Empati Dalam Komunikasi Saat Pandemi

Judul : Komunikasi Empati Dalam Pandemi Covid-19
Penulis : Vinda Maya S., dkk.
Penerbit : Aspikom Jatim kerjasama Buku Litera Yogyakarta
Tebal : 338 Halaman
Cetakan : Pertama, Mei 2020
ISBN : 978-602-5681-70-7
Peresensi : Sugeng Winarno
Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Buku bertajuk Komunikasi Empati Dalam Pandemi Covid-19 ini mengajak pembaca memahami bagaimana menghadirkan empati dalam berkomunikasi terutama saat pandemi. Komunikasi yang terjadi idealnya tak sekedar menyampaikan angka-angka dan data-data yang membosankan. Komunikasi juga tak tepat kalau hanya dilakukan searah, yakni dari pemerintah ke masyarakat saja. Mestinya komunikasi juga melibatkan masyarakat sebagai bagian dalam komunikasi dua arah yang dialogis.

Pandemi Covid-19 telah ciptakan kedukaan. Tak sedikit korban jiwa. Banyak orang juga terdampak secara ekonomis. Pemerintah dan masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit. Anjuran pemerintah untuk menjalankan beragam protokol kesehatan terpaksa sulit diindakan. Bukannya tak mau patuh pada anjuran pemerintah untuk tak meninggalkan rumah, namun kalau tak bekerja, lantas mau makan apa? Bisa-bisa orang akan mati bukan karena serangan virus namun karena kelaparan.

Situasi sedih ini menggugah orang untuk berempati. Tak sedikit orang berempati dan saling peduli pada sesama. Mereka saling berdonasi untuk meringankan beban sesama. Idealnya komunikasi pun bisa dilakukan dengan empati. Komunikasi empati yang coba ditawarkan dalam buku ini agar siapa saja yang sedang terlibat komunikasi mampu menempatkan diri pada posisi orang lain.

Komunikasi empati mengedepankan bagaimana diri kita seperti sedang merasakan apa yang sedang diderita oleh orang lain. Komunikasi empati berusaha lebih banyak memperhatikan apa yang menjadi keluhan dan kesulitan orang lain. Untuk itu komunikasi empati idealnya dengan banyak mendengar, bukan komunikasi satu arah yang memaksa orang lain hanya mendengarkan dan menjalankan instruksi belaka.

Situasi pandemi Covid-19 ini memang semakin rumit gegara pemerintah tak mampu berkomunikasi dengan baik pada masyarakat. Situasi ini diperparah oleh banalitas informasi bohong tentang Covid-19 yang beredar viral lewat beragam platform media sosial. Situasi kepanikan masyarakat tak mampu terbendung. Media massa tak berhasil meredam ketakutan, sementara media sosial justru sering menampilkan informasi yang didramatisir dan melebihi realitas yang sesungguhnya (hiperrealitas).

Buku kumpulan tulisan dari 45 dosen Ilmu Komunikasi se-Jawa Timur ini dibagi dalam lima bagian. Bagian pertama berbicara tentang Covid-19 dan problem komunikasi elite politik. Bagian kedua mengulas tentang komunikasi empati, Covid-19, dan ketahanan masyarakat. Bagian ketiga membahas tentang peran media di era pandemi. Bagian keempat menjelaskan tentang pandemi dan tantangan dunia literasi. Bagian kelima membahas peran komunikasi pasca pandemi.

Melalui buku setebal 338 halaman ini para penulis mengajak pembaca untuk mencermati relasi antara pemerintah, masyarakat dan media. Idealnya antara masing-masing posisi mampu memainkan peran yang ideal. Namun faktanya komunikasi yang dilakukan pemerintah tak jarang justru mencipta gaduh. Ketakutan dan kepanikan juga dipicu oleh informasi dari pemerintah yang tak terbuka dan transparan.

Di saat yang sama, media sosial begitu masif menampilkan beragam konten informasi yang rendah akurasi dan kredibilitasnya. Parahnya, informasi bohong (hoaks) tersebut justru yang dipercaya oleh banyak masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang mampu memilih dan memilah serta menemukan informasi yang bersumber fakta. Kebanyakan orang mempercayai informasi gara-gara informasi tersebut sudah terlanjur viral.

Sejumlah penulis juga menemukan fakta bahwa media massa arus utama (mainstream media) juga tak semuanya mampu memainkan peran. Idealnya media arus utama hadir sebagai penjernih terhadap beragam informasi keliru yang diviralkan oleh media sosial. Mainstream media hendalnya hadir sebagai penjernih informasi di tengah banjir informasi tentang Covid-19 yang tak semuannya benar.
Apa yang telah dimainkan oleh media massa menjadi perhatian serius sejumlah penulis. Bagaimana soal objektivitas pemberitaan media terkait pandemi Covid-19. Selain itu, beragam informasi tentang Covid-19 yang terus berdengung di media sosial juga menjadi bahasan dalam buku ini. Maraknya hoaks yang dipercaya sebagai kebenaran terus diviralkan melalui media sosial. Efek Echo Chamber yang melekat pada media sosial semakin sulit membendung laju kabar abal-abal.

Buku ini tak hanya menyoroti peristiwa saat pandemi. Dalam bagian akhir buku ini, juga dibahas komunikasi pasca pandemi. Bagaimana orang tetap melakukan kebiasaan baik selama pandemi bisa terus dipertahankan. Beberapa inovasi baru yang sebelumnya tak dilakukan kini sudah mulai menjadi kebiasaan. Perilaku yang awalnya keterpaksaan itu pelan-pelan menjadi kebiasaan. Beragam perilaku yang positif yang dilakukan masyarakat saat pandemi perlu terus dikomunikasikan kepada masyarakat.

Walaupun dibagi dalam lima bagian dan ditulis oleh puluhan penulis, namun buku ini bisa saling terkait. Seperti kebanyakan buku tulisan kompilasi, biasanya agak sulit ditemukan kontiniti antar bagaiannya, tetapi di buku ini kelima bagian bisa punya relasi yang saling melengkapi. Buku ini merupakan hasil analisis dan kajian yang mendalam oleh para penulisnya. Buku ini tepat menjadi sumber bacaan bagi akademisi, politisi, praktisi media, dan masyarakat.

Buku tulisan keroyokan dosen Ilmu Komunikasi ini merupakan sumbangsih akademisi guna turut berkontribusi menangani pandemi Covid-19. Sumbangsih pemikiran dan gagasan ini diharapkan mampu menjadi tawaran solusi terhadap kebuntuan komunikasi yang terjadi. Melalui buku ini diharapkan mampu menjadi penjernih di saat keruh informasi dalam lautan banjir informasi Covid-19. Melalui buku ini pula para penulis ingin mengurangi rasa takut yang berlebihan (phobia) yang dialami sekelompok masyarakat pada pandemi Covid-19.

————– *** ——————

Rate this article!
Tags: