Ekspor Beras Premium Dalam Kemasan

(Fasilitasi Sistem Tanam dan Pasca-Panen) 

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial dan Politik 

Beras premium saset (200 gram), sudah terbukti laris di dalam negeri. Menjadi pembuka potensi yang selama ini “tersembunyi,” memulai ekspor beras. Terutama pangsa pasar negeri tetangga. Harapan Indonesia bisa meng-ekspor beras, bukan mimpi. Melainkan bisa segera dilakukan. Bahkan sebagian daerah sentra beras “diam-diam” telah ekspor ke negeri tetangga. Diantaranya, Banyuwangi (Jawa Timur) telah mengekspor beras kualitas premium (mahal) asal Malaysia sejak tahun lalu.
Kuat dugaan, bahwa Indonesia telah swasembada beras. Walau keran impor beras masih dibuka oleh pemerintah. Mungkin sebagai cadangan manakala terjadi paceklik, atau gagal panen raya karena sawah diterjang banjir. Bersyukur, pada musim tanam 2017 (sejak Oktober), tidak terkendala cuaca kestrem. Berdasar catatan Kementerian Pertanian, musim tanam lalu terhampar pada sawah seluas 15,4 juta hektar. Jawa masih yang terluas. Tetapi di luar Jawa (Sulawesi, dan Kalimantan) terdapat tambahan areal sawah
Pengharapan dari 15,4 juta hektar sawah akan dihasilkan sebanyak 135,52 juta ton GKP (Gabah Kering Panen), sudah terwujud. Dengan asumsi (kebiasaan) sekitar 57% GKP akan menjadi beras, maka akan dihasilkan sebanyak 77,24 juta ton beras. Itulah hasil puncak panen raya sepanjang Januari hingga April 2018, yang baru dilalui. Walau belum terdapat prediksi (yang memadai) tentang hasil panen.
Kalukulasi produk panen raya, biasanya menggunakan “kurs tengah” hasil per-hektar. Berkisar 7,5 ton hingga 10,5 ton. “Kurs tengah” ditaksir setiap hektar menghasilkan 8,8 ton GKP. Maka perkiraan hasil sebanyak 77,24 juta ton beras, tidak muluk-muluk. Sedangkan konsumsi beras nasional per-kapita sebanyak 114,6 kg (kilogram) per-tahun. Berdasar data (hasil revisi tahun 2017) itu, maka untuk 262 juta jiwa penduduk Indonesia dibutuhkan 30.025.200 ton. Digampangkan menjadi 30 juta ton. Sudah surplus besar!
Manakala areal tanam padi benar-benar seluas 15,4 juta hektar, disertai metode tanam yang baik, pasti surplus. Maka seyogianya pemerintah yakin, bahwa hasil panen tahun 2018 akan sebanyak 77,24 juta ton beras. Pengharapan hasil panen akan sangat melimpah. Konsekuensinya, harga beras akan anjlok. Tetapi realitanya, harga beras di pasar tradisional tetap tinggi. Beras medium, tetap Rp 9.400,- per-kilogram, sesuai HET (Harga Eceran Tertinggi) patokan pemerintah.
Tetapi stabilnya harga beras, tidak selaras dengan harga jual gabah. Pada musim panen, serta-merta harga gabah anjlok. Sekilas, seolah-olah suplai melebihi demand (kebutuhan). Karena itu pemerintah mesti ekstra waspada menata perdagangan dan distribusi beras. Untuk mengamankan stok beras nasional (tanpa impor), pemerintah wajib memborong hasil panen dengan harga layak. Sekaligus menghindari “permainan” harga oleh pedagang besar.
Impor Barter Komoditas
Benarkah pemerintah akan coba memenuhi kebutuhan beras tanpa impor, mulai tahun ini? Ternyata belum. Bahkan sudah diterbitkan Inpres Nomor 5 tahun 2015 tentang Impor beras. Walau (selalu) dengan persyaratan yang diperketat. Penerbitan Inpres (izin) impor, konon, bisa digunakan sebagai “penjinak” makelar beras impor. Sehingga stok beras cukup, harganya tidak memberatkan masyarakat. Namun presiden Jokowi bertekad masih akan melanjutkan swasembada pangan.
Sedikit impor, mungkin boleh. Selain cadangan kemungkinan paceklik (dan bencana), juga demi menjaga persahabatan antar negeri bertetangga. Boleh sedikit impor beras dari Vietnam, dan Thailand maupun India. Tetapi harus “dibarter” dengan komoditas ekspor hasil UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah). Misalnya ekspor kerajinan mebel ukir, atau tasbih (berbahan kayu dan biji-bijian) yang dibutuhkan Bhiksu Buda.
Berdasar Inpres, impor boleh dilakukan manakala persediaan hasil panen dalam negeri tidak mencukupi. Sedangkan “catatan” ketersediaan beras akan dikontrol melalui Bulog. Karena itu pada diktum ke-7 klausul ke-3 dinyatakan, “Pelaksanaan kebijakan pengadaan beras dari luar negeri dilakukan oleh Perum BULOG.” Sehingga ketersediaan beras di gudang Bulog (dengan divisi regional yang tersebar di daerah seluruh Indonesia) akan menjadi pertimbangan utama.
Selama ini stok beras tidak hanya tersimpan di gudang Bulog, melainkan juga di gudang milik pedagang besar. Tak jarang, stok di gudang pedagang sengaja disimpan untuk “mengayun” harga. Terutama menjelang hari raya Idul Fitri dan Tahun baru. Pada situasi (seolah-olah) stok langka, maka harga beras akan naik. Itulah modus yang dilakukan mafia pedagang, agar pemerintah membuka peluang (dan kuota) impor beras.
Namun tata-niaga beras, tidak semudah sekadar kalkulasi ketersediaan hasil panen. Melainkan juga situasi di desa-desa sentra pangan. Kenyataannya, tidak semua gabah (apalagi beras) disetor ke Divre Bulog. Bahkan lebih sering, tengkulak lebih “agresif” dibanding Divre Bulog. Diantaranya, tengkulak memberi talangan (utang) untuk modal bertani. Selain itu, tengkulak menghargai gabah kering sawah (GKS) lebih tinggi.
Agar petani lebih memilih menjual gabah kepada Divre Bulog, satu-satunya jalan, hanya dengan menaikkan HPP. Tahun (2018) ini HPP dinaikkan. HPP beras yang sebelumnya Rp 6.600,- menjadi Rp 7.300,- per-kilogram. HPP gabah kering giling (GKG) naik dari Rp 4.200,- menjadi Rp 4.650,- per kilogram. Sedangkan harga gabah kering sawah (GKS) juga meningkat dari Rp 3.300,- menjadi Rp 3.700,- per kilogram.
Biasanya, petani menjual dalam bentuk GKS. Itupun tidak mudah meraih harga tertinggi (Rp 3.700,- per-kilogram), karena terdapat beberapa persyaratan. Derajat sosoh (kandungan air, butir pecah dan tanah tercampur) akan menjadi penentu harga. Maka Divre Bulog harus lebih progresif “merapat” ke kelompok tani, dengan memudahkan persyaratan, dan harga lebih menarik (dibanding tengkulak).
Berdasar kalkulasi HPP per-beras-an, sebenarnya terdapat “ke-tidak adil-an.” Petani sebagai penanggungjawab on-farm beras, hanya memperoleh sekitar 50% total HPP beras. Terdapat selisih Rp 3.550,- (48,63%) antara GKS dengan HPP beras. Jika sebanyak 57% padi menjadi beras, maka sebenarnya, sekitar 43% harga beras (Rp 3.139,-) dinikmati oleh pengusaha slip.
Metode Tanam dan Panen
Bandingkan dengan ongkos ani-ani (petik padi) hanya sebesar 10%. Andai biaya slip dapat ditekan setara ani-ani (10%), maka penerimaan petani akan lebih besar. Terdapat tambahan sebesar 33% (Rp 2.489,- per-kilogram). Indeks diterima (it) petani akan lebih besar, sehingga NTP (Nilai Tukar Petani) akan melambung. Tetapi, penambahan penghasilan sebesar Rp 2.489,- per-kilogram, bagai mimpi pada siang bolong.
Penawaran harga Bulog yang lebih menarik, bukan mustahil. Dengan perbaikan manajemen tata-niaga beras, Bulog bisa memetik nilai tambah perdagangan. Hal itu terbukti dengan penjualan beras premium dalam saset kemasan 200 gram. Hanya dalam sebulan, merek dagang resmi Bulog “BerasKita” telah sangat populer. Terutama pada kalangan buruh, keluarga kecil (dengan dua anak), sampai mahasiswa.
Sepuluh juta saset sudah diserap pasar dengan sangat cepat. Padahal hingga kini peredaran beras premium saset masih terbatas pada se-antero Jawa, dan Sulawesi Selatan. Tetapi tak lama, seluruh propinsi (termasuk Papua) akan dibanjiri beras premium saset. Kelak, produksi beras medium akan tergusur beras premium (yang lebih enak). Dibanderol dengan harga Rp 2.500,- per-saset, menjadi Ini sekaligus mengubah pola konsumsi masyarakat lebih “bermartabat.”
Semula memilih beras medium (murah), beralih pada beras premium yang lebih enak dan sedikit mahal. Kelak, produksi beras medium akan tergusur beras premium (yang lebih enak). Konsekuensinya, petani harus menanam padi dengan benih unggul. Serta cara bercocok tanam lebih baik, disertai penanganan pasca-panen lebih effisien.
Hanya diperlukan fasilitasi pemerintah, khususnya pasca-panen. Selain lantai jemur, petani juga memerlukan mesin perontok padi. Saat ini telah dikembangkan mesin panen combine harvaster. Yakni, kombinasi tiga fungsi sekaligus: menuai, merontokkan, dan menampi. Penggunaan mesin (teknologi tepat guna) akan mengurangi faktor kehilangan saat panen dan pasca-panen. Pasca-panen yang tidak effisien biasa menggerus penghasilan sampai 20%. Separuhnya (10% hasil panen) telah cukup untuk ongkos sewa mesin combine harvaster.
Maka sebenarnya tidak sulit merealisasi peningkatan NTP. Hanya dibutuhkan political-will (ke-berpihakan), dan karitatif pemerintah. Antaralain melalui fasilitasi pemerintah (dan pemerintah daerah) untuk pengadaan pengadaan mesin giling padi (slip). Setidaknya setiap kelompok tani (satu desa) terdapat satu usaha slip.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: