Empat Siswi Surabaya Hamil dalam Sebulan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Dindik, Bhirawa
Fakta mencengangkan mencoreng dunia pendidikan di Surabaya. Betapa tidak, dalam sebulan terakhir terungkap empat siswi hamil. Kenyataan ini semakin memprihatinkan lantaran tiga di antara mereka masih di bawah umur, yakni siswa Sekolah Dasar (SD).
Tiga siswa SD ini berasal dari wilayah Surabaya Utara, Timur dan Selatan. Sementara satu lainnya siswa SMK dari wilayah Surabaya Selatan. Siswa SD wilayah Surabaya Utara diketahui tengah hamil lima bulan. Bocah berusia 15 tahun ini diduga dihamili oleh ayahnya sendiri. Hanya saja hingga kemarin sang ayah masih menuding guru sekolahnya yang melakukan perbuatan bejat tersebut. Saat ini bocah berperawakan bongsor ini masih tercatat di kelas 6. Kondisi serupa juga terjadi pada siswa hamil dari Surabaya Timur.
Siswa kelas 6 ini diduga dihamili oleh teman dari ayahnya. Saat ini siswa tersebut diadvokasi oleh Tesa 129 dan dia kini tinggal di sebuah tempat untuk memulihkan kondisi psikologinya. Sementara kasus kehamilan ketiga yang terjadi di wilayah Surabaya Selatan saat ini masih dalam tahap pendalaman dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur.
Ketua Divisi Riset dan Data LPA Jatim M Isa Ansori mengatakan, faktor keluarga dan lingkungan sangat berpengaruh besar menjadi
penyebab kasus ini. “Seharusnya keluarga itu memberikan perlindungan, tetapi malah mengancamnya hingga terjadi pelecehan ini,”kata Isa, Minggu (26/10).
Terkait usia korban yang masih sekolah SD, menurut Isa, pergeseran umur itu sebuah keniscayaan karena akses informasi terkait penyimpangan ini sangat mudah. Pelaku biasanya meniru dari hal-hal yang pernah didengar dan dilihatnya. Si anak pun tidak kuasa untuk menolak maupun mengadukan apa yang dialaminya.
Agar kasus ini tidak bertambah, Isa berharap semua pihak, dalam hal ini Pemkot Surabaya terutama Dinas Pendidikan Surabaya untuk bertindak cepat. Adanya Perda tentang Perlindungan Anak harus benar-benar dilaksanakan di semua lini. Jangan sampai peraturan ini diramu lagi menjadi kebijakan yang bersifat ambigu.
Menurut Isa, cara pencegahan yang cukup efektif bisa dilakukan di sekolah. Sekolah harus mengetahui kebutuhan siswa, bukan malah
memberikan kebijakan yang membuat siswa tidak nyaman.  “Harus ada penanganan mulai dari pencegahan sampai reintegrasi. Bukan kebijakan yang bersifat reaktif karena selama ini hanya bersifat reaktif, tetapi kenyataannya tidak menyentuh,”kritiknya.
Terpisah, Humas Dindik Surabaya Eko Prasetyaningsih tidak membantah data siswa SD hamil yang terjadi akhir-akhir ini. Menurutnya kasus ini sudah dalam penanganan bersama dengan tim dari pemkot seperti Dinas Kesehatan dan Bapemas KB. “Kami tidak ingin ini
digembor-gemborkan karena akan memperburuk kondisi kejiwaannya. Karena itu kami lebih memilih diam-diam untuk menangani kondisinya termasuk masalah kesehatan, gizi , saat melahirkan maupun setelahnya,”katanya.
Khusus untuk siswa SD di daerah Surabaya Utara, Eko melihat di sini ada perlakuan yang keliru dari sekolah. Siswa ini seharusnya ditangani laiknya siswa berkebutuhan khusus (inklusi) karena mengalami keterlambatan belajar (slow learner). Tetapi dia malah diperlakukan laiknya siswa normal karena itu beberapakali dia harus tinggal kelas. “Seharusnya guru dan sekolah itu mengenali kalau ada anak berkebutuhan khusus. Mereka bisa mengirimkan surat ke kami untuk melaksanakan kelas inklusi sehingga anak tidak menjadi korban,”katanya.
Terkait korban (hamil) yang masih belia, menurut Eko kesalahan itu tidak sepenuhnya dibebankan ke sekolah karena ada faktor keluarga dan lingkungan yang sangat berpengaruh. Dia meyakini para korban ini berada pada keluarga yang faktor spiritualnya rendah. “Sekolah dan orangtua harus bersama-sama menjaga anak-anak. Bila perlu sejak dini diajarkan pendidikan seks sehingga dia bisa mendefinisikan mana saja bagian tubuh yang boleh disentuh dan mana yang tidak boleh dan diharamkan agama. Ini tanggung jawab bersama,”katanya. [tam]

Tags: