Ekspor Produk Olahan Kakao Capai Rp 1,18 Triliun

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Pemprov, Bhirawa
Nilai ekspor kakao asal Jawa Timur kini mampu mencapai nilai 99.064.114 dollar AS atau senilai Rp 1,18 triliun. Jika dulu ekspor hasil produksi kakao lebih banyak pada produk mentah, kini ekspor didominasi produk olahan.
“Kalau dulu ekspor lebih banyak biji, sekarang dalam bentuk setengah jadi berupa pasta, mentega, bubuk, hingga sisa bungkil kakao. Dari total nilai ekspor itu produk kakao olahan mendominasi hingga 80 persen dan sisanya 20 persen dalam bentuk biji kakao,” kata Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Ir Moch Samsul Arifien MMA, Selasa (16/9).
Dari aspek produksi kakao, kini Jatim mampu menghasilkan 33 ribu ton. Biji kakao tersebut diperoleh dari perkebunan rakyat sebanyak 12 ribu ton dan perkebunan besar mencapai 21 ribu ton.
Namun, dari total komoditi yang di ekspor jumlahnya lebih besar yakni mencapai 35.635 ton. hal ini dikarenakan banyak pula kakao dari daerah lain yang masuk ke Jatim sebelum di ekspor ke luar negeri.
Untuk harga jual biji kakao saat ini, kata Samsul, mencapai Rp 26-27 ribu/kilogram. Secara nasional, Indonesia masih baru mampu menghasilkan 720 ribu ton atau mencapai peringkat ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Menurutnya, meskipun produksi cukup tinggi, sayangnya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia masih cukup rendah yaitu hanya 0,3 kg per kapita per tahun. Jumlah itu sangat jauh dibandingkan Finlandia yang mencapai 10 kg per kapita per tahun.
“Padahal kakao sangat baik untuk kesehatan. Namun masyarakat kita masih enggan mengkonsumsi kakao atau yang biasa dikenal dengan cokelat. Sehingga, dari hasil produksi kakao tersebut hampir semua di ekspor,” katanya.
Meskipun kontribusi terhadap produksi nasional belum begitu besar, tapi hal ini merupakan kesuksesan tersendiri, mengingat sejarah kakao di Jawa Timur yang kelam pada saat pasca reformasi.
Pada masa sebelum reformasi, perkebunan kakao di Jatim adalah milik perkebunan besar yang pada akhirnya produksi terus menurun hingga 50%, karena permasalahan sosial antara perkebunan besar dengan masyarakat sekitarnya.
Banyak pohon kakao yang dilakukan konversi dengan tanaman semusim oleh masyarakat, dan bahkan kita kehilangan plasma nutfah kakao edel (mulia).
Berbagai upaya di berbagai daerah telah dilakukan oleh Dinas Perkebunan Jatim untuk kembali meningkatkan produksi kakao Jatim, diawali dari Donomulyo Malang, Udanawu Blitar, Nganjuk, Ngawi dan Pacitan.
Ditunjang dengan program kakao belt di sepanjang pantai selatan dari Banyuwangi sampai Pacitan dalam kurun lima tahun terakhir target sebesar 35 ribu ton per tahun, maka diharapkan tidak sulit untuk dicapai. [rac]

Tags: