Eksploitasi Seksual Anak dalam Bingkai “SDGs”

Oleh :
Kholilur Rahman
Dewan Pengarah ALIMKA Sumenep, dan Alumni FH Universitas Bhayangkara Surabaya

Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs) atau Agenda 2030 yang telah dideklarasikan bertepatan dengan berlangsungnya United Nations General Assembly (UNGA) di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, Amerika Serikat (BAPPENAS, 2020). Dalam pelaksanaan tujuan pembangunan tersebut sejak 2020 hingga memasuki tahun 2021 atau tahun ke enam sejak dideklarasikan pada 2015 telah memasuki periode “Decade of Action”.
Pada periode Decade of Action ini, khususnya Tahun 2020-2021, Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (selanjutnya disebut “SDGs”) dihadapkan dengan ancaman Pandemi COVID-19 yang tidak kunjung berhenti. Kondisi ini telah lama menyebabkan perubahan pola hidup sosial masyarakat khususnya bagi kalangan anak-anak serta remaja yang telah ditutup sekolahnya dengan lebih banyak menghabiskan waktu secara daring ataupun online. Perubahan pada pola hidup bagi masyarakat di tengah Pandemi COVID-19, berdampak pada bidang kriminalitas yaitu meningkatnya kejahatan dunia maya (cyber crime), baik anak sebagai pelaku kejahatan seperti illegal contents, ataupun anak sebagai korban seperti online child sexual exploitation (eksploitasi seksual anak online).
Dalam data yang diperoleh dari NCMEC (National Center for Missing and Exploited Children), telah terjadi peningkatan angka kekerasan dan eksploitasi seksual anak pada Januari-September 2020 secara global, dengan terjadi peningkatan sekitar 98,66 persen. ECPAT Indonesia, sebuah organisasi jaringan nasional untuk menentang eksploitasi seksual komersial anak (ESKA), menyebutkan bahwa secara umum global, tren yang menjadi korban eksploitasi seksual anak di ranah online terus meningkat secara signifikan (Media Indonesia, 23/01/2020). Bahkan pada hasil survey yang dilakukan oleh ECPAT Indonesia terhadap 1.203 respon anak terkait kerentanan anak terhadap eksploitasi seksual anak di masa Pandemi COVID-19, yaitu dengan hasil 25 persen atau sekitar 287 anak telah mengalami pengalaman buruk tersebut (Suara.com, 23/12/2020).
Peningkatan ini dikarenakan Internet telah menjadi ruang besar bagi anak-anak untuk saling terhubung, bersosialisasi dan belajar, sehingga sangat rentan anak sebagai korban eksploitasi seksual online. ECPAT Internasional, (2017) menulis bahwa bentuk kejahatan eksploitasi seksual anak online dapat berupa grooming online (pendekatan dengan tujuan seksual online), sexting, (pembuatan gambar seksual sendiri), sextortion (pemerasan seksual), hingga live streaming atau siaran langsung kekerasan seksual pada anak di saat itu juga.
Pada dasarnya, dalam upaya menghentikan perlakuan eksploitasi terhadap anak telah tertuang dalam agenda SDGs yang terdiri dari 17 Tujuan dan 169 target, pada Pilar Pembangunan Hukum dan Tata Kelola khususnya dalam target ke 16.2 yaitu menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak. Sejalan dengan tujuan tersebut, perlu di respon dengan cepat terkait eksploitasi seksual anak online untuk menwujudkan Agenda 2030 yang pada saat ini telah memasuki periode “Decade of Action”. Mengingat bahwa kejahatan eksploitasi seksual anak ini meningkat secara signifikan.
Dalam ECPAT Indonesia (2015), komitment untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak harus di wujudkan dalam upaya Pencegahan dan penanganan kekerasan yang harus didorong untuk menjadi bagian integral dari agenda pembangunan global dan juga agenda pembangunan nasional Indonesia. Hal ini telah disebutkan dalam agenda SDGs dengan komitment untuk perlindungan anak dari bentuk kekerasan dan Eksploitasi.

Kekosongan Hukum
Dalam rangka mensukseskan Agenda SDGs pada target 16.2, dibutuhkan struktur hukum yang lengkap untuk menangkal segala jenis kejahatan eksploitasi anak. Menurut Becker (1968), tindak kriminalitas dapat diminimasi dengan cara menciptakan aturan hukum yang menyebabkan expected cost dari tiap individu untuk melakukan kejahatan lebih tinggi dari pada expected benefit-nya. Implikasinya, pemerintah memiliki dua alternatif pilihan kebijakan yaitu menentukan hukuman yang berat dengan probabilitas penangkapan kecil, atau menentukan hukuman yang ringan namun dengan probabilitas penangkapan yang besar (Pradiptyo, 2011).
Pada dasarnya bentuk ekspoitasi seksual anak yang dilakukan dengan cara lama, tidak diatur dalam satu perundang-undangan, melainkan tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti seperti UU TPPO dan UU Perlindungan Anak. Dalam Pasal 76 I UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, bahwa “Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual terhadap Anak”, dengan ancaman pidananya di atur dalam pasal 88 “yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Yang dimaksud anak dalam pengertian ini adalah anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) yaitu belum berusia 18 (delapan belas) Tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Sedangkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 ayat (8) memberikan definsi tentang Eksploitasi Seksual sebagai segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan, dengan ketentuan pidana nya di atur dalam Pasal 2 ayat (1) “setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 120.000.000,- (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)”.
Melihat penjelasan ketentuan diatas mengenai definisi Eksploitasi Seksual, tidak mengatur dengan jelas terkait konsep eksploitasi seksual melalui online, seperti halnya grooming, sexting, sextortion, live streaming, ataupun yang lebih kerap di temukan di Indonesia mengenai Video Call Sex (VCS). Bahkan dalam UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE maupun UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga tidak ditemukan ketentuan yang mengatur kejahatan ekspoitasi seksual dengan menggunakan cara baru ini.
Dengan adanya kekosongan hukum yaitu belum diaturnya ketentuan mengenai ekspoitasi seksual anak online, menyebabkan permasalahan ataupun kesulitan dalam penegakan hukum (law enforcement), yaitu tidak dapat dipidananya pelaku eksploitasi seksual anak online dengan argumentasi bahwa Indonesia belum mengatur ketentuan mengenai terkait eksploitasi seksual anak online, serta menghambat agenda PDGs untuk mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan dan segala macem bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.
Untuk itu, demi membendung kejahatan eksploitasi jenis baru ini, dalam rangka mewujudkan agenda Pembangunan Hukum dalam pembangunan berkelanjutan (TPB)/Sustainable Development Goals (SDGs). Langkah pertama pemerintah harus segera merespon kejahatan tersebut dengan melakukan perubahan ataupun pembentukan peraturan perundang-undangan mengenai eksploitasi seksual anak online, dan mempertegas rumusan mengenai bentuk ekspoitasi seksual anak dan juga unsur-unsur pidananya, sehingga mempermudah penegak hukum dalam penanganan kejahatan eksploitasi seksual online. Kedua, dengan dorongan dari orang tua dan juga pemerintah untuk melakukan kajian komprehensif dan melakukan pembinaan terhadap anak dalam menggunakan cyber atau internet untuk menghindari penyalahgunaan internet atau mendia sosial seperti eksploitasi seksual anak online.
—— *** ——-

Tags: