Etika Ber-pemerintahan

Tiada pergelaran hajat politik pemilihan kepala daerah, dan pilpres telah usai, namun di Jakarta terasa “perang politik.” Setelah politisasi banjir, kini berlanjut pada isu revitalisasi kawasan Monas, yang menebang sebanyak 190 pohon tegakan (besar menjulang). Diakui atau tidak, terjadi adu kuasa antara Pemerintah propinsi DKI Jakarta, dengan pemerintah pusat. Polemik adu kuasa sampai menyeret perhatian publik pada ranag media sosial (medsos).
Tokoh-tokoh nasional (anggota DPR) juga turut terseret arus adu kuasa. Terjebak dalam pro dan kontra, walau tanpa alasan mendasar. Karena masing-masing memiliki area kerja berbeda, antara pemerintah pusat, dengan pemerintah daerah khusus ibukota (DKI) Jakarta. Ironisnya, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan, bahwa Gubernur adalah wakil pemerintah pusat.
Frasa kata “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat,” tercantum dalam pasal 1 tentang Ketentuan Umum. Tertulis sebagai definisi pada urutan ke-9, dan diulang pada definisi urutan ke-13. Frasa kata yang sama, bahkan nyata-nyata digunakan sebagai tema paragraf ketujuh Bab VII (tentang Penyelenggara Pemerintahan Daerah). Secara tekstual tertulis “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.”
Dalam UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, frasa kata “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat,” lebih dari 15 kali. Diantaranya, pada pasal 91 (dengan 8 ayat yang panjang-panjang), seluruhnya diawali dengan frasa “Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.” Begitu pula pada pasal 92, dan pasal 93 (dengan 5 ayat), menyebut frasa yang sama. Menandakan posisi Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat, merupakan kemutlakan yang sangat strategis, dan wajib di-ingat.
Maka perseteruan politik antara gubernur dengan pemerintah pusat, bukan sekedar menyimpangi etika pemerintahan. Melainkan juga dapat dianggap menyimpangi UU Pemerintahan Daerah. Perseteruan juga diliput media mainstream (koran harian, majalah, televisi dan radio), dan media. Sehingga bisa memberi pendidikan politik yang buruk pada masyarakat luas. Lebih lagi, perseteruan melibatkan berbagai tokoh parpol, dan pejabat tinggi pemerintah.
Perseteruan pemerintah DKI (Gubernur) dengan pemerintah pusat, pasca pilpres, diawali dengan penanganan banjir Jakarta. Bukan disebabkan banjir kiriman dari kawasan “atas” (Bogor), melainkan curah hujan sangat ekstrem di Jakarta dan sekitarnya. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat curah hujan dengan intensitas 377 milimeter per-hari. Cuaca ekstrem di Jakarta, sebagai “rekor” hujan yang terlebat sepanjang 24 tahun terakhir.
Banjir (parah) di Jakarta bagai langganan sejak 25 tahun silam. Penyebabnya juga telah diketahui sejak lama. Telah terdapat puluhan proposal pengendalian banjir. Termasuk di dalamnya perluasan catchment area (resapan air) yang berupa tutupan vegetatif hutan kota. Ironisnya, pemerintah DKI Jakarta membabat 191 pohon (besar) tegakan di kawasan Monas. Padahal tidak mudah menegakkan pohon besar, perlu waktu selama 25 tahun hingga 50 tahun. Bermanfaat mengurangi emisi gas buang (yang dikeluarkan kendaraan bermotor).
Kawasan Monas, buka sekadar kewenangan Pemda Jakarta. Pengelolaannya berdasar Keppres Nomor 25 tahun 1995 tentang Pembangunan Kawasan Medan Merdeka. Itu “ring-1” istana negara. Di dalam Keppres terdapat unsur Komisi Pengarah (Pemerintah pusat), dan Badan Pelaksana (Pemerintah DKI Jakarta). Pada pasal 9 ayat (2) dinyatakan Badan Pelaksana bertanggungjawab kepada Presiden melalui Komisi Pengarah.
Berdasar peraturan UU, sangat mustahil terdapat perseteruan antara gubernur dengan pemerintah pusat. Tidak pernah terjadi di seluruh dunia. Kecuali nyata-nyata upaya makar (memisahkan diri sebagai bagian negara). Maka seluruh komponen, seyogianya berpegang teguh pada etika ber-pemerintahan. Hajat politik bisa disalurkan tanpa merusak tatanan kenegaraan.
——— 000 ———

Rate this article!
Etika Ber-pemerintahan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: