Era Baru Perlindungan Pekerja Migran

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa

Setelah menunggu lebih dari tujuh tahun pembahasan, akhirnya Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) disahkan dalam rapat paripurna DPR, Rabu (25/10) yang lalu. UU ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia.
Sejarah baru ini sekaligus ingin menegaskan komitmen pemerintah yang lebih baik bagi pekerja migran Indonesia. Pada wilayah lain, kehadiran Undang Undang ini juga menemukan relevansinya bila direlasikan dengan data Bank Dunia (2016) yang mencatat pekerja imigran asal Indonesia merupakan terbesar kedua di ASEAN setelah Myanmar. Indonesia menyumbang sebesar 18 persen atau setara 1,2 juta tenaga kerja dari 6,5 juta imigran yang tersebar di Malaysia, Singapura dan Thailand. Myanmar berada di posisi pertama sebagai penyumbang pekerja migran terbesar di ASEAN dengan prosesntase sebesar 33% setara dengan 2,2 juta pekerja migran. Sementara Thailand menjadi destinasi para pekerja migran sebesar 55 persen atau setara dengan 3,68 juta pekerja migran. Sedangkan pekerja migran yang masuk ke Indonesia hanya 67.000 orang.
Angka pekerja migran asal Indonesia dipastikan akan terus meningkat mengingat saat ini Indonesia masih terbelit sistem birokrasi yang rumit sehingga banyak pekerja imigran asal Indonesia yang berstatus ilegal. Kebijakan yang tepat dari negara-negara pengirim dapat memperoleh keuntungan ekonomi dari migrasi keluar, dan memberikan perlindungan kepada warga negaranya yang memilih bermigrasi untuk mencari pekerjaan. Sebaliknya, kebijakan yang tidak cocok dan lembaga yang tidak efektif akan mengakibatkan kawasan ini menghadapi kemungkinan kehilangan peluang untuk menarik keuntungan secara maksimal.
Sejarah Baru Perlindungan Pekerja
Hadirnya Undang Undang Perlindungan Pekerja Migran sungguh merupakan tonggak sejarah yang penting bagi perlindungan pekerja migran Indonesia. UU ini menempatkan perlindungan negara terhadap pekerja migran sebagai prioritas. Sekaligus merupakan komitmen untuk menjalankan Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam UU No 6 Tahun 2012. UU ini diyakini akan meningkatkan perlindungan pekerja migran di luar negeri. Yakni, dengan dimasukkannya jaminan sosial bagi pekerja migran dan keluarganya di pasal 29. Sungguh tidak akan ada keadilan dan kesejahteraan sosial tanpa sistem jaminan sosial nasional.
Salah satu terobosan dari UU yang terdiri atas 13 bab dan 91 pasal adalah diamanatkannya pasal terkait Jaminan Sosial bagi pekerja migran dan keluarganya (Pasal 29), sesuai dengan amanat UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan demikian, pekerja migran Indonesia dan keluarganya, di mana pun berada, berhak mendapatkan Jaminan Sosial berupa Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun dan Jaminan Kematian yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Dalam konteks perlindungan terhadap pekerja migran, rasanya publik tidak perlu meragukan kapasitas BPJS Ketenagakerjaan untuk menjalankan amanah UU baru ini. Sebulan sebelum UU ini disahkan BPJS Ketenagakerjaan mendapat penghargaan dari asosiasi jaminan sosial ASEAN atau ASEAN Social Security Association (ASSA) terhadap program perlindungan pekerja migran BPJS Ketenagakerjaan di kategori Insurance Coverage. Lantaran itu, penghargaan itu bisa menjadi bekal sekaligus motivasi dalam menjalankan amanah UU ini. Memang, program perlindungan jaminan sosial kepada TKI baru diluncurkan pada tanggal 1 Agustus 2017 lalu. Perlindungan bagi TKI ini meliputi tiga program yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) yang bersifat wajib, serta Jaminan Hari Tua (JHT) yang bersifat sukarela. Perlindungan ini terdiri dari tiga tahapan perlindungan yaitu pra penempatan selama 5 bulan, saat penempatan selama 25 bulan dan pasca penempatan selama 1 bulan. Singkatnya BPJS Ketenagakerjaan tidak akan gagap dan gugup dalam menjalankan perintah UU untuk melakukan perlindungan terhadap tenaga kerja migran.
Publik sungguh patut mengapresiasi adanya perubahan-perubahan yang signifikan dalam RUU ini terkait tata kelola migrasi tenaga kerja terutama dengan adanya penguatan peran negara, tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga pengakuan yang signifikan atas peran pemerintah di tingkat daerah (mulai propinsi, kabupaten/kota hingga tingkat desa). Hal tersebut, memperlihatkan adanya komitmen untuk menghadirkan negara dalam memberikan perlindungan pada buruh migran, mengakhiri proses sentralisasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang eksploitatif serta mendorong tanggung jawab dan rasa kepemilikan dari pemerintah daerah mengenai perlindungan buruh migran Indonesia.
Hal lain yang patut mendapat apresiasi, adalah UU ini mengamanatkan bahwa tidak boleh ada pembebanan biaya penempatan terhadap buruh migran Indonesia. Amanat ini harus benar-benar terwujud dalam implementasi kebijakan dan tidak boleh disabotase pada peraturan-peraturan pelaksananya. Namun demikian, UU ini juga masih menyimpan beberapa kelemahan. Kelemahan itu terlihat dari Bab dan pasal tentang pelaksana penempatan, kelembagaan serta pasal-pasal yang memiliki potensi sebagai pasal karet yang bisa dibajak sehingga berpotensi melahirkan peraturan pelaksana yang merugikan buruh migran Indonesia. UU ini masih menyimpan potensi konflik kelembagaan mengenai kewenangan Kementerian dan Institusi/Badan Non Kementerian dalam tata kelola perlindungan buruh migran. Ini disebabkan masih belum tuntasnya pembahasan mengenai pembagian kerja dan kewenangan kelembagaan.
Selanjutnya Bagaimana?
Bahwa tidak bisa dipungkiri, pembahasan UU yang demikian panjang sesungguhnya juga mengisyaratkan bahwa pasal-pasal yang dihasilkan adalah hasil kompromi. Oleh karena itu, Presiden RI untuk bisa menuntaskannya dalam penerbitan peraturan pelaksananya. Selain itu UU ini juga masih membuka celah dari sektor swasta untuk menjalankan bisnis penempatan buruh migran Indonesia bahkan diatur dalam Bab tersendiri.
Kelemahan lain yang terkandung dalam UU ini, adalah belum adanya pasal khusus yang mengafirmasi kebutuhan khusus perlindungan buruh migran Indonesia (terutama perempuan) yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Kebutuhan ini penting mengingat mayoritas buruh migran Indonesia bekerja di sektor ini dan menghadapi situasi kerentanan yang berkepanjangan.
Pemerintah juga dituntut untuk segera memperbaiki Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia, yakni ditambahkan menjadi Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Migran Indonesia. Bahwa komitmen pemerintah untuk melindungi tenaga kerja migran tentu tidak cukup hanya melahirkan regulasi berupa undang undang saja, tetapi pemerintah harus juga proaktif meminta komitmen kuat dari negara-negara anggota ASEAN (Association of South East Asia Nation) untuk melindungi dan mempromosikan hak pekerja migran.
Indonesia perlu mendorong seluruh negara ASEAN benar-benar mengawal dan memiliki komitmen yang sama dalam mengimplementasikan konsensus melalui action plan terkait perlindungan pekerja migran dan keluarganya. Baik yang legal maupun yang tidak berdokumen. Dengan demikian, perlu sebuah konsensus bersama misalnya menyangkut perlindungan tak hanya pada pekerja migran, tapi juga keluarganya.
Hal ini selaras dengan Konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan dan Pemajuan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya, yang mana Indonesia juga telah meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 6 Tahun 2012. Perlindungan juga diberikan kepada pekerja migran undocumented, yakni pekerja migran yang masuk dan tinggal untuk bekerja di suatu negara secara ilegal, serta pekerja migran yang awalnya legal namun berubah menjadi ilegal.
Adapun hak-hak dasar pekerja migran dan keluarganya, yakni mendapatkan kunjungan dari anggota keluarganya, menyimpan dokumen pribadi, termasuk paspor dan dokumen izin kerja, kesetaraan di mata hukum ketika ditahan atau dipenjara saat menunggu masa sidang atau ketika ditahan untuk alasan lainnya. Selain itu, pekerja migran juga mempunyai hak menyampaikan keluhan kepada otoritas terkait, serta mendapatkan bantuan dari Perwakilan Pemerintah di negara penempatan. Semoga

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: