Endang Setjani, Dosen STTS Pencipta Kamus Visual Tuna Rungu-Tuna Wicara

Endang Setjani, dosen STTS menunjukkan karyanya berupa kamus visual yang dinamakannya Inesh² Square Corpora, Selasa (7/2). [adit hananta utama]

Dari Gerak Bibir, Komunikasi Tak Harus Gunakan Bahasa Isyarat
Kota Surabaya, Bhirawa
Komunikasi yang terjadi antara penyandang tuna rungu atau tuna wicara masih terbatas menggunakan bahasa isyarat. Sehingga perbedaan cara berkomunikasi begitu mencolok antara penyandang difabel dengan  manusia pada umumnya. Kondisi ini menarik perhatian Endang Setjani untuk menciptakan kamus visual bahasa isyarat menggunakan gerak bibir.
Paras Endang terlihat sumringah setelah kurang lebih 90 menit mengikuti prosesi sidang terbuka program doktoralnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kemarin, Selasa (7/2). Disertasi tentang Talking Head System in Indonesian Language with Affective Facial Expressions Synthesis dipaparkannya dengan begitu apik. Setelahnya, perempuan yang berprofesi sebagai dosen di Sekolah Tinggi Teknik Surabaya (STTS) itu mendapat banyak ucapan selamat dari rekannya sebagai tanda atas keberhasilannya.
“Saya melakukan penelitian ini selama kurang lebih sekitar dua tahun. Penelitian ini saya pilih karena ingin orang yang tuna wicara itu dapat berkomunikasi dengan mulut layaknya orang normal,” tutur Endang.
Selain itu, metode ini juga memudahkan mereka untuk berkomunikasi dengan yang tidak tuna wicara dan tuna rungu.  Endang lalu menciptakan sistem aplikasi yang dibuat dalam bentuk kamus visual. Gambarannya, ada animasi wajah yang menggerakkan bibir disertai fonemnya. Dalam sistem itu, dia berhasil memetakan 49 fonem bahasa Indonesia menjadi 12 model viseme (Visual Phoneme).
Fonem yang dimaksud adalah unsur terkecil bahasa yang dapat membedakan arti. Juga unit terkecil suara yang merupakan dasar membangun ucapan manusia. Sementara viseme merupakan bentuk mulut yang dalam beberapa fonem memiliki kesamaan. Dia memisalkan, fonem b, m, dan p, memiliki bentuk bibir yang sama saat diucapkan. Kata Sabtu, misalnya. Bentuk bibir fonem b dalam kata itu, akan sama saat mengucapkan saptu, dan samtu. “Ini lalu jadi satu viseme. Sedangkan huruf vokal masing-masing merupakan fonem yang berbeda,” katanya.
Untuk membuat bentuk bibir, Endang merekam dengan menggunakan motion capture atau kamera animasi. Dosen Teknik informatika STTS melibatkan 10 mahasiswa yang setiap mahasiswa mengucapkan 841 suku kata. “Ini untuk memastikan bentuk mulut. Hasil rekaman video itu lalu diproses menggunakan program Make Human,” kata dia.
Yang menarik, perempuan kelahiran Probolinggo pada 20 November 1967 itu juga memasukkan unsur emosi dan ekspresi dalam sistem. Sehingga, lawan bicara juga bisa mengerti ekspresi yang disampaikan dari kata-kata yang diucapkan. “Kalau belajar elektro, maka yang dipelajari adalah fungsi kecerdasannya, bagaimana mesin itu jadi pintar untuk mengenali sesuatu,” jelasnya.
Dengan demikian, sistem tersebut mampu mengonversikan masukan teks dari kalimat Bahasa Indonesia yang diubah ke ucapan. Konversi itu dilakukan dengan sinkronisasi animasi dari bentuk mulut, gerakan bibir, dan ekspresi emosional.
Melalui penelitian itu, istri dari Didik Wahyudi itu berharap banyak orang bisa berkomunikasi dengan para tuna wicara dan tuna rungu.  Dia pun menjadikan karyanya sebagai software open source yang bisa didunduh siapa saja. “Orang tidak harus belajar bahasa isyarat untuk bisa berkomunikasi dengan tuna wicara maupun tuna rungu,” jelas ibu tiga anak itu. [Adit Hananta Utama]

Tags: