik yang cukup besar contohnya antara India dan China.

Saat ini aliansi BRICS telah mencakup seperempat perekonomian Global dan merupakan rumah bagi lebih dari 40 persen populasi dunia. BRIC awalnya mengadakan KTT pertama pada 2009 yang diikuti oleh Brasil, Rusia, India, dan China. Dan setelah Afrika Selatan bergabung pada 2010 BRIC barulah mengubah namanya menjadi BRICS, para pemimpin kelima Negara ini rutin bertemu setiap tahun.

Pada KTT BRICS tahun ini memiliki salah satu agenda penting yaitu perluasan keanggotaan BRICS. Sebelum diumumkannya beberapa Negara anggota BRICS baru, berbagai spekulasi bermunculan terkait Indonesia yang akan bergabung dengan aliansi yang sering disebut sekutu Rusia-China ini. Namun hingga berakhirnya KTT BRICS tahun ini hanya ada 6 negara (Arab Saudi, Argentina, Mesir, Uni Emirat Arab, Ethiopia, Iran) berkembang yang dinyatakan menjadi anggota baru aliansi ini dan mulai dinyatakan aktif menjadi anggota aktif pada tahun depan. Dimana Indonesia tidak termasuk didalam keanggotaan baru BRICS ini.

Meskipun pada saat KTT BRICS ke 15 tersebut Presiden Joko Widodo hadir sebagai tamu sekaligus Ketua ASEAN 2023. Namun tampaknya pemerintah masih menimbang untung ruginya jika Indonesia bergabung dengan aliansi ini. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Presiden Joko Widodo setelah menghadiri KTT BRICS ke 15 ini. “Kita ingin mengkaji terlebih dahulu, mengalkulasi terlebih dahulu, kita tidak ingin tergesa-gesa” Kata Joko Widodo.

Pernyataan Presiden Joko widodo tentu memiliki alasan kuat mengingat Indonesia saat ini adalah Negara netral. Sehingga bergabung dengan aliansi BRICS dapat menyebabkan Indonesia kemungkinan akan dikucilkan oleh Negara-negara Uni Eropa karena beraliansi dalam suatu organisasi yang didalamnya terdapat Rusia. Kendati demikian Indonesia tetap bisa menuai keuntungan positif ketika bergabung dengan aliansi dagang tersebut. Indonesia bisa memperlihatkan komitmen diplomasi yang cukup baik kepada negara di Asia dan Afrika. Sejarah juga menunjukkan bahwa Indonesia pernah mencetuskan konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955.

Keuntungan positif lain bagi Indonesia adalah apabila bergabung dengan BRICS jika suatu saat Indonesia di embargo secara ekonomi oleh Negara-negara Barat, tentu BRICS adalah salah satu alternatif lain Indonesia untuk tetap bertahan dari sangsi dan embargo ekonomi dari Negara-negara Barat.

Indonesia Kalah Dalam Gugatan Uni Eropa di WTO
Kalahnya Indonesia dalam gugatan Uni Eropa di WTO (World Trade Organization) atas kebijakan pelarangan ekspor bijih Nikel beberapa saat lalu seharusnya menjadi alarm darurat bagi Pemerintah RI untuk menimbang ulang pentingnya bergabung dengan aliansi BRICS dan meninjau ulang kebijakan luar negeri Indonesia yang bergantung dengan Negara-negara Barat. Hal ini mengingat perkembangan ekonomi Negara-negara aliansi BRICS yang besar kemungkinan dapat menandingi kekuatan ekonomi Negara-negara kaya yang tergabung di dalam keanggotaan G7.

Jika Indonesia dapat memanfaatkan momentum tersebut. Tentu langkah pengajuan banding yang akan dilakukan pemerintah RI atas kalahnya Indonesia dalam gugatan Uni Eropa ke WTO tidak akan berimbas terlalu besar kepada industri Nikel di Indonesia. Pasalnya selain Negara-negara Eropa, China juga saat ini sedang berlomba dengan Eropa dalam menciptakan mobil berbasis energi listrik dimana salah satu sumber daya alam utama yang dibutuhkan adalah Nikel. Hal ini diperkuat dengan ekspansinya beberapa perusahaan dari China yang masuk ke dalam sektor pertambangan Nikel di Sulawesi dan Maluku.

Perlu diketahui saat ini Indonesia adalah salah satu negara dengan penghasil Nikel terbesar didunia. Bahkan Booklet Nikel 2020 yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan cadangan nikel RI mencapai 72 juta ton. Dengan cadangan sebesar itu maka dapat dipastikan 52 persen dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 140 juta ton berada di Indonesia. Dengan cadangan sebesar ini tentu bagi Negara-negara besar Indonesia menjadi tujuan utama bagi pemain Nikel dunia.

Aliansi BRICS Solusi Selamatkan Sumber Daya Alam RI

Salah satu tujuan BRICS terbentuk adalah karena kebutuhan bersama untuk mengatasi ketidakadilan dalam sistem ekonomi, perdagangan, dan keuangan Internasional yang ada serta untuk mereformasi dan penyesuaian dalam tatanan ekonomi global dalam kekhawatiran dari Negara-negara berkembang. Masa depan BRICS memang bergantung pada kemampuan Negara-negara yang tergabung didalamnya untuk memperdalam kerja sama dan mengatasi tantangan global. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ekonomi global diperintah selamanya oleh hegemoni Dolar AS yang sewenang-wenang selamanya. Bahkan dilain kesempatan presiden Rusia Vladimir Putin pernah mengatakan bahwa saat ini dunia pelan tapi pasti tidak lagi sama dan akan berubah dari Unipolar menjadi Multi Polar dimana AS tidak lagi menjadi satu satunya Negara Super Power yang dapat mengatur segalanya.

Selama ini Indonesia didominasi oleh Negara-negara barat seperti AS dan Australia dalam pengelolaan Sumber Daya Alam dalam sektor pertambangan. Puncaknya ketika Negara ini akan mereformasi kebijakan terkait ekspor bijih Nikel saja. Negara Negara Barat khususnya Eropa dengan kesewenang-wenangannya menggugat Indonesia tentang kebijakan tersebut. Padahal menurut UUD 1945 tercantum jelas bahwa sebuah Negara berhak atas kebijakan terkait sumber daya alam yang dimilikinya sebagaimana amanat pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

Ekspansi BRICS dalam memperluas keanggotaan BRICS pada tahun ini sebenarnya dapat dijadikan momentum bagi Indonesia untuk bergabung serta menjadikan aliansi ini sebagai alternatif apabila Indonesia mampu berdikari dan berdiri tanpa dominasi Dolar AS. Tidak menutup kemungkinan banding yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas gugatan Uni Eropa kepada Indonesia ke WTO terkait pelarangan ekspor bijih Nikel dapat berubah menjadi embargo serta pembatasan ruang gerak kepada hasil sumber daya alam serta laju ekonomi Indonesia.

Maka mengingat visi misi BRICS yang pernah dikemukakan oleh presiden China Xi Jinping tentang Kemakmuran Bersama bagi Negara-negara di Dunia serta menciptakan Ekonomi dunia yang lebih sehat, maka aliansi ini hampir bisa dipastikan sejalan dengan visi dan misi Indonesia dalam upaya berdikari lepas dari pengaruh besar Barat dalam campur tangannya kepada Sumber Daya Alam yang kita miliki.

———– *** ————

Tags: