Ekspedisi Merah Putih UMSurabaya

Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, Dr dr Sukadiono menerima salah satu perwakilan mahasiswa yang mengikuti program Ekspedisi Merah Putih di ruang rektorat, Jumat (1/3).

Pesan Dakwah untuk Pendidikan Minoritas
Surabaya, Bhirawa
Ekpedisi Merah Putih menjadi misi sosial-pendidikan yang dibawa 22 mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya). Selama hampir tiga bulan yaitu Nopember 2018-Pebruari 2019 para mahasiswa harus menuntaskan misi yang dibawa khususnya di bidang pendkdikan. Program yang digagas untuk mengimplementasikan ilmu yang diperoleh selama kuliah di UMSurabaya tersebut sudah berjalan selama tiga tahun. Di tahun ke empat, negeri Gajah Putih tepatnya Thailand Selatan menjadi tujuan dalam pengenalan budaya.
Diungkapkan rektor UMSurabaya, Sukadiono program Ekpedisi Merah Putih merupakan program gabungan KKN dan PPL international. Mahasiswa yang mengikuti program tersebut basiknya yakni pendidikan. Mulai dari mahasiswa Fakultas Ilmu Pendidikan hingga agama Islam.
“Program ini merupakan bagian dari penerapan MoU yang dibuat dengan pemerintah Thailand Selatan melalui PP Muhammadiyah. Ini (program) tidak hanya membawa nama Muhammadiyah atau kampus kami saja tapi juga Indonesia,” ungkap dia usai penyambut kedatangan 22 mahasiswa program Ekspedisi Merah Putih, Jumat (1/2).
Lebih lanjut, menurut Sukadiono, program tersebut menjadi bagian dari proses internationalisasi. Khususnya terkait dengan bidang society atau sosial masyarakat yang menjadi pusat perhatian pihaknya. Apalagi, penduduk minoritas musim di kota Songkla tidak begitu diperhatikan pemerintah Thailand. Sehingga ia menilai, program tersebut tepat untuk memberikan perhatian lebih sebagai sesama muslim.
Salah satu peserta Ekspedisi Merah Putih, Zumrotin Firdaus menceritakan pengalamannya dalam mengajak masyarakat Nathowwe untuk mengkonsumsi obat-obatan herbal. Mengingat jarak tempuh distriknya ke kota cukup lama yakni hampir satu jauh sehingga membutuhkan waktu selama satu jam untuk membeli obat-obatan berbahan kimia. Oleh karena itu, mahasiswa FKIP jurusan Pendidikan Biologi ini mengajarkan cara membuat obat-obatan generik dengan berbahan tumbuh-tumbuhan yang ada di hutan tidak jauh dari tempat mereka tinggal.
“Disekitar tempat tinggal mereka banyak tumbuh, tunbuhan yang sangat potensial jika dijadikan obat. Seperti jahe, kunyit, kencur, sere dan temulawak. Di hutan juga ada sarang lebah yang madunya bisa untuk dibuat campuran membuat obat herbal untuk stamina,” papar dia.
Selain itu, Zumrotin juga mengajarkan penduduk setempat membuat obat herbal untuk menurunkan demam, batuk dan kbat herbal untuk menyembuhkan penderita batu ginjal. “Saya manfaatkan daun keres dan patikan kebo untuk pengobatan batu ginjal. Karena tidak banyak juga masyarakat yang tahu bahwa tumbuhan disekitar mereka juga potensial untuk dijadikan obat-obatan herbal,” pungkas dia. [ina]

Rate this article!
Tags: