Ekspor ke Malaysia dan Florida, Harga Satu Payung Bisa Tembus Rp1 Juta

Perajin payung geulis Susan Frelina menyaksikan pekerjanya yang sedang menyelesaikan pembuatan payung geulis ditempatnya. [sudarno]

Melihat Produksi Payung Geulis di Tasikmalaya Jawa Barat
Madiun, Bhirawa
Payung merupakan alat pelindung dari hujan dan panas. Modelnya pun bermacam-macam. Salah satunya adalah payung geulis dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Geulis memiliki arti elok atau molek sehingga payung geulis memiliki arti payung cantik yang bernilai estetis. Bhirawa berkesempatan mengunjungi pembuatan payung geulis di Tasikmalaya yang sudah jarang ditemui. Berikut catatannya.
Terdapat dua motif payung geulis yaitu motif hias geometris berbentuk bangunan yang lebih menonjol seperti garis lurus, lengkung dan patah-patah, dan motif hias non geometris diambil dari bentuk alam seperti manusia, hewan dan tanaman. Pusat pembuatan payung geulis ini terletak di Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya.
Payung geulis merupakan ikon dari Kota Tasikmalaya yang keberadaannya hampir punah. Pada masa penjajahan Belanda sekitar 1926 dipakai oleh none-none Belanda. Payung geulis yang terbuat dari bahan kertas dan kain mengalami masa kejayaan pada era 1955 sampai 1968. Namun masa kejayaan itu berangsur-angsur surut setelah pemerintah pada 1968 menganut politik ekonomi terbuka. Sehingga payung buatan pabrikan dari luar negeri masuk ke Indonesia.
Hal ini berdampak pada hancurnya usaha kerajinan payung geulis di Tasikmalaya. Usaha kerajinan ini mulai bersinar kembali sejak 1980-an. Para perajin mulai membuka kembali usaha pembuatan payung walau dalam jumlah kecil.
Sekarang, payung geulis masih bertahan bahkan mampu ekspor ke berbagai negara. Misalnya payung geulis produksi keluarga Susan Frekina. “Pesanan payung geulis saat ini cukup banyak. Contohnya adalah pesanan untuk Festival Tasikmalaya dalam rangka HUT Kota Tasikmalaya. Jumlahnya mencapai  3 ribu payung. Itu produksi kami dan teman-teman lainnya,” kata Eri Aksa, keluarga Susan Frelina.
Dikatakan Eri, produksi payung geulis yang dibuatnya adalah tinggalan nenek moyang yang turun temurun. Dulu satu kampung produksi payung semua. Sekarang tingga lima perajin saja dalam satu kelurahan. Kemudian mulai 1980 lalu hingga sekarang bangkit lagi.
Awalnya, payung geulis yang bahannya ada yang dari kain dan ada pula yang bahannya dari kertas, tinggal pemesanan minta bahan dari apa. “Kami sebagai produsen tinggal melayani pesanan payung geulis tersebut,” katanya.
Dijelaskan, pada umumnya payung geulis dipesan dari Tasikmalaya sekitarnya dan kota-kota lainnya, juga banyak juga yang diekspor ke manca negara. Soal tarif berfariasi tergantung ukurannya. Lain ukuran lain pula harganya. Misalnya harga terkecil Rp30 ribu/ payung dengan ukuran 50 cm dan terbesar ukuran dua meter harga Rp350 ribu/ payung.
“Kami menerima pesanan payung geulis dengan ukiran seharga Rp1 juta pesanan dari Malaysia dan Florida,” kata Susan Frelin, didampingi suaminya Budi Indra Praja, sambil menunjukkan payung seharga Rp1 juta tersebut.
Ditanya bagaimana peran Dinas Perindustrian Kabupaten Tasikmalaya, spontan Eri Aksa menyatakan, perajin payung geulis kurang mendapat dukungan dari pemerintah. “Meski demikian, kami tetap bersemangat berproduksi payung geulis yang fungsinya untuk dekorasi tersebut. Dan kami bersyukur, masih bertahan hingga sekarang,” ungkapnya.
Produksi payung geulis ditempatnya, ada delapan orang dengan sistem gajian borongan per unit atau kodian. Pekerjaannya dibagi sesuai keahlian masing-masing pekerja. Ada yang mengukir atau melukis tiga orang dan ada yang membuat kerangkan payung, serta ada pula yang bubut kayu pegangan payung juga ada. [sudarno/bhirawa]

Tags: