Etika Bermedia Sosial

Oleh:
Moh. Mahrus Hasan
Penulis adalah Guru MAN Bondowoso dan Pesantren Nurul Ma’rifah Poncogati Bondowoso

Baru-baru ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa ini sangat relevan dengan kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini. Karena ditengarai ada yang perlu diperbaiki tentang  pola berkomunikasi masyarakat kita, utamanya melalui media sosial.Fatwa ini mengatur banyak hal, mulai dari cara membuat postingan media sosial sampai cara memverifikasinya.
Urgensi Komunikasi
Jalaluddin Rakhmat, pakar ilmu komunikasi, mengatakan bahwa 70 persen waktu bangun kita digunakan untuk berkomunikasi. Bahkan, kita belajar menjadi manusia melalui komunikasi. Komunikasi menjadi menjadi penting untuk pertumbuhan pribadi kita. Melalui komunikasi, kita menemukan diri kita, mengembangkan konsep diri, dan menetapkan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita.
Komunikasi-secaralisan atau melalui media-jugaditujukan untuk menumbuhkan hubungan sosial yang baik. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak tahan hidup sendiri. Kita ingin berhubungan dengan orang lain secara positif. Komunikasi positif bisa menciptakan suasana yang harmonis, bahkan bisa mendamaikan dua pihak yang bertikai. Namun sebaliknya, komunikasi negatif  bisa juga menyulut pertentangan dan permusuhan.
Syarat Komunikasi Positif
Menurut Aristoteles-seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat-adatiga syarat minimal berkomunikasiyang positif, yakniethos, logos dan pathos(etika, ilmu dan emosi). Pertama, ethos (etika/akhlak).Jika ditinjau dari perspektif komunikasi Islami, maka komunikator (subyek/pelaku komunikasi) harus menjunjung tinggi etika (akhlaqul karimah) dalam menyampaikan pesannya. Ia tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan (obyek/sasaran komunikasi) atau khalayak.
Al-Qur’an memerintahkan kita “Ucapkanlah yang baik kepada sesama manusia.” (QS.al-Baqarah: 83).Rasulullah Muhammad juga memperingatkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam saja.”dan”Muslim-yangsebenarnya-adalahjika muslim yang lain merasa tenteram dari perkataan dan perbuatannya.”
Selain itu, dalam menghadapi beragam segmen komunikan, komunikator tentunya harus memperhitungkansikontolpanjang: situasi, kondisi, toleransi, pandangan, dan jangkauannya.Terlebih di era keterbukaan informasi via media digital berbasis internet, seperti media sosial sekarang ini yang bisa melampaui batas ruang dan waktu.
Kedua, diperlukan logos(ilmu) yang memadai karena berkomunikasi membutuhkan ilmu dan strategi yang tepat. Dalam Islam, ada dua kata kunci yang mengarah kepada komunikasi; al-bayan dan al-qawl. Melalui keduanya itu-terutama al-qawl-terdapat cara atau etika berkomunikasi yang bermacam-macam bentuknya.
Komunikator harus mengetahui dan mengamalkan al-bayan dan al-qawl secara cermat. Al-bayan di dalam Al-Qur’an terdapat dalam tiga ayat, yaitu Ali Imron: 138, al-Rahman: 4, dan al-Qiyamah: 19. Seperti “Dia (Allah) mengajarkan manusia pandai berbicara/berkomunikasi.” (QS. al-Rahman: 4).
Sementara kata al-qawl bergandengan dengan kata lain yang menyifatinya, seperti qawlan sadidan (perkataan yang benar; QS. al-Nisa’: 9), qawlan maysuran (perkataan yang pantas; QS. al-Isra’: 28), qawlan ma’rufan (perkataan yang baik; QS. al-Nisa’: 5), qawlan layyinan (perkataan yang lemah lembut; QS. Thaha: 44), dan qawlan kariman (perkataan yang mulia; QS. al-Isra’: 23).
Komunikasi yang dilandasi al-bayan dan al-qawl secara benar pasti faktual (bukan hoax), beretika, dan menghindari penyebab disharmoni. Maka, komunikator dituntut untuk mengerti bagaimana cara berkomunikasi yang positif sesuai sikontolpanjang tersebut.Dengan demikian, komunikasi akan berjalan positif, efektif, dan efisien.
Dan ketiga, dibutuhkan pathoskarena berkomunikasi dengan pihak lain melibatkan emosi. Komunikator harus pandai mengontrol emosinya. Emosi negatif  yang tidak terkendali  akan dilampiaskan dengan ujaran kebencian(hate speech), tulisan dan lain sebagainya yang egoistis dan sarkastis.Terlebih lagi jika komunikasi itu menyangkut suku, adat, ras dan agama (SARA).
Etika Ber-Media Sosial (Medsos)
Edukasi tentang akibat hukum karena komunikasi yang salah harus terus diintensifkan. Khalayak luas mesti disadarkan dengan konsekuensi diterapkannya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 11 Tahun 2008 yang revisinya berlaku mulai 28 Nopember 2016. Ketidaktahuan para netizen tentang UU ITE tersebut ibarat senjata makan tuan. Sudah banyak kasus yang menimpa masyarakat kita akibat penggunaan media elektronik, utamanya media sosial, yang salah.
Begitu pentingnya etika berkomunikasi via medsos ini, sehingga Presiden Joko Widodo menyampaikannya secara khusus setidaknya dalam dua acara pertemuan berskala nasional, yakni acara Silaturrahmi Nasional Ulama Rakyat (12-11-2016) dan  peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2016 (27-11-2016).
Ia menyinggung tentang etika komunikasi yang sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman. Iaprihatin terhadap konten media sosial kita akhir-akhir ini yang berisi caci maki, fitnah, saling ejek, saling hujat, provokasi, dan adu domba. Yang disampaikan di media sosial itu sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai kebangsaan dan keislaman. Padahal bangsa kita punya akhlakul karimah.
Secara khusus, ia meminta kepada para guru untuk menyuntikkan nilai-nilai yang sesuai dengan spirit kebangsaan. Perlu ditanamkan nilai-nilai etika pada anak didik di era keterbukaaan informasi dan perkembangan media sosial (medsos), sehingga aktifitas di medsos tidak mengarah kepada komunikasi yang negatif. “Anak-anak perlu ditanamkan etika ber-medsos. Etika dalam menyampaikan pendapat,” demikian arahannya. Karena etika atau akhlaqul karimah merupakan alasan utama diutusnya Rasulullah, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Rasulullah mengingatkan kita,”Yang paling sering menyebabkan manusia masuk neraka adalah dua lubang; mulut dan kemaluan.”Jika ingin selamat, berkomunikasilah secara positif, karena”Salamatul insan fi hifdzil lisan. Keselamatan seseorang karena  menjaga lisan.”Semoga media sosial betul-betul difungsikan sebagai media ber-sosial, bukan menjadi media sok-sial. Semoga berkah!

                                                                                                        ———— *** ————-

Rate this article!
Etika Bermedia Sosial,5 / 5 ( 1votes )
Tags: