Esensi Badan Peradilan Mutlak Dihormati

Binsar M. GultomOleh: Dr Binsar M. Gultom
Penulis adalah Hakim PN. Kls IA Khusus Palembang dan Dosen Pascasarjana di beberapa Perguruan Tinggi

Salah satu misi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah menjaga independensi (kemerdekaan) badan peradilan, yang didalamnya terdapat independensi hakim untuk mengadili dan memutus perkara di Pengadilan. Independensi Hakim tersebut diatur secara tegas dalam Konstitusi Pasal 24 UUD 1945, Pasal 1 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 32 UU No. 3/2009 tentang MA dan Pasal 20A ayat (1) huruf (d) UU No. 18/2011 tentang Komisi Yudisial (KY).
Proses kemandirian kekuasaan Yudikatif (MA) ini cukup panjang. Sebelumnya Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif) menyangkut administrasi/manajemen dan finansial berada dibawah Pemerintah (cq. Menteri Kehakiman/Kementerian Hukum dan HAM), sedangkan menyangkut teknis Yudikatif (peradilan) berada dibawah MA.
Karena sistim itu sangat bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945, maka lahirlah Ketetapan MPR No. X Tahun 1998 yang menetapkan Kekuasaan Kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif. Akhirnya Ketetapan ini ditindak lanjuti dengan UU No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mana menurut Pasal 11 mengatakan: Badan-badan peradilan dibawah MA, secara organisatoris, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan MA. Dan realisasi pengalihan manajerial kekuasaan Kehakiman ke MA telah melahirkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 21 Tahun 2004.
Dengan pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dari Pemerintah ke MA, berarti seluruh masalah manajerial berada dipundak otoritas MA, yang tidak boleh dicampuri dan diintervensi kekuasaan manapun, termasuk pemerintah dan atau Komisi Yudisial (KY). Dengan demikian doktrin pemisahan kekuasaan seperti diajarkan Montesquieu dalam teori “trias politica” benar-benar menjadi realita yang harus dijaga dan dipelihara sepanjang zaman, agar tercipta harmonisasi saling menghargai dan tidak saling mencampuri urusan rumah tangga antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Namun, sangat disayangkan disaat penyusunan UUD 1945 (perubahan ke-empat) dan penyusunan/pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman terbaru serta pembentukan UU ke-empat badan peradilan dibawah MA (UU Peradilan Umum, Agama, TUN dan Militer), MA selaku user dari UU tersebut tidak pernah dilibatkan Pemerintah-DPR untuk membahasnya, sehingga berbagai regulasi terkait dengan kewenangan MA kembali dicampuri oleh kekuasaan lain, yakni KY.
Mencampuri Independensi Badan Peradilan
Akibat dimasukkannya kewenangan KY satu bab khusus dengan Kekuasaan Kehakiman yang didalamnya terdapat lembaga Yudikatif Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), menjadikan kedudukan Kekuasaan Kehakiman itu kembali terinfeksi dan dicampuri oleh kekuasaan Eksekutif yakni KY.
Dalam praktiknya semakin tampak kewenangan KY mencampuri kewenangan MA didalam UU Badan Peradilan (Umum, Agama, TUN) mengenai rekrutmen calon hakim hingga akhirnya MA dengan sangat menyesal terpaksa menunda penerimaan calon hakim hingga beberapa tahun kedepan untuk menghindari intervensi KY supaya jangan sampai mencampuri independensi Badan Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi UUD 1945.
Dengan pelibatan KY kedalam UU Badan Kekuasaan Kehakiman, dalam praktik adanya kecenderungan KY untuk terus merongrong/menggerogoti independensi kewenangan lembaga yudikatif tertinggi (MA) seperti penerimaan calon hakim, mutasi dan promosi hakim termasuk berbagai kewenangan MA seperti pemilihan Ketua/Wakil Ketua MA, dan atau usulan MA atas calon Hakim Mahkamah Konstitusi yang sesungguhnya bukan merupakan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KY.
Mencampuri Independensi Hakim
Dampak negatif campur tangan KY didalam pengawasan Hakim, cukup banyak dugaan kasus perkara atau dugaan pelanggaran kode etik hakim (dari tingkat pertama, banding dan kasasi) yang belum pernah diputuskan bersalah oleh Majelis Kehormatan Hakim (MKH), tiba-tiba sudah dimunculkan berita diberbagai media menyudutkan kesalahan hakim terkait, yang semestinya kesalahan yang belum jelas dasar hukumnya tidak boleh disebar-luaskan KY.
Untuk diketahui, profesionalitas hakim terletak pada independensi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Dalam hal melaksanakan tugasnya KY maupun MA wajib harus menjaga kemandirian hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Hal ini secara spesifik ditegaskan oleh Pasal 20A ayat (1) huruf (d) UU No. 18 Tahun 2011 tentang KY dan Pasal 32 ayat (5) UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Jika KY menilai ada kecenderungan dugaan terima suap dalam putusan itu, KY dapat memeriksa hakim terlapor sesuai menurut aturan hukum dan mekanisme tugas pokok KY yang benar, tanpa harus memeriksa teknis perkara (yudisial) terkait pelanggaran kode etik hakim. Dalam sejarahnya MA belum pernah memeriksa teknis perkara terkait pelanggaran kode etik hakim, karena MA sangat mengetahui tupoksinya.
Namun KY sering memeriksa teknis perkara yang bukan ranah KY, tetapi merupakan independensi hakim. Menurut Penulis, sekali-pun dalam putusan hakim itu dinilai ada dugaan suap dalam proses pengambilan putusan, putusan itu tetap sah menurut hukum, artinya sesuai menurut asas hukum: “Res judicata pro veritate habetuur” (putusan hakim dianggap benar) dan yang bisa membatalkan atau menguatkan putusan yang ber-aroma korupsi tersebut hanyalah putusan pengadilan diatasnya lewat upaya hukum (banding, kasasi atau peninjauan kembali ke MA).
Berdasarkan fakta tersebut, menjadi bukti bahwa Pemerintah belum konsekuen untuk menegakkan teori Trias Politica di Negara Hukum Indonesia untuk menjadikan badan kekuasaan kehakiman benar-benar mandiri, yakni terbebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dengan pelibatan KY tersebut menjadikan segala bentuk campur tangan dan intervensi yang bisa mempengaruhi teknis administratif dan teknis yudisial badan peradilan menjadi bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 dan UU Kekuasan Kehakiman.
Menurut Penulis semua bentuk campur tangan KY baik didalam UUD 1945 maupun didalam UU badan peradilan dibawah MA terkait dengan kewenangan manajarial maupun teknis yudisial haruslah “dicabut” lewat uji material kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Karena apabila KY salah menafsirkan UU yang dimilikinya misalnya tidak menjaga kerahasiaan jabatan hakim terperiksa (vide Pasal 20A ayat (1) huruf (c) UU No. 18/2011 tentang KY) dan berdampak kepada pencemaran nama baik hakim terperiksa, maka KY sendiri harus bersedia mendapat sanksi hukum sebagaimana diatur pada Pasal 20A ayat (2) UU No. 18/2011 tentang KY, bahkan menurut penulis KY dapat dikenakan Pasal 310-311 KUHP dengan tuduhan karena pencemaran nama baik dan atau dapat dituntut telah melakukan “perbuatan melawan hukum”.
Nah, karena tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) KY hanya mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim, mestinya tupoksi tersebut tidak perlu diatur didalam Konstitusi UUD 1945? Mengutip istilah Ketua MA: Hatta Ali ketika memberi bekal pembinaan dan pengawasan teknis peradilan di Palembang mengatakan dimasukkannya posisi KY sejajar dengan kedudukan Kekuasaan Kehakiman pada Bab IX didalam UUD 1945 merupakan “kecelakaan” yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya”.
Menurut penulis, dampak filosofisnya kinerja antara MA dengan KY tidak akan pernah kompak dan serasi, bahkan teori Trias Politica tidak akan pernah tercipta di Negara hukum seperti di Indonesia. Padahal berdasarkan Konstitusi UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman, disebutkan MA adalah badan kekuasaan kehakiman yang independen (merdeka), bahkan termasuk managerialnya telah disatu-atapkan kepada MA yang tidak bisa dicampuri atau diintervensi lagi oleh kekuasaan lain termasuk KY.
Untuk menjernihkan kembali independensi MA selaku Badan Kekusaaan Kehakiman yang merdeka, kesempatan terbaik bagi Korps Hakim seluruh Indonesia meminta kepada Pemerintahan Joko Widodo yang kini sedang giatnya menata ulang lembaga-lembaga yang tumpang tindih fungsinya, supaya kedudukan KY-pun dicabut dari UUD 1945.
Posisi KY cukup diatur berdasarkan sebuah undang-undang seperti layaknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang hanya diatur oleh UU. Dan UU yang mengatur tupoksi KY seperti termuat dalam UU No. 18/2011 tentang perubahan UU No. 22/2004 tentang KY harus direvisi agar tidak terjadi lagi tumpang tindih pengawasan hakim seperti kerap terjadi.
Selanjutnya mengenai jabatan Ketua KY kedepan (tahun 2015) menurut Penulis seyogianya dirangkap oleh Ketua MA (secara ex officio) seperti terjadi di AS dan Australia, agar tercipta hubungan harmonisasi sinergis antara MA dan KY sebagai patner kerja untuk mewujudkan VISI– MA sebagai “Badan Peradilan Indonesia yang Agung”.
Dengan adanya jabatan rangkap Ketua MA secara ex officio dengan Ketua KY, maka segala pengawasan terhadap hakim yang tumpang tindih selama ini antara UU KY dengan UU MA dapat diselaraskan dan diharmonisasikan, yang menurut Penulis Gedung KY yang berada di Jalan Matraman Raya Jakarta Pusat, bisa disatukan dibawah payung MA yang tupoksinya dapat menggandeng Badan Pengawas MA dan Direktorat Jenderal Badan Peradilan, khususnya dibidang pengawasan dan rekruitmen hakim mulai dari calon hakim hingga promosi, SDM dan calon Hakim Agung.

                                                                   ————————- *** ———————–

Tags: