Etika Lingkungan Yang Merawat Bumi

(Refleksi Peringatan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia, 5 Juni 2019)

Oleh:
Rachmad K Dwi Susilo, MA, Ph
Lulusan S-3 (Doktor) dari Public Policy and Social Governance, Hosei Unversity, Tokyo, Jepang. Saat ini sebagai Ketua Prodi Sosiologi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang

Setiap tanggal 5 Juni semua warga dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup. Warga dunia berkepentingan dengan peringatan ini karena kehidupan kita sangat bergantung pada lingkungan, tetapi di sisi lain kondisi lingkungan kian krisis dan rusak. Perubahan iklim misalnya, sudah menjadi ancaman warga bumi, karena cepat atau lambat akan melahirkan bencana yang membuat manusia sengsara dan menderita.
Peringatan hari lingkungan hidup mendorong warga bumi lebih aktif dalam memedulikan nasib lingkungan. Seharusnya tanpa instruksi atau komando mereka melakukan langkah-langkah pemanfaatan, pengendalian, perawatan, perbaikan dan penyelamatan ekosistem. Sayangnya, pekerjaan ini tidak mudah, penebangan hutan secara liar, krisis air di musim kemarau, menipisnya cadangan sumber daya fosil, punahnya habitat binatang-tumbuhan, rusaknya tata kelola lingkungan dan bencana alam/buatan masih rentan terjadi.
Akar persoalan lingkungan sesungguhnya terletak pada pragmatisme yang menjangkiti masyarakat kita. Ia terlihat pada perilaku aktor-aktor sebagai berikut. Para pengambil keputusan bekerja tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan, amanat penderitaan rakyat sekedar jargon-jargon pendulang suara. Mereka tidak sungguh-sungguh menepati janji kampanye mereka. Ketika janji ditagih terlihat sekali tidak bersatunya antara hati, kata dan perbuatan. Pebisnis sumber daya alam mempraktikkan bisnis tanpa memperhatikan aturan main lingkungan. Seandainya pun mereka mengikuti prosedur, ujung-ujungnya tersembunyi kepentingan dan konsipirasi jangka pendek yang merusak. Akademisi tidak lebih sebagai “tukang stempel” perusak lingkungan dan sumber daya alam. Banalitas intelektual menyebabkan meraka berfikir instan demi pengejaran kekuasaan dan perolehan kesenangan material. Masih banyak praktik-praktik lain yang dilakukan tanpa memikirkan dampak tindakan ke depan.
Pragmatisme ini memiliki karakter merusak seperti bergabung dengan antroposentrisme, konsumerisme, individualisme dan materialisme. Karena pragmatisme berorientasi jangka pendek dan kepentingan pribadi/golongan, maka kepentingan generasi yang akan datang dikalahkan.
Sebagai salah satu faham filsafat tindakan, pragmatisme memberikan metode praktis tentang cara manusia mengambil keputusan dan melaksanakan tindakan itu. Ekstrimnya, benar tidaknya tindakan dilihat dari konsekuensi praktis atau buah (hasil) dari tindakan sebagai perwujudan ide atau keyakinan yang dilihat dari kegunaan, efisiensi dan kepuasan yang diraih. Begitu merusaknya pragmatisme ini maka perlu etika peduli lingkungan yang bertumpu pada komitmen moralitas dan masa depan lingkungan hidup. Dengan etika ini, krisis dan kerusakan lingkungan akan kita cegah.
Etika Peduli Lingkungan
I Ginting Suka menyatakan bahwa etika lingkungan merupakan suatu disiplin ilmu yang membahas hubungan antara manusia dengan lingkungan yang tidak terlepas dari perhatian pada status moral makhluk hidup (biotis) dan tidak hidup (abiotis). Penulis berpendapat bahwa etika ini bisa lahir dari banyak sumber, apakah dari sistem keyakinan agama, adat maupun ilmu pengetahuan.
Sebagai bagian etika misalnya, ekoteologi memikirkan kontribusi agama dalam konservasi lingkungan. Pada kaitan ini, Tuhan mendudukan lingkungan secara terhormat, bahkan kedudukan lingkungan dengan manusia diatur sejajar, maka kualitas keimanan sesungguhnya ditunjukkan melalui relasi harmonis antara manusia dengan alam. Ukuran terpenting yakni sejauhmana manusia berhasil menjalankan tugas-tugas kekhalifahan, termasuk didalamnya memakmurkan bumi dengan tidak merusak daya dukung alam.
Sementara itu, adat membangun relasi harmonis manusia dengan lingkungan yang diwujudkan jagat gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos). Tidak heran hajatan-hajatan penting di masyarakat Jawa diselenggarakan setelah manusia berkonsultasi dengan alam. Terkait dengan ini, memayuhayuning bawana merupakan etika lingkungan Jawa yang mengandung ajaran bahwa dunia itu bagus dan berguna untuk manusia dan makluk hidup lain. Oleh karena itu, lingkungan harus diperlakukan, dijaga dan dilindungi dengan cara paling baik. Manusia adalah makhluk yang paling bertanggung jawab untuk tugas ini karena telah menerima banyak dari dunia ini. Selain itu, keberadaan alam dan lingkungan yang merupakan dunia sendiri yang tidak bisa dilepaskan.
Sedangkan etika ekosentrisme merupakan produk ilmu pengetahuan (science) yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan anorganisme pada ekosistem. Berasal dari etika tanah klasik, Aldo Leopold menyatakan banhwa ekosentrisme muncul sebagai sarana untuk organasasi sosial dan sarana menyadarakan kewajiban dan tugas masing-masing. Dikatakannya,”suatu benda itu benar bila cenderung mempertahankan integritas, stabilitas dan keindahan komunitas biotik”. Di sini manusia tidak boleh menomorsatukan kepentingan diri sendiri dengan mengorbankan alam.
Langkah-Langkah Penting
Keampuhan etika ditunjukkan dari daya mengikat sebagai custom para komunitas tertentu baik komunitas agama, adat maupun profesi. Rata-rata pengikut etika akan mengidentikkan dirinya dengan semangat dan cita-cita dari etika itu. Namun demikian, seiring kompleksitas masyarakat, kuat lemahnya etika mengalami pasang surut mengingat benturan-benturan antar etika pasti terjadi. Untuk itu, etika peduli lingkungan seharusnya diangkat sebagai antitese atau lawan etika-etika yang merusak lingkungan itu. Untuk itu etika peduli lingkungan seharusnya diawetkan sebagai way of life dalam kehidupan sehari-hari.
Terkait hal ini, langkah-langkah strategis yang diperlukan yakni: Pertama, internalisasi pada semua lapisan masyarakat. Ia tidak hanya diajarkan pada aktivis-aktivis lingkungan atau komunitas saja, tetapi semua lapisan masyarakat dari lapisan bawah sampai lapisan atas. Etika ini akan berkontribusi manakala ia menjelma sebagai kesadaran yang terpatri pada individu. Kesadaran tidak akan tumbuh tanpa adanya pengetahuan yang masuk dan transfer pengetahuan akan berjalan baik sangat ditentukan oleh keberhasilan sosialisasi.
Kedua, arti penting pendidikan lingkungan. Persoalan etika merupakan internalisasi nilai-nilai yang diejawantahkan pada norma dan praktik, maka internalisasi ini membutuhkan edukasi yang menargetkan perubahan nilai-nilai, sikap dan perilaku.
Edukasi lingkungan harus dilakukan baik pada pendidikan formal seperti di sekolah atau perguruan tinggi maupun pendidikan non formal di keluarga dan di komunitas-komunitas. Proses edukasi ini menyaratkan kegiatan-kegiatan yang terstruktur dan tiada pernah berhenti.

———– *** ————

Rate this article!
Tags: