Era Digitalisasi Bukan Era Degradasi Sosial

Lia Istifhama

(Melawan Cyber Crime di 2020)
Oleh :
Lia istifhama
Ketua III STAI Taruna Surabaya, Pengurus PW LTN NU Jatim
“Yang jelas kejahatan siber akan lebih meningkat. Narkoba dan kejahatan curat, curanmor, juga mendominasi. Tapi yang mungkin lebih besar adalah siber, karena terus meningkat”,
Irjen Pol Luki Hermawan, Kapolda Jatim
ketika berbicara tentang atensi keamanan tahun 2020.
Dijelaskan dalam wikipedia, kejahatan siber atau cyber crime, adalah aktivitas kejahatan yang dilakukan menggunakan media teknologi, komputer ataupun gadget (handphone). Yang termasuk di dalamnya adalah penipuan lelang online, pemalsuan cek, pornografi, violence, hoax (fitnah), hate speech, penipuan identitas, dan sebagainya. UU ITE sebenarnya telah mengatur tegas sanksi atas kejahatan siber, diantaranya pornografi dalam pasal 27 ayat 1, fitnah pasal 27 ayat 3, ujaran kebencian pasal 28 ayat 2, dan meretas (hacking) pasal 30. Dari kesemua kejahatan siber, penipuan jual beli online mendominasi pada 2017 dan 2018. Namun situasi politik ternyata mampu menjadikan hoaks mengalami peningkatan tajam. Pemilu 2019 contohnya, dimana setidaknya 1005 kasus penyebaran hoaks yang dilaporkan ke cyber crime Polri. Tentunya masih banyak yang belum terlapor secara resmi. Padahal kecanggihan berteknologi selama revolusi industri 4.0 tentunya sama sekali tidak bertujuan memuluskan praktek-praktek cyber crime tersebut. Hoaks, begitupun dengan ujaran kebencian selama berlangsungnya pemilu, berpotensi mengkacaukan era disrupsi dengan degradasi sosial. Efek terburuk dari degradasi sosial pada suatu negara adalah memicu disintegrasi bangsa melalui konflik personal antar kelompok.
Era disrupsi haruskah menjadi era degradasi sosial?
Modernisasi yang identik dengan perkembangan teknologi, membuat begitu banyak implikasi perubahan dalam tatanan nilai-nilai sosial. Oleh Francis Fukuyama melalui bukunya, the Great Disruption (1999), perubahan ini disebutnya sebagai era disrupsi. Dampak negatif dari disrupsi ini menurutnya adalah perubahan hubungan sosial, yaitu melemahkan ikatan sosial gemeinschaft (kekerabatan) dan menguatkan gesselschaft, yaitu ikatan yang terbangun karena kesamaan kepentingan di dalam suatu kelompok sosial.
Perubahan nilai ini justru melemahkan hubungan sosial karena bagaimanapun juga, gesselschaft tidak akan mampu menumbuhkan chemsitry sosial yang kuat bagi individu di dalamnya. Sedangkan oleh Clayton M. Christensen, ia melihat disrupsi sebagai inovasi yang memberikan keuntungan. Kompetisi maupun segala bentuk kemudahan akses informasi pada era ini merupakan kesempatan sekaligus tantangan bagi siapapun untuk melek teknologi dan pintar melihat peluang. Pemikiran Christensen mengaabaikan bentuk hubungan sosial yang dicermati oleh Fukuyama. Namun harus diakui, ketidakbijakan dalam memanfaatkan perkembangan teknologi memang menimbulkan potensi resiko degradasi nilai sosial, moral, dan kultural.
Degradasi nilai sosial adalah kemerosotan terhadap sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat, degradasi moral penurunan budi pekerti, sedangkan degradasi kultural adalah pemerosotan nilai-nilau kultural dalam suatu kelompok masyarakat. Ketiga tersebut bisa disimpulkan sebagai degradasi sosial. Degradasi sosial merupakan problem dalam tantangan revolusi industri 4.0. Ketika kecanggihan berteknologi bukan hanya melemahkan ikatan sosial, namun juga mencederai solidaritas sosial.
Bagaimana Cara Menangkal Degradasi Sosial?
Kejahatan siber terutama yang berkaitan dengan potensi degradasi sosial membutuhkan upaya preventif untuk ditempuh. Salah satunya adalah menguatkan modal sosial melalui pendidikan moral. Hal ini seperti yang sudah dianalis oleh Fukuyama, bahwa degradasi sosial bisa diantisipasi melalui pendidikan moral. Fukuyama juga menjelaskan bahwa instrumen utama dalam penguatan moral maupun modal sosial adalah keluarga. Sedangkan oleh Michael Woolcock, penguatan modal sosial paling penting dilakukan dalam bentuk bonding social capital, yaitu ikatan sosial kuat yang terbangun atas hubungan darah.
James S. Coleman bahkan menjelaskan dengan tegas: “If the human capital possessed by parents is not complemented by social capital embodied in family relations, it is irrelevant to the child’s educational growth that the parent has a great deal, or small amount, of human capital”. (bahwa ketika keluarga tidak membangun relasi kekerabatan atau hubungan sosial kebersamaan yang seperti terjadi pada keluarga pada umumnya, maka ini akan mengganggu pertumbuhan pendidikan maupun karakter modal sosial anak. Permasalahan yang bisa melemahkan modal sosial, antara lain perselisihan, perpisahan, atau perpindahan penduduk. Ketika keluarga meninggalkan jaringan-jaringan kekerabatan mereka, seperti teman dan kontak-kontak yang lainnya, maka nilai modal sosial mereka akan jatuh).
Jauh sebelum para pemikir konvensional, Ibnu Khaldun pada 1377 M telah menuliskan sebuah buku, yaitu Muqaddimah, yang menjelaskan tentang pentingnya kekerabatan melalui teori ashabiyyah. Yang dikemukakan Ibnu Khaldun adalah pengejawantahan Ukhuwah Islamiyyah, bahwa persaudaraan harus selalu dijaga.
Pemikiran-pemikiran tersebut menunjukkan bahwa memang pondasi modal sosial sebagai benteng dari resiko degradasi sosial adalah keluarga. Yaitu bagaimana seseorang dapat terdidik untuk menghindari karakter-karakter yang menimbulkan implikasi negatif disrupsi. Bagaimana anak bangsa tidak terlibat dalam penyebaran konten negatif dalam media sosial yang tujuannya hanya menyebarkan hoax (fitnah) dan ujaran kebencian untuk melemahkan karakter seseorang, atau secara ekstrem disebut pembunuhan karakter. Penyerangan secara personal melalui dunia maya (media sosial), kenyataanya telah menunjukkan akibat dalam kehidupan riil. Propaganda yang dilakukan oleh pelaku kejahatan siber merupakan pencederaan sila ketiga pancasila, yaitu Persatuan Indonesia dan sila kedua, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Bukan hanya memicu perselisihan akibat subyektifitas dan budaya justifikasi sepihak, melainkan juga menodai adab bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi kebersamaan dan sopan santun.
Literasi dalam konten negatif juga dikhawatirkan memicu permasalahan-permasalahan baru, terlebih dalam tahun politik. Ketika Indonesia telah teruji dengan ancaman-ancaman disintegrasi pada proses Pemilu 2019 lalu, maka 2020 Indonesia juga harus melalui lagi tahun politik dalam pemilukada serentak 2020. Inilah tantangan kita sebagai anak bangsa, mampukah kita bergenggam tangan bersama-sama mencegah kejahatan siber yang hanya merusak tatanan demokrasi di bumi pertiwi yang damai ini?
———— *** ————-

Tags: